Selasa, 06 Februari 2018

CIAMIS MANIS; Antara Semboyan dan Kepemimpinan

 


           Menciptakan motto atau semboyan sebuah daerah atau wilayah, harus memiliki nilai kesejarahan yang mengakar dalam karakter atau budaya dan nilai filosofis masyarakat setempat. Tidak serta merta asal istilah belaka, setiap tema, motto atau semboyan betapa pun diperdebatkan dan mengandung banyak 'makna'  namun yang terlihat adalah aspek politisnya dibanding dengan aspek nilai moralnya.

            Ciamis adalah kota asri indah dan nyaman untuk dinikmati suasana dan keindahan alamnya oleh setiap orang, sebuah kota manis dan "campernik" yang menggugah setiap insan; baik insan yang benar-benar ingin membangun kelangsungan masa depan kota ini, atau insan yang hanya ingin sekedar "transit" sementara, demi mencapai kedudukan yang lebih 'layak' di tempat lain. Secara geo-politis Kabupaten Ciamis adalah "L'avant Garde du Ville" yakni  "garda depan sebuah kota" yang sangat strategis untuk menjaga keamanan perbatasan wilayah, dari segala arah. Walaupun untuk wilayah timur perbatasan Jawa Tengah-Jawa Barat, saat ini sudah beralih tanggungjawab pada Pemerintahan Kota Banjar yang sebelumnya merupakan wilayah Kabupaten Ciamis.

            Ciamis yang memiliki semboyan "Manis", dari segi etimologis kata Manis, sering identik dengan rasa, terutama rasa yang serupa dengan gula, kecantikan, kemolekan. Semua itu hanya bernilai lahiriah semata, namun ada 'makna' lebih dalam. kata "Manis itu terdiri dari akronim 'manjing dinamis' yang selama ini sering dinyanyikan bahkan digelorakan, namun secara tidak sadar makna 'manjing' sebenarnya berkonotasi 'setengah matang', belum matang sesungguhnya, oleh karena itu pada masa pemerintahan Bupati Kol. (Kav) Taufik Hidayat, kata "Manis" sempat dimaknai akronim dari "Manusia Istiqamah". Namun sayang, karena kurangnya sosialisasi hingga pergantian kepemimpinan kepada Kol. (Kav) Dedem Ruhlia, kata "Manis" berubah lagi menjadi "manjing dinamis", dari sudut estetika makna tersebut cukup relevan untuk saat itu, namun untuk keadaan sekarang ini perlu adanya revivalisasi makna nilai dari kata "Manis" tersebut. Misalnya menjadi "Manusia Istiqamah Sejati" sebab makna dari istiqamah adalah konsistensi sikap dan perilaku atau kokohnya jiwa dari setiap godaan, sedangkan sejati adalah nilai moral yang tinggi sebagai refleksi dari kemendalaman fikiran dan kearifan jiwa seseorang dalam hidupnya.

            Kemudian dari segi teritorial Ciamis boleh saja kehilangan satu wilayah pemerintahannya dengan terpisahnya Kota Banjar menjadi Pemkot, dari segi ekonomis dan geografis Ciamis memang 'terlihat' semakin lemah. Akan tetapi, sebuah nilai sejarah ideologis yang melekat pada masyarakat Ciamis tidak akan luntur atau hilang dengan keterpisahan Banjar dari Wilayah Kabupaten Ciamis, dan ini harus disadari oleh semua pihak dan komponen masyarakat Ciamis. Kita tidak perlu 'gusar' kalau suatu saat beberapa wilayah Ciamis lainnya juga ingin 'memisahkan diri' dari Kabupaten Ciamis, bila langkah itu dapat memberikan kemaslahatan bagi masyarakatnya, dengan sebenar-benarnya, mengapa tidak?

            Tetapi, ada hal yang perlu dicermati juga dihayati oleh kita semua, cita-cita reformasi adalah menjadi harapan rakyat bangsa ini yang mendambakan perubahan dalam segala bidang, janganlah arah reformasi saat ini hanya dijadikan sarana untuk melakukan perbuatan apa saja dengan sebebas-bebasnya, tidak hanya berfikir 'balas dendam' karena masa lalu juga pernah berbuat seperti itu. Banyaknya daerah ingin memisahkan diri dari Propinsi, ataupun Kabupaten asalnya, hingga keterpisahan wilayah-wilayah lain untuk lepas dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) semakin marak. Semua itu adalah dampak dari 'semangat reformasi', yang menurut sebagian orang menjadi "boomerang menyakitkan" tapi menurut sebagian lainnya menjadi "lahan basah", jadi arahnya semakin tidak jelas.  Selama kurang lebih sepuluh tahun  usia "reformasi" ini, apa saja yang sudah nampak adanya perubahan?, apakah memang berubah atau "jalan di tempat"? atau bahkan sebaliknya ingin mengubah sesuatu yang dianggap salah di masa lalu (orde lama dan orde baru), ternyata kita malah terjerumus dalam kubangan lumpur "kezaliman" yang lebih parah dari masa lalu. Masa lalu adalah sejarah untuk masa kini, bagaimana Ciamis menatap peristiwa-peristiwa masa lalu yang dapat menjadi 'ibrah/cermin di masa yang akan datang. Para pemimpin yang "ngageugeuh" Kabupaten Ciamis sepantasnyalah lebih memikirkan terwujudnya rasa aman, damai, tertib dan ketentraman bagi masyarakat yang ditandai dengan meningkatnya keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt dalam kehidupan, juga terwujudnya kehidupan sosial budaya yang Islami, dinamis kreatif dan berdaya tahan terhadap pengaruh globalisasi. Masyarakat Ciamis mengharapkan terlaksananya pemberdayaan masyarakat dalam wadah ekonomi yang berkeadilan. produktif, mandiri, berdaya saing, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.

            Sehingga siapapun Pemimpin yang dipercaya oleh masyarakat Kabupaten Ciamis nanti antara lain mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat/masyarakat yang ditandai dengan meningkatnya kualitas hidup dan kehidupan tertama dari segi kecukupan kebutuhan dasar; pangan, sandang, papan/perumahan, kesehatan, dan perhatian terhadap dunia pendidikan tidak pilih kasih apakah itu pendidikan 'agama atau umum'. Dalam karakter kepemimpinan, setiap aparatur Negara/pemkab harus menjadi "pelayan masyarakat" bukan dilayani oleh masyarakat, dalam melayani masyarakat manapun pemimpin harus jujur, bersih hati dan berwibawa serta professional.

            Untuk wilayah sosio-politik, pemimpin harus mampu menata keamanan secara kondusif dan demokratis serta bertanggung jawab (responsible), karena tanpa adanya rasa aman dan suasana kondusif, seorang pemimpin akan sulit membangun daerahnya tersebut, maka di situlah pemimpin dituntut untuk bersikap bijaksana bila tidak ingin "diganggu" dalam perjalanan kepemimpinannya.

            Ibnu Athaillah berkata :

"Jika engkau tak ingin dilengserkan, maka janganlah menguasai jabatan yang tidak kau kenal" (in aradta an ta'zula falaa tatawalla wilaayatan la taduumu laka).

Secara duniawi, jabatan atau kedudukan memang diminati banyak orang. Karena kedudukan itu menyenangkan buat hawa nafsu. Jabatan membuat orang jadi terpandang, terhormat dan disegani. Bahkan dari kedudukan itu, seseorang bisa mengeruk harta untuk memperkaya diri. Namun secara makrifat, jabatan itu justru dapat membahayakan bagi kehidupan spiritual. Karena,  dibalik jabatan terkandung tanggungjawab besar. Kelak seseorang yang memangku jabatan akan dimintai pertanggungjawaban di depan pengadilan Allah. Semakin tinggi jabatan seseorang, semakin besar pula tanggungjawab, dan semakin terbuka peluang untuk berbuat maksiat. Apalagi bila apa yang kita 'jabat' sekarang tidak kita kenal (tidak menguasainya), berarti kalau seseorang menjabat suatu jabatan penting tapi bukan sebagai ahli di bidangnya, atau karena ketidaktahuan dan ketidak mampuan dalam hal memimpin, bisa berakibat fatal terhadap keberlangsungan pemerintahannya.

            Oleh sebab itu, sebagai cermin dan kriteria khusus kepemimpinan yang akan bertandang di Kabupaten Ciamis ini, harus Smart (cerdas, pintar, bijak), dan memiliki  Courage (keberanian) dan  politeness (kesantunan, keadaban). Karena dengan tiga hal tersebut di atas Insya Allah kita tidak hanya berpolemik dengan sosok pemimpin secara 'politis' semata, akan tetapi lebih jauh lagi "sudah saatnya Kabupaten Ciamis memiliki pemimpin seperti Khalifah Abu Bakar dalam kebijaksanaannya, Umar ibn Al-Khaththab dalam keberaniannya, Sayidina Utsman dalam kedermawanannya, seperti Sayidina Ali dalam kecerdasannya, dan seperti Umar bin Abdul Aziz dalam kesantunannya". Sekarang pertanyaannya adalah sudah siapkah Sumber Daya Insani seperti tersebut di atas? Jawabannya tentu hanya masyarakat Kabupaten Ciamis-lah yang bisa lebih "teliti sebelum membeli" dan lebih arif, bijak dalam menerawang jauh ke depan, karena saya yakin tipikal orang seperti tadi, nampaknya tidak akan mudah didapatkan sebab manusia yang memiliki tipe "tiga dimensi; kemampuan khusus" tersebut ada di dasar samudera, ia adalah "mutiara" yang sangat mahal nilainya, harus selalu dicari dan dicari pada tumpukan 'kerang-kerang' lautan nan dalam.

             Masyarakat Ciamis harus mampu 'menyelami' dasar samudera yang begitu dalam untuk mendapatkan 'kerang' yang berisikan mutiara tersebut. Baru setelah itu, kerang tersebut dibuka lalu diambil mutiaranya kemudian dibersihkan, digosok dengan teliti, maka lambat laun akan timbullah 'cahaya cemerlang indah dan mempesona' dan jadillah sebuah perhiasan mahal terindah yang mampu membahagiakan siapapun yang memilikinya.

            Begitulah tipikal atau sifat kepemimpinan kelak di Negara kita secara Nasional, maupun lokal, sehingga dengan sendirinya kecarut-marutan suasana kebangsaan kita yang semakin tak tentu arah, akan bangkit kembali oleh 'kesatuan sikap' antara pemimpin dengan yang dipimpim sesuai dengan semangat 'demokrasi bermoral' yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia di mata dunia secara kosmopolitan. Insya Allah bangsa ini; terutama Kabupaten kita tercinta Ciamis akan kembali menjadi wilayah ujung timur penyangga Propinsi Jawa Barat yang kuat wilayahnya, cerdas pemimpinnya serta tetap menjaga nilai-nilai moralitas secara menyeluruh yang dimiliki oleh setiap individu masyarakat dan komponen bangsa.

            Dua tahun kurang masa pemerintahan di Kabupaten Ciamis ini, janganlah terlalu diributkan akan siapa-siapa yang akan "ngageuegeuh" nya nanti, berilah kesempatan kepada periode kepemimpinan yang sekarang masih berjalan untuk menyelesaikan tugas dan tanggungjawabnya dengan 'cantik' 'dewasa, arif dan bijak'. Karena dalam sejarah moralitas masyarakat Ciamis tidak ada 'budaya premanisme dan barbarisme' untuk menunjukkan ketidaksukaannya dengan cara-cara ”membelah karakter manusia", Perlu dipegang teguh dan disadari, hal-hal buruk 'saling jatuhkan dan saling bermusuhan' tidak boleh terjadi di Kabupaten Ciamis tercinta ini.  

            Jadi, jika masih ada hal-hal tadi, maka diyakini sikap semacam itu bukan untuk memperbaiki pembangunan Kabupaten Ciamis, namun sebaliknya langkah-langkah kurang bijak itu malah bisa jadi untuk menghancurkan suasana damai Ciamis, sebagai wilayah religius yang tinggi selama ini.

            Menurut pandangan penulis, suara masyarakat atau rakyat adalah suara nurani yang sejati, bukan "suara Tuhan" yang sering disalah artikan selama ini. Sehingga rakyat menjadi anarkis, karena merasa dirinya sebagai "Tuhan-Tuhan Kecil" dan sang penguasa sebagai "Tuhan-Tuhan Setengah Besar". Maka dengan sendirinya bangsa ini pun menjadi bangsa "Takabbur dan Musyrik" karena antara rakyat dan penguasa sudah menjelma jadi "Tuhan-Tuhanan". Padahal kita ini hanyalah hamba Allah Tuhan Seru Sekalian Alam, yang sangat kecil dan tak berdaya bila disandarkan dengan "kekuasaaan" manusia selama ini. Ada sebuah harapan dari setiap komponen masyarakat Kabupaten Ciamis, dalam membaca para calon pemimpin daerahnya di masa depan yakni "Satunya Kata dan Perbuatan". Bila disimak ungkapan tersebut sangat sarat nilai, terutama nilai bagi seorang pemimpin yang tidak hanya pandai mengubar janji namun tak ada bukti, atau tidak adanya kesesuaian antara sikap perilaku dengan ucapan yang dilontarkan ke tengah masyarakat yang dipimpinnya, keadaan seperti itu akan menuai bencana ketidak percayaan rakyat terhadap sang pemimpin tersebut.

            Dengan demikian, Ciamis masa depan adalah tergantung pada kesatuan cita-cita dan harapan antara pemimpin dan masyarakat yang dipimpinnya kelak, sesuai dengan motto yang direvival sebagai masyarakat agamis, dinamis dan berlandaskan kesejatian sikap moral yang tinggi, dan "istiqamah" dalam kebaikan, kokoh kuat tidak mudah goyah, dengan memiliki program yang riil bukan hanya sekedar 'kata-kata yang muluk' namun tidak ada realisasinya. Sekarang ini adalah zaman realistis (perlu bukti dan karya nyata) namun perenialis (menjaga nilai tradisi keabadian sikap mulia), jadi jika kedua falsafah moral kepemimpinan tadi dipersatukan bisa menjadi 'kekuatan yang tak ternilai' untuk membangun Kabupaten Ciamis sebagai Kabupaten terdepan dalam Pembangunan baik pembangunan infrastruktur maupun suprastruktur; pembangunan sumber daya insani, yang berlandaskan nilai moral sejati, yaitu keimanan dan kecerdasan yang tinggi, Insya Allah.

 

Jujur

  J u j u r   Wajib bagi kamu yang berlaku benar, karena sesungguhnya kebenaran itu membawa kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke ...