Selasa, 17 Oktober 2017

Ciamis di Tangan Sang "Rais"

 

Berkembang  tidaknya sebuah daerah akan lebih terfokus kepada kepiawaian, kebijakan dan keprigelan sang pemimpin dalam me-manage setiap komponen atau unsur, mulai dari multi-pendekatan; menata ke dalam (inward system) maupun menata ke luar (outward system). Meskipun banyak faktor lain yang menjadi penyebab maju mundurnya sebuah daerah, termasuk pola pandang, adat kebiasaan, dan sikap (attitude) masyarakatnya.

Masyarakat Tatar Galuh Ciamis adalah sebuah wilayah kabupaten yang sangat memperhatikan nilai-nilai religiusitas, yakni menjunjung tinggi nilai-nial keagamaan, para pemimpin di Tatar Galuh mesti memiliki komitmen keberagamaan yang kuat, bukan hanya ditunjukkan dalam perilaku lahiriyah (eksoteris), tetapi juga dihayati secara batiniyah (esoteris). Sehingga komitmen keberagamaan yang kuat ini  juga mesti "terejawantahkan" dalam pelbagai kebijakan pemerintah dan program-program pembangunan. Maka dari itu semua program pembangunan sudah selayaknya mempertimbangkan keseimbangan antara lahiriyah-batiniyah, jasmani-rohani, fisik-mental, dan dunia- akhirat.

Beberapa karakter para bupati yang pernah memimpin Kabupaten Ciamis dalam pandangan sosio-budaya yang sangat sederhana, mereka adalah yang seharusnya memiliki karakter ideal yakni: ketakwaan; jiwa dan semangat ukhuwwah; percaya kepada diri sendiri dan pada kekuatan dan kermampuan sendiri; memiliki jiwa nasionalisme dan patriotisme yang tinggi; memiliki wawasan masa depan gemilang; idealisme dan seni kepemimpinan yang tinggi; berani karena benar takut karena salah; disiplin tinggi; sabar dan tabah dalam menghadapi ancaman,tantangan, hambatan dan gangguan apapun; kerelaan untuk berkorban demi kemajuan masyarakatnya.

Nilai-nilai tersebut sudah sepantasnya melekat (inheren) pada diri setiap seorang pemimpin (rais) "yang memimpin" Kabupaten Ciamis. Selain itu pula siapapun yang sedang dan akan memimpin kabupaten yang dikenal dengan nama "Tatar Galuh" ini harus menjunjung tinggi keadilan. Pada tingkatan apapun kita menjadi pemimpin, keadilan mesti ditegakkan dan dijunjung tinggi. Setiap pemimpin dituntut untuk dapat mengayomi dan memperlakukan semua anggota masyarakat. Karena kegagalan banyak pemimpin di antaranya adalah disebabkan mereka bertindak seakan-akan saat dia memimpin menjadi pemimpin bagi sebagian orang, sebagian kelompok, sementara sebagian lainnya diabaikan.

Lebih-lebih kesulitan seorang pemimpin di Kabupaten Ciamis ini di antaranya harus mampu menyatukan pelbagai tokoh, kelompok, golongan di tengah masyarakat, yaitu dengan menciptakan suasana yang harmonis, tenang damai dan menciptakan kebersamaan, serta meminimalisir perbedaan apapun,  yang tidak melihat "darimana anda datang?", tapi ditanya "akan kemana anda pergi?". Sehingga lahirlah kekuatan bersama yang akan mampu menjadi perekat umat.

 

Catatan Kilas Balik

Sejak masa kepemimpinan Kol. (purn) H. Abu Bakar (1967-1972), berasal dari Sukabumi, ia memiliki karakter kepemimpinan yang cukup fleksibel di tengah masyarakat Kabupaten Ciamis, dia seorang militer yang hidup pada awal Orba yang kental dengan nuansa "militerisme", ternyata mampu menanggalkan "baju keras" nya dengan mengganti pakaian jadi "pemimpin sipil". H. Abu Bakar sebelum menjadi Bupati Ciamis sebelumnya menjabat sebagai Dandim 0613 Ciamis, yang cukup menarik pada pemilihan bupati keduakalinya dia terpilih kembali dengan perolehan jumlah 30 suara buat H. Abu Bakar, 7 suara  untuk Kol. (Purn). Hudly Bambang Aruman (alm.), tapi dengan "kesaktiannya" anggota DPRD   dan atas "petunjuk pejabat yang lebih tinggi di jawa barat" saat itu, memutuskan yang menjadi bupati akhirnya  Kol. (Purn) Hudly, yang hanya meraih 7 suara saja.

Sifat dan karakteristik Pak Abu (begitu panggilan akrab beliau) sama halnya pada saat kepemimpinan Kol. (Purn) H. Dedem Ruhlia (1995-1999), yang berasal dari "Kota Dodol" Garut, Pak Dedem (biasa dipanggil) dia adalah Bupati yang cukup arif  dari pendekatan sosio-budaya karena melekat dalam dirinya jiwa seni mengalir, sedikit banyak membawa kesejukan di tengah masyarakat Tatar Galuh, ia adalah sosok pemimpin yang sangat cerdas, lulus Sesko di Jerman, menguasai bahasa Inggris dan Jerman dengan fasih, ia pernah juga berpidato dalam sebuah kesempatan acara silaturrahim dengan para tokoh se-Kecamatan Cijeungjing, di Pondok Pesantren Cijantung, Cijeungjing: "Kalau ingin mengusai negeri Eropa kuasailah Negara Jerman, kalau mau menguasai Jerman kuasailah ibukotanya Bonn, dan kalau ingin mengusai Ciamis -- entah serius atau tidak -- maka kuasailah Cijeungjing, karena di Kecamatan Cijeungjing ada "Darussalam dan Cijantung", (maaf ini bukan rekayasa, karena semua orang yang masih ingat pak Dedem pernah berpidato seperti itu akan tetap melekat dibenak para mustami'/pendengar), pernyataan Pak Dedem tersebut saya yakin tidak bermaksud menafi'kan lembaga-lembaga keislaman yang lainnya yang ada di Kecamatan Cijeungjing, dan kecamatan-kecamatan lainnya di Kabupaten Ciamis ini, mungkin pernyataaan itu, sebagai strategi untuk "menyatukan visi politik" saat itu saja, kemudian ia menggantikan Kol. (Purn). H. Taufik Hidayat (1990-1995), Pak Dedem sempat mengatakan pada pidato pelantikan pertamanya: "Saya dengan Pak Taufik -- bupati yang digantikannya -- adalah sama-sama dari korp kavaleri, Pak Taufik itu ibarat Tank Baja yang beroda baja, kalau saya Tank Baja yang beroda karet", sehingga  bagi masyarakat Ciamis dia adalah sosok pemimpin yang disiplin tetapi halus dalam melaksanakan setiap kebijakannya.

Suasana religi di tengah-tengah masyarakat tatar galuh ini, digambarkan oleh sosok sang "Rais" (pemimpin) yang menakhodai roda pemerintahannya, Drs. H. Soejoed (alm) memerintah (1975-1980) adalah sosok pemimpin yang sangat memperhatikan kebutuhan ruhani para staf, dan kejelian dalam menata administrasi pemerintahan, dan dalam jajaran kepemerintahannya beliau dengan mengawali sebuah pengajian "santapan rohani" di pendopo, yang pada beberapa periode belum sempat dilaksanakan. Hingga sekarang "santapan rohani" tersebut masih tetap dilaksanakan -- walaupun dari segi kuantitas, mulai berkurang -- lalu beralih ke H. Momon Gandasasmita, SH. (1985–1990). Ia adalah sosok pemimpin yang cukup cerdas dan ingin menyampaikan sebuah kebenaran dengan menerjemahkan ayat-ayat al-Quran dalam setiap refleksi tugas pemerintahannya walaupun baru sebatas verbalistik. Itu pun mulai menggairahkan masyarakat dalam tatanan religi yang idealistik.

Karakteristik ketegasan dan kejelian ditanamkan oleh Bupati Kol. (Purn). H. Hudly Bambang Aruman, (1973-1977) yang berasal dari "pakidulan" Cijulang, Ciamis, lebih mengedepankan tatanan refresif-kondusif, maklum beliau memimpin masih pada zaman yang serba "riweuh" dan "rareuwas" oleh situasi konstalasi politik nasional yang masih mengedepankan refresif terhadap pola sikap dan tindak tanduk masyarakat saat itu, kendatipun refresif namun kondisi masyarakat Ciamis saat itu cukup kondusif, tidak banyak terjadi friksi yang berkelanjutan. Pendekatan refresif dengan pola mamahami kondisi sosio-kemasyarakatan serta karakter masyarakat Ciamis, merupakan "resep" keberhasilan pada periode ini.

Waktu terus berjalan, Ciamis terus membangun dan membangun, dari mulai membenahi konsep dan sistem pelaksanaan kepemerintahan, silih berganti pemimpin, "sang Rais" sebagai lokomotif penggerak yang mampu membawa gerbong lainnya searah dengan kebijakannya, merupakan "malakah" (kemampuan khusus) seseorang. Sehingga dalam diri setiap pemimpin khususnya para Bupati "anu ngageugeuh tatar galuh" memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, seperti bagaimana pola kepemimpinan H. Oma Sasmita Sumardi, SH, M.Si. "sang sipil" yang menggunakan roda pemerintahannya dengan pendekatan rada-rada "seperti militer", dan terbukti setelah tidak menjabat Bupati Ciamis periode (1999-2004) dengan kelicinanannya sebagai orang yang "nyantol" kaluhur, dia menjabat sebagai Direktur di Lembaga Pertahanan Nasional (LEMHANAS) yang membidangi SDM, selama pemerintahan "pak Oma" suasana Ciamis awalnya adem ayem, lambat laun terjadilah lahirnya beberapa kebijakan yang dianggap "kontroversial" menurut sebagian masyarakat Ciamis, akhirnya terjadi beberapa kali konflik internal, maupun external yang membawa kepada "hilangnya kepercayaan" dari masyarakat, dan pejabat, tapi karena dalam dirinya telah tertanam "sifat keras" maka semua hal itu dianggapnya sebuah angin lalu, yang pada akhirnya suasana menjadi terbelah dan membelah kekuasaannya sendiri.

Setelah terjadi gonjang ganjing "politik lokal" yang menurut pandangan penulis saat itu agak kurang kondusif, muncullah Bupati baru pengganti pak Oma, yaitu Kol. (purn). H. Engkon Komara, mantan Kaskogar Cimahi Bandung, sebelum "Pak Engkon" menjadi orang nomor satu Ciamis.

Pro-kontra dalam dunia politik itu menjadi hal yang lumrah dan wajar, selagi masih dalam batas-batas wajar, tidak saling hina, saling jatuhkan martabat masing-masing, dan saling cerca bahkan sudah saling mengancam, ini menjadi kebiasaan sebagian kecil masyarakat kita, sehingga suasana kondusif menjadi menakutkan, bahkan menegangkan. Tidak tampak lagi keteduhan, kebersamaan dalam menghadapi konstalasi serta eskalasi politik saat itu, karena masing-masing "punya calon" dan semua ingin calonnya jadi "Bupati Ciamis". Dalam hal ini, yang "marema" bukan tukang dagang di trotoar alun-alun ciamis saja, karena hampir setiap hari  para demonstran turun ke jalan mengusung para "calon"nya masing-masing, namun para "anggota dewan yang terhormat" pun dengan penuh ceria ikut "marema"-- tentu maremanya pedagang kaki lima dengan para anggota dewan yang terhormat -- sangat jauh seperti langit dan bumi dalam hal "bati-na". Kemudian "perang spanduk diunggal juru" pabaliut dengan iklan rokok dan reklame lainnya. Ciamis ternyata memang unik, kota kecil tapi membuat sedikit "gerah" pada eskalasi "politik nasional", hampir beberapa pejabat tinggipun seperti RI-1 dan RI-2 serta para menteri pulang pergi ke Ciamis berusaha agar ikut memantau dari dekat "tah kitu kaayaan tatar galuh", teh harita.

Sekarang masa pun kian hari kian merangkak, beranjak dari satu titik ke titik yang lain, ibarat kepompong yang lagi mekar, maka kulit lama sedang siap menggantikan kulit baru yang seharusnya lebih baik dan lebih indah. Pasangan H. Engkon Komara-H. Dedi Sobandi, adalah pasangan yang sangat di luar dugaan semua orang, telah menjadi icon keberhasilan kolaborasi antara para politisi dengan para kyai dalam mereformasi -- yang katanya -- ingin mengubah semua tatanan yang dulu dianggap tidak pantas dan terlalu banyak penyelewengan di setiap kebijakan, ingin mencari pejabat publik yang "bersih", sehingga pergantian kepemimpinan oleh pasangan tersebut yang sempat "dibai"at" oleh beberapa kyai, sangat mengharap kepada pasangan pemimpin ini, bisa menyatukan umat yang hampir terpecah, meningkatkan kesejukan sosio-budaya masyarakat tatar galuh yang kian rawan dan rumit ini, dengan segala "kebingungan", maka masayarakat tatar galuh Ciamis bukannya mendapat ketenangan dari perubahan kepemimpinan ini, dengan adanya vonis majlis hakim pengadilan negeri Ciamis selama 30 bulan atau dua tahun enam bulan penjara, terhadap salah seorang pasangan yang spektakuler ini atas keterlibatannya dalam kasus korupsi anggaran dewan sebesar 5,2 Miliar.

Ada yang sangat mengusik hati dan jiwa keberagamaan kita, terutama diri penulis sendiri, keberhasilan dan kegagalan sang rais di tatar galuh Ciamis ini, bukan karena "ayana onom anu ngageugeuh para Bupati Ciamis". Sebab pemikiran seperti itu sudah mengarahkan secara tidak langsung bahwa orang harus percaya kepada mitos yang berbau khurafat dan syirik itu di kalangan masyarakat Ciamis. Tapi berhasil atau gagalnya seseorang karena piawai tidaknya orang tersebut dalam me manage roda pemerintahannya dan kelincahan, kebijakan dalam segala arah kepemimpinannya. Bukan zamannya lagi kita mencampuradukkan akidah dengan mitos-mitos tersebut yang bisa-bisa menyesatkan keyakinan (aqidah) beragama seseorang. Atau mungkin kita sudah menjadi bangsa  yang lebih percaya dan yakin kepada  "sang onom" adina onom "bebegig" terus alona, "jurig". Tapi bisa benar juga apa yang dilansir salah satu koran, bahwa bab onom sangat berpengaruh kepada para Bupati Ciamis (yang memang percaya kekuatan mistik itu), tapi "onom" yang mana ya? Onom "zaman Fir'aun" atau onom "zaman reformasi" ini? Tapi yang jelas kalau begitu siapa yang mau jadi Bupati Ciamis nanti ada syarat khusus untuk bisa bersahabat dengan "sang onom" atau jadi sebaliknya menjadi musuh "onom-onom" tersebut. Jika memang seperti itu (kepercayaannya), maka kita tinggal menunggu kehancuran dan siksa yang akan datang (cepat atau lambat) langsung dari Allah Azza Wa Jalla Sang Maha Pencipta serata makhluk di dunia ini. Kalau Ciamis mau maju dan ada dalam lindungan-Nya, jauhan bangsa onom, tapi "deukeutan" (muqarabah) ka Gusti Anu Murbeng Alam.

Sebagai purnakata, apapun tabi'at, sifat karakter dan perilaku para pemimpin yang pernah berkuasa di kabupaten Ciamis ini. Mereka semua adalah mantan pemimpin kita bagi yang sudah menjabat, kita hargai upaya dan usaha dalam membangun masyarakat Ciamis ini baik dari segi pembangunan fisik maupun mental spiritual. tentu dengan gaya dan seninya masing-masing. Tidak diajarkan dalam Islam, kita saling menghina mencaci apalagi saling merendahkan, al-Quran mengatakan:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلا تَنَابَزُوا بِالأَلْقَابِ بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُون. (الحجرات:11)

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita (menolok-olokkan) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita yang (mengolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri, dan janganlah kamu memanggil dengan gelar-gelar buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman, dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim" (QS. Al-Hujurat:11)

Termasuk kepada seseorang yang pernah berjasa sekecil apapun terhadap wilayah tatar galuh ini. Bangsa yang arif lagi bijaksana adalah bangsa yang mampu menghargai jasa-jasa para pemimpinnya, sekecil apapun jasa tersebut jangan dinafikan. Sebab hanya bangsa kerdillah yang biasa menghina dan menghilangkan jasa-jasa para pendahulu (the founding father)-nya.

Walaupun kecenderungan orang susah untuk diarahkan kecuali atas kesadaran yang lahir dari dirinya sendiri, seorang penyair Perancis mengutarakan sebagai berikut:

Les impulsions individuelle Kecenderungan perorangan Sont difficiles a controller  tak mudah dikendalikan

Les impulsion de nations  kecenderungan bangsa-bangsa

Ne sont pas faciles a apprivoiser!!  tak mudah dijinakkan!

"Ya Rabb, ampunilah dosa para pemimpin kami jangan hancurkan negeri ini karena kesalahan-kesalahan para pemimpin kami dan masyarakat kami, selamatkanlah bangsa ini dari perpecahan dan kehancuran moral, bimbinglah kami ya Allah...!!"

Jujur

  J u j u r   Wajib bagi kamu yang berlaku benar, karena sesungguhnya kebenaran itu membawa kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke ...