Suatu
hal yang sangat menarik yang terjadi dalam dunia pendidikan sekarang, adalah
adanya upaya instanisasi pendidikan yang serba cepat, mudah, ringkas juga
sangat menghibur. Maka tidak heran dengan kondisi seperti ini, pendidikan tidak jarang dijadikan
sebagai ladang bisnis oleh penyelenggara pendidikan. Kondisi seperti ini
dikhawatirkan dapat terjadi adanya pergeseran ruh pendidikan dari tujuan dasar
filosofisnya. Dengan adanya pergeseran ruh pendidikan tersebut, adalah suatu
ancam yang sangat serius dan preseden buruk terhadap kondisi dunia pendidikan
di negeri ini.
Sering
dikambing hitamkannya atas kemunduran kualitas pendidikan di negeri ini selalu
dikaitkan dengan masalah rendahnya biaya pendidikan yang disubsidikan oleh
pemerintah. Wajar saja, jika ada lembaga pendidikan ramai-ramai menaikan biaya
pendidikan atau memungut biaya tambahan kepada siswanya. Sehingga kian hari
biaya pendidikan semakin naik dan terus melambung. Memang tidaklah heran, pasca
era otonomi daerah, pendidikan banyak yang dijadikan sebagai ladang bisnis yang
sangat menggiurkan. Pendidikan sering dijadikan sebagai sapi perahan untuk
menambah pendapatan kantong saku oleh penyelenggranya.
Akibat
yang dirasakan, pendidikan kian hari kian tidak terjangkau oleh masyarakat
ekonomi lemah. Masyarakat hanya bisa mengeluh, karena lembaga pendidikan secara
ramai-ramai mulai memasang harga yang tinggi, sehingga akibat yang dirasakan
pendidikan sangat sulit untuk ditembus oleh kalangan bawah, karena mahalnya
biaya yang harus di keluarkan. Maka tidak heran terutama para orang tua, ketika
akan memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan, terutama pada tahun pelajaran
baru, sering terjerembab oleh pungutan yang sangat tinggi.
Bagi
kalangan yang mempunyai kantong tebal, bukanlah suatu hambatan yang berarti
untuk memasukan anaknya ke lembaga pendidikan dengan biaya yang tinggi, tetapi
bagaimana halnya dengan masyarakat yang ekonomi menengah ke bawah. Maka, tidak
menutup kemungkinan masyarakat akan memberikan image dan penilaian secara
spontanitas, ini adalah lembaga pendidikan untuk orang berduit dan ini untuk
orang lemah. Dalam hal ini hanya orang berduit yang dapat menikmati pendidikan,
sementara bagi orang tak mampu hanya mampu berharap yang tak berujung. Tentunya
dengan fenomena yang seperti ini akan memunculkan kecemburuan sosial yang
tinggi dan sudah barang tentu mengancam terhadap kelangsungan dunia pendidikan
di negeri ini.
Kondisi
mahalnya biaya pendidikan di negeri ini, sudah menjadi gejala umum dan dapat
dilihat dengan mata telanjang. Bahkan yang sangat mengejutkan lagi, pondok
pesantren yang selama ini merupakan lahan bagi masyarakat ekonomi lemah, sudah
berubah image menjadi lembaga pendidikan bagi orang yang berduit. Pesantren,
mau tidak mau harus menyesuaikan kebutuhan operasionalnya; sarana pembelajaran,
honor guru (swasta), buku pelajaran, alat-alat praktek dan kebutuhan lainnya,
yang tentunya sangat membutuhkan biaya tinggi.
Kita
berapresiasi positif, bila dengan naiknya biaya pendidikan diarahkan kepada
usaha pengelolaan lembaga pendidikan, dalam hal ini adalah peningkatan mutu
pendidikan, kesejahteraan serta kualitas guru. Sebab bagaimana pun, kualitas
pendidikan sangat berpengaruh dari kualitas guru itu sendiri. Tidaklah menjadi
permasalahan bagi guru yang sudah menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS),
honorariumnya sudah dialokasikan oleh negara sesuai dengan pangkat dan
golongannya. Tetapi kondisi yang terjadi di lembaga pendidikan swasta, apalagi
yang mayoritas gurunya honorer, ini akan menjadi masalah bagi penyelenggara
pendidikan terutama pengurus yayasan, sebab akan dihadapkan kepada perbaikan
kesejahteraan guru, kualitas, perbaikan sarana dan prasarana, juga yang tidak
kalah pentingnya menciptakan output siswa yang mampu bersaing di pasaran.
Namun
demikian, bila dilihat dari kebutuhan untuk meningkatkan kualitas pendidikan,
mau tidak mau harus ditunjang oleh berapa harga yang harus di keluarkan. Karena
disadari, dunia pendidikan sudah menjadi suatu komoditas layaknya barang atau
jasa. Artinya, siapapun orang yang masuk akan mendapatkan pelayanan yang cukup.
Sehingga pendidikan tidak lagi dipandang mahal apabila fasilitas yang
dimilikinya cukup untuk menunjang kegiatan pembelajaran.
Hemat
penulis, pendidikan itu harus mahal ataupun komersil. Tentunya, bukan dalam
artian perhitungan untung dan rugi. Tetapi lebih diartikan sophisticated, yaitu adanya transparansi
antara masuk dan ke luarnya keuangan. Artinya penyelenggara pendidikan
(yayasan) berusaha semaksimal mungkin mengelola keuangan secara teliti dengan
mengedepankan kebutuhan kegiatan pendidikan. Karena, jika hanya menunggu
subsidi dari pemerintah sangatlah sulit, maka dalam kondisi yang seperti ini
penyelenggra pendidikan dibutuhkan untuk mengelola pendidikan secara cermat.
Sekolah
sudah dipandang sebagai komoditas, artinya siapapun yang masuk tidak ada kata
gratis. Seperti halnya jual beli, siapapun orang yang mendambakan barang yang
bagus, tentunya harus dibayar dengan harga yang sesuai pula. Tetapi
permasalahan yang muncul sekarang adalah bagaimana dengan kondisi masyarakat yang
lemah? dan mereka dalam kondisi tertindas, ini merupakan salah satu konsekuensi
dari naiknya biaya pendidikan.
Sekedar Tawaran
Salah
satu alternatif tawaran adalah pendidikan kembali ke basisnya. Pendidikan
dibiarkan untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan lingkungannya, ekonomi,
sosial, budaya, tradisi dan agama yang menjadi ikatan batin jiwa dan sumber
kehidupan masyarakat, tetapi tetap tidak meninggalkan kualitas pendidikan itu
sendiri. Anak didik harus tetap dijadikan sebagai prioritas peningkatan mutu
pendidikan.
Maka,
besar harapan kepada penyelenggara pendidikan yang masih memiliki komitmen
meraih orang pinggiran harus tetap dipertahankan. Sebab bagaimanapun juga
pendidikan lahir di tengah-tengah masyarakat. Masyarakatlah yang membesarkan
lembaga pendidikan. Begitu juga masyarakat sangat membutuhkan outputnya yang
mampu memahami kondisi sosial. Oleh karenanya penyelenggara pendidikan tidak
hanya memungut biaya besar kepada siswa, tetapi ada upaya untuk perbaikan
pelaksanaan pendidikan (mutu pendidikan), sarana dan prasarana pembelajaran,
serta peningkatan kesejahteraan guru. Sehingga pada akhirnya dapat merubah
image di masyarakat, bahwa pendidikan tidak lagi dipandang sebagai lahan
bisnis. Semoga!