Jumat, 23 Maret 2018

Pendidikan Islam dan Eksistensi Pesantren Dalam Pemberdayaan Umat


Pendidikan Islam di Indonesia merupakan warisan peradaban Islam dan sekaligus aset bagi pembangunan pandidikan nasional. Sebagai warisan, ia merupakan amanat sejarah untuk dipelihara dan dikembangkan oleh semua umat Islam dari masa ke masa. Sedangkan sebagai aset, pendidikan Islam yang tersebar di berbagai wilayah ini membuka kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk manata dan mengelolanya sesuai dengan sistem pendidikan nasional. Dalam kedua perspektif di atas, pendidikan Islam di Indonesia selalu menjadi lahan pengabdian kaum muslimin dan sekaligus menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional.

Mendiskusikan sistem pendidikan di Indonesia khususnya pendidikan Islam, secara garis besarnya terbagi ke dalam dua tingkatan; makro dan mikro. Pada level yang pertama (makro), pendidikan Islam bersentuhan dengan sistem pendidikan nasional dan faktor-faktor eksternal lain. Sedangkan pada level yang kedua (mikro), pendidikan Islam dihadapkan pada tuntutan akan proses pendidikan yang efektif sehingga menghasilkan lulusan yang berkualitas dan berbudaya tinggi.

Berbagai persoalan dari kedua level tersebut di atas pada prinsipnya mendorong adanya perubahan arah pendidikan Islam, mengingat tantangan kontemporer dan tantanan masa depan yang berbeda dengan tantangan masa lalu. Sehingga berbagai persoalan yang muncul, pendidikan Islam diharapkan mampu berperan sebagai penyambung antara tujuan kehidupan berbangsa, bernegara dan beragama. Ketersambungan tersebut, penyelenggaraan pendidikan Islam harus menjadi alat (tool) untuk menghilangkan dikotomi antara kehidupan bernegara dan beragama, terutama dalam penyelenggaraan pendidikan.

 

Perbincangan Pendidikan Islam

Islam adalah agama yang menempatkan pendidikan dalam posisi yang sangat vital. Bukanlah sesuatu yang kebetulan jika lima ayat pertama yang diwahyukan Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw., dalam surat al-'Alaq, dimulai dengan membaca iqra'. Di samping itu pula pesan-pesan al-Qur'an dalam hubungannya dengan pendidikan pun dapat dijumpai dalam pelbagai ayat dan surat dengan aneka ungkapan pernyataan-pertanyaan dan kisah. Lebih khusus lagi, kata 'ilm, dan deviriasinya digunakan paling dominan dalam al-Qur'an untuk menunjukkan perhatian Islam yang luar biasa terhadap pendidikan.

Menegaskan kenyataan di atas, pasangan sarjana muslim kontemporer, Ismail Raji al-Faryqi dan Lois Lamnya' al-Faruq, membuat pernyataan bahwa, Islam mengidentifikasi dirinya sendiri dengan ilmu. Bagi Islam, ilmu adalah syarat dan sekaligus tujuan dari agama ini.

Peradaban Islam sejak awal juga menunjukkan prestasi yang sangat berarti dalam bidang keilmuan dan pendidikan. Pada masa permulaan penyiaran Islam, Nabi Muhammad Saw. sendiri menggunakan pendekatan pendidikan, bukan pemaksaan, untuk mengajarkan agama Islam pada lingkaran khusus di rumahnya Arqam. Besarnya perhatian Muhammad Saw. terhadap pendidikan juga terlihat ketika ia memutuskan pembebasan bagi tahanan perang non-muslim dengan syarat yang bersangkutan terlebih dahulu mengajarkan tulis baca kepada orang-orang muslim yang masih buta huruf.

Dalam perkembangan berikutnya masjid yang pada dasarnya sebagai tempat beribadah, justeru menjadi tempat pendidikan yang menonjol pada dua abad pertama sejarah peradaban Islam. Tradisi ini terus menerus berlanjut dan berkembang khususnya pada masa keemasan peradaban Islam dengan pendirian lembaga-lembaga pendidikan yang bervariasi mulai dari masjid-khan, dar al-hikmah, dar al-hadits, sampai dengan madrasah. Lembaga yang terakhir ini kemudian diakui oleh banyak sarjana sebagai lembaga pendidikan tinggi dalam Islam, yang memberikan sumbangan penting bagi perkembangan tradisi (lokal) dan pendirikan modern di Barat.

Perhatian terhadap sejarah peradaban Islam memang sejauh ini masih terpusat pada aspek politik yang menggambarkan pasang surut kekuasaan Islam. Dinamika dan pergumulan Islam dalam bidang pendidikan dan intelektual tergolong wilayah kajiannya yang masih terlantar. Sekalipun demikian, beberapa sarjana telah berhasil mengungkapkan dimensi intelektual dan sejarah peradaban Islam itu dengan beberapa tesisnya yang menarik. Mereka mengakui bahwa pemikiran-pemikiran intelektual muslim pada masa pertengahan telah menjangkau wilayah kajian yang kompleks, mulai dari filsafat, keagamaan, humaniora, sampai dengan ilmu-ilmu kealaman (natural science). Sementara itu, keseriusan para pemikir muslim dalam mensintetiskan pemikiran Yunani Kuno setidak-tidaknya telah berhasil menjembatani munculnya masa pencerahan (renaisance) peradaban Barat yang berlanjut hingga masa modern. Tanpa Islam bisa dikatakan tidak akan pernah muncul peradaban Barat Modern seperti yang kita saksikan sekarang ini.

Di Indonesia, sejalan dengan proses penyebaran dan pendidikan Islam sudah mulai tumbuh meskipun masih bersifat individual. Para penganjur agama ini mendekati masyarakat dengan cara yang persuasif dan memberikan pengertian tentang dasar-dasar agama Islam. Kemudian, dengan memanfaatkan lembaga-lembaga masjid, surau dan langgar mulailah secara bertahap berlangsung pengajian umum untuk menangani tulis baca Al-Qur'an dan wawasan keagamaan. Namun demikian, pelembagaan khusus untuk pelaksanaan pendidikan bagi umat Islam di Indonesia baru terjadi dengan pendirian pesantren. Lembaga ini diperkirakan muncul pada abad ke-13 M dan mencapai perkembangannya yang optimal pada abad ke-18 M. Para ahli agaknya sepakat bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia.

Gairah umat Islam untuk terus mendalami ajaran Islam secara menyeluruh meningkat. Untuk tujuan ini, sebagian lulusan pesantren melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi ke beberapa pusat kajian Islam di Timur Tengah. Fenomena pelancongan (rihlah ilmiyah) yang secara intensif muncul pada akhir abad ke-18 M. ini, pada akhirnya tidak saja menambah wawasan keilmuan mereka, tetapi juga menambah pengalaman dan inspirasi mereka dari gerakan-gerakan modernisasi pendidika di Timur Tengah. Lulusan pendidikan Timur Tengah pada masa itu kemudian menjadi pemrakarsa pendirian madrasah di Indonesia. Berbeda dengan lembaga pendidikan pesantren, madrasah yang di contoh dari Timur Tengah itu merupakan lembaga pendidikan yang lebih modern dari sudut metodologi dan kurikulum pengajarannya.

Bersamaan dengan fenomena di atas, sebagian kalangan Islam di Indonesia juga berinteraksi dengan sistem pendidikan sekolah yang diperkenalkan oleh pendidikan Hindia Belanda (pendidikan sekuler). Ciri lembaga pendidikan sekolah ini terletak pada orientasinya yang lebih menekankan pada peningkatan kecerdasan dan keterampilan kerja. Beberapa tokoh dan organisasi kemasyarakatan Islam, memprakarsai pendirian sekolah-sekolah ala Belanda itu dengan menambahkan muatan agama. Di satu sisi, mereka berani mengadopsi sistem pendidikan sekolah yang dikenal sekuler, di samping itu, pengajaran ilmu-ilmu umum sebagaimana layaknya sekolah Belanda. Corak pendidikan seperti ini merupakan cikal bakal dari perkembangan sekolah-sekolah Islam yang marak berkembang di Indonesia hingga sekarang.

Pendirian lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia dalam berbagai bentuk dan coraknya, merupakan upaya pendidikan untuk masyarakat secara terbuka. Sampai munculnya pesantren, lembaga pendidikan di Indonesia sebelumnya cenderung bersifat sangat eksklusif. Pada masa pra-Islam, selain para rohaniawan Hindu, tidak semua orang dapat mengikuti pendidikan yang terlembagakan. Sedangkan pada masa penjajahan, sekolah-sekolah pada mulanya didirikan untuk kalangan bangsawan dan kaum penjajah. Kebijakan politik etis atas prakarsa Van Deventer, belum sepenuhnya menyentuh masyarakt bawah. Baru setelah adanya desakan gerakan pencerahan dan perjuangan kalangan terdidik Indonesia, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan pendirian sekolah-sekolah rakyat yang lebih terbuka. Hal ini berbeda dengan pendirian madrasah dan sekolah Islam yang sejak semula besifat terbuka bagi masyarakat luas.

Uraian singkat di atas tadi, Husni Rahim (2001) menjelaskan bahwa eksistensi dan perkembangan pendidikan Islam di Indonesia barasal dari proses interaksi misi Islam dengan tiga kondisi. Pertama, interaksi Islam dengan budaya lokal (pra Islam) telah melahirkan pesantren. Meskipun pandangan ini masih kontroversial, tetapi pelembagaan pesantren bagaimanapun tidak bisa lepas dari proses akulturasi Islam dalam kontaks budaya asli (indigenous). Kedua, interaksi misi pendidikan Islam dengan tradisi Timur Tengah modern telah menghasilkan lembaga pendidikan madrasah. Ketiga, interaksi Islam dengan politik pendidikan Hindia Belanda telah membuahkan hasil lembaga pendidikan Islam. Tetapi dalam sejarah pendidikan di Indonesia kedua lembaga itu lahir dari inspirator yang berbeda; satu dari lulusan timur tengah modern, dengan melahirkan pendidikan Islam melalui lembaga pendidikan madrasah. Sedangkan yang lain dari gerakan yang kooperatif dengan pendidikan ala Belanda, dengan memasukan pelajaran agama Islam sebagai pelajaran tambahan.

 

Pesantren dan Pertumbuhannya

Awal mula perkembangan pendidikan Islam di Indonesia tidak terlepaskan dari peran pesantren itu sendiri. Kelahiran pondok pesantren di tanah air, tidak dapat dipisahkan dari sejarah masuknya Islam ke Indonesia.  Dari segi historis, pesantren tidak hanya hanya mengandung nilai (value) keislaman, tetapi juga nilai (value) keaslian (indigenous) Indonesia. Sebab, lembaga yang serupa telah terdapat pada masa kekuasaan Hindu-Budha, sedangkan Islam hanya meneruskan dan atau mengislamkannya. Pendidikan pesantren ditinjau dari segi bentuk dan sistemnya memang berasal dari India, sebelum proses secara umum untuk pendidikan dan pengajaran agama Hindu di Jawa. Bahkan istilah pesantren sendiri, seperti halnya ngaji, bukan dari bahasa Arab, tetapi diadopsi dari bahasa India.

Kehadiran pondok pesantren sampai saat ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi umat Islam. Pada awal berdirinya, pondok pesantren umunya sangat sederhana. Sistem yang lazim digunakan dalam proses pembelajaran adalah wetonan, sorogan dan bandongan. Akan tetapi sejak 1970-an bersamaan dengan program modernisasi pondok pesantren, mulai membuka diri untuk mempelajari pelajaran umum. Pada mulanya, tujuan utama pondok pesantren adalah menyiapkan santri untuk mendalami ilmu pengetahuan agama (tafaqqul fi al-din).

Dewasa ini, pertumbuhan dan penyebaran pesantren sangat pesat. Dengan menjamurnya pondok pesantren dengan menyuguhkan spesialisasi kajian baik tradisional ataupun modern, membawa dampak positif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di negeri ini. Kehadiran pondok pesantren telah nyata membantu pemerintah dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Di samping itu, pesantren telah menawarkan jenis pendidikan alternatif bagi pengembangan pendidikan nasional. Sejak awal berdirnya, pondok pesantren dikenal sebagai lembaga pengakaderan ulama (reproduction of ulama), tempat pengajaran ilmu agama (transfer of Islamic knowledge) dan memelihara tradisi Islam (maintenance of Islamic tradition). Fungsi ini semakin berkembang dan melebar akibat tuntutan pembangunan nasional yang mengharuskan pesantren terlibat di dalamnya.

Kini, di abad ke-21, sebagaimana disebut orang abad milenium, peran pesantren bukan saja sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai lembaga keagamaan dan lembaga sosial. Peran pesantrenpun melebar menjadi agen perubahan masyarakat (agent of social change).

Mencermati karateristik umat Islam serta kecenderungan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada masa yang akan datang, disertai dengan perkembangan kebudayaan, maka pilihan format pondok pesantren lebih menekankan kepada ilmu pengetahuan alam (natural science). Maka keberadaan pondok pesantren sangat optimis sebagai lembaga alternatif pendidikan. Sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh Chistoper J. Lucas; "Pesantren menyimpan kekuatan yang sangat luar biasa untuk menciptakan keseluruhan aspek lingkungan hidup dan dapat memberi informasi yang berharga dalam mempersiapkan kebutuhan yang inti untuk menghadapi masa depan".

Di sinilah peran pesantren perlu ditingkatkan. Tuntutan globalisasi tidak mungkin dihindari. Salah satu langkah yang bijak adalah mempersiapkan pesantren tidak "ketinggalan kereta" agar tidak kalah dalam persaingan. Pada tataran ini, masih banyak pembenahan dan perbaikan yang harus dilakukan oleh pondok pesantren.

Ada tiga hal (paling tidak) yang mesti di garap oleh pondok pesantren yang sesuai dengan jati dirinya. Pertama, pesantren sebagai lembaga pendidikan pengkaderan ulama. Fungsi ini tetap harus melekat pada pesantren, karena pesantren adalah satu-satunya lembaga pendidikan yang melahirkan ulama. Namun demikian, tuntutan modernisasi dan globalisasi mengharuskan ulama memiliki kemampuan lebih, kafasitas intelektual yang memadai, wawasan, akses pengetahuan dan informasi yang cukup serta responsif terhadap perkembangan dan perubahan.

Kedua, pesantren sebagai lembaga pengembangan ilmu pengetahuan khusus agama Islam. Pada tataran ini, pesantren masih dianggap lemah dalam penguasaan ilmu dan metodologi. Pesantren hanya mengajarkan ilmu agama dalam arti tranfer of knowledge. Karenanya pesantren harus jelas memiliki potensi sebagai "lahan" pengembangan ilmu agama.

Ketiga, dunia pesantren harus mampu menempatkan dirinya sebagai transformator, motivator dan inovator. Kehadiran pesantren dewasa ini telah memainkan perannya sebagai fungsi itu meskipun boleh dikata dalam taraf yang perlu dikembangkan lebih lanjut. Sebagai salah satu komponen masyarakat, pesantren memiliki kekuatan dan "daya tawar" untuk melakukan perubahan-perubahan yang berarti.

Berdasarkan pendekatan sistemik dan religi di atas, tentunya diakui bahwa peranan pondok pesantren harus sanggup membangun individu santri untuk membangun kelompok (sosial) yang memiliki potensi kuat dalam mengisi pembangunan negeri ini. Dengan konsepsi yang demikian itu, pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang ideal, terutama, karena di dalamnya memuat konsep pendidikan yang integralistik, humanistik, pragmatik, dan mempunyai akar budaya yang sangat kental di lingkungan masyarakat.

Dengan fenomena yang seperti itu, tidak heran bila sekarang, pemerintah atau lembaga sosial kemasyarakatan menginginkan pondok pesantren menjadi pusat pemberdayaan masyarakat, melalui berbagai kegiatan yang sangat menunjang untuk menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang memiliki kompetensi jelas. Dan di sinilah perlunya mendiskusikan kembali peran pesantren yang tidak hanya sebagai sarana olah santri dalam kajian ilmu-ilmu keislaman. Tetapi yang lebih jauh lagi adalah memformat bahwa pesantren harus menjadi wadah pembinaan skill dan kreatifitas santri. Sehingga lulusan pesantren mampu membangun personal yang memiliki sumber daya yang kuat, handal dan mampu menembus tantangan zaman dan sekaligus merubahnya menjadi sebuah peluang.

 

Penutup

Uraian di atas menggaris bawahi, bahwa perkembangan pendidikan Islam yang diawali sejak masuknya Islam ke Indonesia sampai sekarang, telah memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap kemajuan masyarakat Indonesia. Besarnya pengaruh tersebut karena pendidikan Islam telah ikut berperan dalam rumusan cita-cita dan tujuan pendidikan nasional. Mencerdaskan kehidupan bangsa yang beriman, bertaqwa dan berakhak mulia adalah gagasan yang sangat subtantif untuk melahirkan generasi yang handal, sehat dalam berfikir, bertindak dan mampu menempatkan nilai-nilai idealitas normatif dalam kehidupan.

Untuk itu, pendidikan Islam yang dikelola oleh lembaga keagamaan dalam hal ini Departemen Agama, diharapkan tidak; (1) menumbuhkan semangat fanatisme buta; (2) menumbuhkan sikap intoleransi di kalangan masyarakat; (3) memperlemah kerukunan hidup berbangsa dan beragama.  Sebaliknya, pengembangan pendidikan agama harus mampu menciptakan ukhuwah Islamiyah, serta mampu membentuk kesalihan pribadi dan sekaligus membangun kesalehan sosial. Insya Allah! 

Selasa, 06 Maret 2018

Disonansi Sistem Pendidikan Kita; Qua Vadis?

 


Baru-baru ini sering kita saksikan iklan tentang adanya sebuah lembaga pendidikan asing (baca:Internasional) yang menggambarkan ada beberapa orang yang sedang diwisuda, yang mengandalkan finansial belaka. Lalu para wisudawan tiba-tiba berubah mukanya menjadi muka  binatang! begitulah kira-kira gambaran dari iklan tersebut.

Ada sebuah metafora yang sangat menyakitkan bagi dunia pendidikan kita dari gambaran atau visualisasi tersebut: Pertama, kita adalah bangsa yang besar, yang selama ini ingin menempatkan diri sebagai negeri yang dihormati, baik oleh kawan maupun lawan. Akan tetapi pada kenyataannya selama ini kita selalu bertindak "pasif, menunggu waktu, stagnan" dalam menindaklanjuti segala yang dianggap penyelewengan, pembangkangan, maupun pelecehan dalam dunia pendidikan kita. Sistem pendidikan yang dari dulu sampai sekarang masih belum jelas kemana arah dan tujuan dunia pendidikan kita. Sebab di saat lembaga-lembaga asing membuka cabang atau agen sejenisnya di negara kita, (sesuai semangat AFTA, NAFTA atau WTO) maka sikap pemerintah kita menjadi a priori bahkan seakan menghambat laju kompetisi dalam dunia global sekarang ini, disebabkan belum siapnya sistem pendidikan kita dalam berkompetisi dengan lembaga-lembaga asing tersebut. Tanpa bagaimana sejujurnya kita melakukan perbaikan-perbaikan sistem atau pendayagunaan seluruh kekuatan untuk menciptakan dunia pendidikan yang terhormat, elegan, maju dan berkualitas, serta memiliki orientasi jelas ke depan baik secara moriil maupun materiil.

Ketika ada kejadian -- yang sebenarnya sudah berjalan sekian lama ini -- maka pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional seperti "kebakaran jenggot" mengapa baru sekarang ada aturan dan perundangan yang melarang dan "mengharamkan" praktek lembaga-lembaga asing tersebut? Padahal dalam hal ini masyarakat berkeyakinan bahwa persoalan adanya lembaga asing yang membuka pendaftaran jenjang pendidikan simpel, yang hanya dengan 1 tahun atau lebih sedikit tiba-tiba mahasiswanya bisa diwisuda dengan mudah! Hanya dengan membayar uang administrasi sekian juta rupiah, jadilah sarjana, lengkap dengan "ijazah" nya -- walaupun tidak diakui sama sekali di dalam dunia pendidikan kita. Menurut pandangan orang-orang dalam dunia akademik formal hal tersebut termasuk "penyelewengan dan pelecehan bahkan pengkhianatan intelektual". Karena dianggap begitu mudahnya sebuah lembaga asing mengeluarkan kewenangan mengeluarkan ijazah tanpa harus dengan susah payah dalam meraihnya.

Kedua, ciri metafora lainnya dalam kejadian seperti itu, menggambarkan kelemahan  sistem pendidikan kita selama ini. Orientasi futuristik (masa depan) dan orientasi sinkronik (sekarang) dan diakronik (masa lalu) dunia pendidikan kita tidak pernah jelas dan selaras dengan kebutuhan hakiki nilai tujuan pendidikan itu sendiri. Salah satunya adalah bagaimana selama beberapa tahun kebelakang hingga sekarang, pendidikan kita tak lebih hanya dipandang sebagai "pelengkap penderita" saja dari pembangunan ekonomi, Dengan kata lain, meskipun pemerintah telah menetapkan bidang pendidikan sebagai bagian dari pembangunan nasional, namun pembangunan di bidang pendidikan hanya diarahkan untuk menunjang keberhasilan pembangunan sektor ekonomi semata. Itulah sebabnya, pengembangan sumberdaya manusia (human resource development) yang berkualitas juga sering diartikan sebagai sumber daya manusia di bidang ekonomi an sich.

Ketiga, orientasi pendidikan kita yang lebih cenderung mengandalkan dan menghargai siapa yang berijazah (civil effect), tanpa menghargai orang-orang profesional terlatih yang cukup dapat diandalkan dalam bidangnya,baik untuk diangkat menjadi pegawai negeri sipil atau pegawai swasta atau hanya sekedar legitimasi sosio-kultural di tengah-tengah masyarakat. Sehingga ketika ada sebuah lembaga yang membuka peluang untuk mendapatkan ijazah tanpa harus berlama-lama kuliah, maka terjadilah disonansi (hiruk pikuk) dan rush dalam  memasuki lembaga tersebut, tanpa berfikir panjang apakah ijazahnya diakui atau tidak oleh pihak pemerintah atau bertentangan tidak dengan aturan perundang-undangan kependidikan di Indonesia, karena mereka berfikiran dunia global yang terbuka terhadap sesuatu hal yang baru itulah mereka enjoy dengan semua itu, yang penting mereka ada satisfaction (kepuasan) tersendiri, daripada mengikuti sistem yang njlimet, yang ujung-ujungnya harus pake dana yang cukup besar juga. Jadi kejadian bebasnya lembaga-lembaga asing itu "beranak pianak" di negeri kita ini, bukan tidak mustahil semua perbuatan mereka sebenarnya sudah lama diketahui oleh pihak yang berwenang; baik Depdiknas, ataupun aparat pemerintah lainnya karena tidak sedikit "orang-orang dalam" sendiri menjadi konsumen lembaga asing tersebut, sehingga mengapa sudah sekian lama iklan-iklan atau promosi mereka baik yang melalui media cetak maupun elektronik, tidak dapat dicegah jauh-jauh hari sebelumnya. Semuanya juga ikut andil apakah media cetak, maupun elektronik mensosialisasikan lembaga asing tersebut baik melalui agen-agen ataupun cabang-cabangnya di seluruh nusantara ini.

Keempat, mengapa kejadian ini -- jika memang sudah menyalahi aturan sistem pendidikan nasional kita -- yang tentu sudah dirancang jauh-jauh hari, membiarkan terlalu lama beroperasi lembaga yang dianggap terlarang tersebut?, sehingga sampai sekarang telah memiliki cabang di seluruh nusantara, yang disinyalir para konsumennya adalah juga para tokoh, pejabat teras, perwira baik sipil maupun militer, bahkan masyarakat umum juga, yang pada akhirnya akan merasa dirugikan baik secara moral maupun material. Harga diri yang terhempas sebagai korban dari beralihnya sistem lateral dunia pendidikan kita yang setiap waktu sedang mencari jati diri ini. Semestinya disaat lembaga itu baru mempromosikan visi, misi kelembagaannya sejak awal sudah dapat dideteksi secara cermat dan arif oleh pihak yang berwenang, bukan setelah menjerat konsumen ribuan bahkan lebih dan membuka cabang di setiap propinsi kita baru bertindak, hal ini seperti kebiasaan lama dari sikap dan langkah pemerintah kita sejak dulu, jika belum terjadi sesuatu yang parah tidak dicegah, tetapi setelah banyak orang menikmati sekaligus dirugikan pemerintah baru bertindak, ibarat kalau sebuah "rumah" kemalingan baru menyewa satpam, kenapa tidak jauh-jauh hari menyewa satpam tersebut yang mungkin masih bisa meminimalisir kerugian yang lebih besar. Sekarang ini, pemerintah (dalam hal ini Depdiknas) atau DPR membuat aturan seakan-akan telah menjadi pahlawan, bahwa siapa yang menjual atau membeli ijazah dari lembaga "illegal" tersebut, akan didenda 1 milyar dst. Dari segi teknis perundang-undangan hal tersebut baik-baik saja untuk diterapkan sejak sekarang, tetapi ingat! Hal itu sebenarnya telah membuat carut-marutnya "wibawa" pemerintah itu sendiri, cq. Mendiknas yang menjadi promotor dari iklan-iklan yang ditayangkan di media-media elektronik, yang berjejer dengan wajah-wajah wisudawan yang divisualisasikan dengan animasi Komputer berubah jadi "monyet, babi, anjing" sekarang kalau rakyatnya sudah digambarkan seperti itu, apakah pihak berwenang, yang kebetulan menangani wilayah pendidikan tadi tidak merasa malu? Karena secara moral dan teknis kewenangan merekalah yang menjadi penanggung jawab rakyat diserupakan dengan binatang tadi, bagi kami visualisasi tersebut telah menghina martabat Negara kita sendiri, apa tidak ada cara lain untuk menggugah hati masyarakat atau rakyat kita dengan cara-cara yang lebih arif, santun bijaksana. Karena mustahil sebuah lembaga asing beroperasi di Negara orang lain tanpa sepengetahuan pihak-pihak yang berwenang, minimal izin operasionalnya. Kalau tidak mengapa mereka bisa benar-benar bebas seperti itu, terlepas dari sejak kapan mulainya, yang penting semuanya harus introspeksi diri, bukan sekedar menghakimi semata. Kalau mau benar-benar aturan ditegakkan, mari kita sama-sama berantas korupsi terbesar di negara kita tercinta ini, mampukah kita menangkap, dan menghukum para "Raja Maling" keturunan atau pribumi yang telah merugikan negara ribuan trilyun (KLBI-BLBI), yang hingga sekarang malah masuk kotak atau "dipeti es-kan". Yang ditangkapi hanya kelas terinya saja! Jadi hukum dan keadilan ini jangan sekali-kali dipermainkan, kita bisanya hanya menangkapi orang-orang kecil dan menengah saja, namun "masih takut" untuk menangkap raja koruptor yang masih melenggang  di dalam ataupun di luar negeri. Mana keadilan yang sedang digembar-gemborkan pemerintah sekarang? Kita tidak perlu terjebak oleh "trend pemberantasan korupsi" semata, namun darimana kita mulai pemberantasan tersebut, ternyata masih sering salah kaprah.

Adapun langkah pemerintah menertibkan seluruh lembaga yang dianggap menyalahi perundang-undangan pendidikan nasional kita, sangat setuju untuk diamati dan diawasi bahkan kalau perlu dibina dan diarahkan agar mereka mematuhi sistem peraturan Departemen Pendidikan Nasional yang menjadi "kiblat"nya pendidikan kita. Ajak dialog "think tank" mereka lalu cari solusi terbaiknya demi kemaslahatan cermin bangsa kita juga terutama dunia pendidikan kita yang telah "berdosa" membiarkan berlarutnya hal-hal pembangkangan akademik seperti ini.

   Karena, bila dilihat kejadiannya tidak ada kesalahan individual, akan tetapi pemerintah pun harus bersikap kesatria atas kelengahannya selama ini, bahwa hal tersebut merupakan kesalahan paralel dan kelengahan bersama. Salah satu penyelesaian terbaik dari yang ada, adalah; pertama, buatkan klasifikasi customer yang pernah mendapat ijazah dari lembaga asing tersebut, bila ia mendapatkannya setingkat S.1 berarti dia minimal harus sudah memiliki ijazah SLTA atau yang sederajat, bila ada yang mendapatkan Ijazah S.2, dia harus sudah memiliki ijazah S.1 sederajat, kemudian bagi yang mendapatkan ijazah S.3, seperti Phd. (Phylosopy Doctor) tentu dia harus sudah memiliki terlebih dahulu ijazah S.2. yang sudah terakreditasi oleh pemerintah kita. (non-Honoris Causa). Dengan cara dianjurkan menulis desertasi sesuai dengan kemampuan di bidangnya, kemudian syarat lainnya mampu dan menguasai 2 bahasa asing dengan baik (Inggris, Perancis atau Jerman, dan Arab), serta telah memiliki karya tulis atau kiprah ilmiah lainnya baik secara praksis ataupun teoritis.

Kedua, bagi yang mendapat gelar Doktor Honoris Causa (DR.HC), untuk kategori ini, tidak perlu dilihat ijazahnya, akan tetapi karena ini adalah gelar kehormatan, yang tanpa harus melalui jenjang pendidikan formal, tetapi penghargaan kepada siapa yang telah meraih kualitas kiprahnya baik secara pendidikan non-formal (para Ulama, Kyai yang sudah level Nasional), atau tokoh masyarakat yang sudah dianggap memadai mendapat gelar DR.HC tersebut, atas dasar penelitian di tengah masyarakat, serta masukan positif yang dapat dipertanggungjawabkan. Atau para pejabat tinggi yang telah teruji keberhasilannya dalam pembangunan di segala bidang, yang menjadi garapan tugasnya. Atau masyarakat akademik (dosen, pegawai negeri lainnya yang bergelut dalam dunia pendidikan atau wilayah manajerial kelembagaan secara professional). Juga kalangan seniman, budayawan, yang sudah cukup banyak kiprahnya dalam memajukan khazanah keilmuan di bidangnya, atau kreasi dan produk intelektualitasnya yang sudah dirasakan oleh semua kalangan.

Ketiga, bagi yang tidak memenuhi persyaratan di atas, ada baiknya mereka di-Heregistrasi-kan kepada lembaga pendidikan yang ditunjuk pemerintah untuk mengulangi secara arif  bijaksana, elegan dan kesatria, tentu dengan pembiayaan sepenuhnya diserahkan kepada para  "sarjana" tersebut. Maka dengan langkah dan solusi tersebut,  kearifan  dan kesungguhan pemerintah dalam mengayomi rakyatnya, terlihat tegas dan memiliki tingkat wisdom yang sangat tinggi, walaupun pemerintah harus sedikit berkorban moriil juga dalam menghadapi rakyatnya yang telah menyalahi aturan akademik tersebut. Dari pada harus berkonfrontasi dengan ribuan massa yang merasa hak-haknya digadaikan. Pemerintah sebagai "Bapak" yang arif adalah yang mampu mengarahkan dan mencarikan jalan keluar atau solusi terbaik bagi "anak-anaknya" yang nakal tersebut. Senakal-nakalnya juga adalah anaknya sendiri. Jadi bukan hanya dengan memenjarakan dan menghukum dengan "denda material" seberapa pun besarnya, hal itu tidak mustahil malah akan mencoreng moreng langkah pemerintah dalam menegakkan keadilan. Karena sekali lagi kami ingin menegaskan saja, bahwa kejadian atau "musibah akademik" ini adalah termasuk andil dan kiprah semua pihak baik secara langsung ataupun tidak langsung.

Keempat, dengan kenyataan semacam ini, yang paling arif adalah kepada semua pihak bisa menyelesaikan tatanan dan sistem pendidikan kita secara jelas, gerichtigkeit (terarah), konstan, tidak hanya selalu mengubah-ubah keputusan dan kebijakan yang tak kunjung menghasilkan sesuatu yang diharapkan oleh hati nurani rakyat, dengan segala kewenangannya pemerintah kita agar "tidak mencoreng" dan "membuka aib sendiri" dengan over atas semua arah fatalogisme institusional. Karena kejadian ini, telah menelanjangi betapa buruknya sistem pendidikan nasional kita sejak pasca-Kemerdekaan.

Kelima, Bangsa kita yang sudah berusia 60 tahun ini, ternyata belumlah bisa dikatakan dewasa dalam menyikapi setiap perkembangan dunia pendidikan, karena ada sesuatu yang diabaikan oleh pemerintah kita, kurang adanya penghargaan kepada lembaga-lembaga Indigenous bangsa kita sejak pra-kemerdekaan sampai orde reformasi ini. Lembaga pendidikan indigenous (ciri khas ke-Indonesia-an), adalah Pondok Pesantren, dimana lulusan atau para alumninya, tidak terlalu memfokuskan kepada apa arti  dan fungsi ijazah yang didapat dari Pesantren tersebut, namun yang ditonjolkan adalah output yang memadai ilmu dengan amaliahnya atau amal dengan ilmunya.

Keenam, sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai religiusitas, tidak salah jika ada sebuah lembaga baik asing ataupun milik pemerintah bangsa kita, dengan dasar penelitian yang akurat dan penghargaan kepada insan-insan berjasa dalam dunia pendidikan moralitas, yakni Pondok Pesantren, bagi pimpinan atau Kyai-nya yang telah cukup banyak kiprahnya di dalam wilayah dakwah kemasyarakatan, sosio-keagamaan maupun lembaga pendidikan, pemerintah memberikan "bintang jasa kehormatan" dengan memberikan gelar penghargaan semacam Doctor Honoris Causa (DR.HC), seperti di Negara-negara maju, bagi mereka yang dipandang layak untuk mendapatkan gelar kehormatan tersebut, sebuah lembaga formal setingkat Universitas berhak memberikan gelar kehormatan tersebut, tanpa memandang dia pernah tamat sekolah atau kuliah, namun melihat terhadap kiprah dan jasa-jasanya. Sebab pada dasarnya orang yang mendapatkan gelar DR.HC itu bukan pihak penerima gelar tersebut yang mencari-cari gelar itu. Akan tetapi pihak lembagalah yang pertama kali menawarkan kepada pihak kedua (yang akan diberi gelar kehormatan) tersebut.

Ketujuh, banyak contoh para tokoh, pemimpin kita yang tanpa melalui jenjang pendidikan formal, namun juga ada yang memang melalui jenjang formalistik seperti kedua proklamator kita Bung Karno sendiri mendapat tidak kurang sepuluh Doktor Honoris Causa, dari  dari Negara-negara maju sebagai bentuk penghormatan terhadap jasa-jasanya, lalu Bung Hatta juga sama mendapatkannya. Dari kalangan ulama besar kita ada Prof .Dr. Buya Hamka (dari al-Azhar University Cairo, Egypt), Presiden kita lainnya Gus Dur (Baghdad University, Iraq) dan Bu Megawati pun mendapat gelar kehormatan tersebut dari salah satu Universitas terbesar di Jepang. Adapun yang mendapat gelar kehormatan dari lembaga-lembaga asing atau Lembaga Pendidikan yang berada di dalam negeri, antara lain DR.H.Hamzah Haz (mantanWakil Presiden RI), DR. H. Agung Laksono (Ketua DPR RI sekarang), DR.KH. M. Sahal Mahfuzh (Ketua Umum MUI Pusat DR.KH. Miftah Farid (Ketua MUI Jabar), DR .KH. Zainuddin Mz, (Dai Sejuta Ummat), DR. H. Amri Yahya (alm. Seniman, Budayawan). DR. KH. Mursalin Dahlan (Persis Jabar, Ulama), "Prof. DR." Rhoma Irama (mendapatkan gelar Profesor dan Honoris Causa, dari kiprahnya di bidang musik), DR. Bambang FX, MBA, MSc (Perwira Tinggi POLRI, mantan Kapolwiltabes Bandung) dan banyak lagi tokoh formal maupun informal lainnya yang tidak bisa disebut satu persatu di sini. Semua itu adalah berupa penghargaan yang tak terhingga bagi para penyandangnya, dan kami yakin beliau-beliau semua tidak menduga semula akan mendapatkan penghargaan DR. HC tersebut. Sebab tidak  menutup kemungkinan, semua itu berdasarkan data-data akurat sekecil apapun sebagai dasar penilaiannya. Karena beliau semua memang pantas untuk mendapatkannya. Bahkan semestinya pemerintahlah yang pertama kali mempunyai ide pemberian gelar-gelar kehormatan tersebut, sama halnya dengan memberikan bintang jasa kehormatan kepada para pahlawan atau orang-orang yang berjasa bagi agama, bangsa dan Negara tercinta ini.

   Sebagai catatan nurani, orang akan lebih dihargai dengan menentukan pilihan ketimbang tidak menentukan pilihan sama sekali. Disadari, bahwa semua jenis pilihan mengandung resiko dan konsekuensi apa pun bentuk dan jenis pilihan itu. Mendapatkan gelar akademik dari lembaga asing juga lebih beresiko namun tetap harus dihormati, karena menyadari bahwa semua pihak harus selalu saling mengintrospeksi diri dan kinerjanya masing-masing, semoga permasalahan ini segera dapat diselesaikan tanpa harus saling menjatuhkan, mencerca, memaki dan menafikan sebuah usaha individual dalam memenuhi kebutuhan jiwanya. Pola penyelesaian seperti yang sudah kami utarakan secara pointers di atas, mudah-mudahan dengan hanya sedikit sumbang saran demi tegakkan keadilan bersama, rakyat kita yang selalu harus dibina, diarahkan dari setiap kekeliruannya, adapun lembaga asing yang beroperasi tidak sesuai dengan kaidah hukum kita maupun sistem pendidikan kita, agar dapat dperingatkan tidak hanya sekedar memeras para konsumennya namun harus bertanggungjawab secara elegan untuk memberikan legitimasi formal sekecil apapun bagi para "mahasiwa" yang merasa dirugikan atas sistem yang mereka tawarkan selama ini.

Pemikiran ini mungkin sekedar masukan kecil tak berarti, untuk menghantarkan bangsa kita yang arif, bijaksana penuh dengan al-hikmah dalam setiap penyelesaian, dan menghimbau secara tulus kepada siapapun yeng berwenang, supaya menghentikan iklan "pentahbisan" sekaligus "penafian" atas orang-orang yang dianggap "terjebak" dengan praktik-praktik akademik kurang terpuji itu, tidak lagi menampilkan mereka sebagai binatang-binatang menjijikkan, karena kita semua  juga sebenarnya tidak terlepas dari persoalan "musibah akademik" ini. Semoga lebih banyak "muhasabah" di saat ini, jangan sampai kita mencoreng muka sendiri dengan menayangkan hal-hal keburukan rakyat kita, sebab hal itu juga termasuk keburukan sistem pendidikan kita selama ini, yang pada akhirnya masyarakat tidak lagi percaya kepada pemerintah terutama kepada jajaran yang berwenang dalam dunia pendidikan.

Marilah kita selalu berfikir positif terhadap semua langkah dan upaya orang lain dalam memotivasi dirinya, salah atau tidak sebuah tindakan seseorang atau sebuah lembaga, tergantung pada cara pandang yang melihat keadaan tersebut.

 

Catatan Kecil

Pertama, kesalahan terbesar dari lembaga-lembaga asing itu adalah, tidak selektif memberikan gelar-gelar Honoris Causa, yang semestinya diberikan kepada orang-orang yang berkompetensi tinggi di tengah masyarakat dan memiliki karya nyata, baik di bidang kemasyarakatan/sosio-religius, seni-budaya, politik dan lain sebagainya.

Kedua, "Jika rakyat sudah digambarkan seperti, monyet, babi dan anjing. Maka pemerintah dalam hal ini Pendidikan Nasional adalah Bapak dari semua metafora binatang-binatang itu".

Ketiga, semua Orang boleh dan sah-sah saja berpegang kepada pendapatnya masing-masing, termasuk saya pribadi mempunyai pendapat sendiri, sebagai otokritik terhadap pelaku pendidikan kita secara Nasional. Kita tidak bisa saling menghukumi. Menyalahkan masyarakat, maupun lembaga Asing yang telah membuat "hatrick" dalam wilayah Pendidikan tingkat Perguruan Tinggi. Jadikanlah pergolakan zaman ini, sebagai citra perbaikan di masa yang akan datang!

Keempat, dalam konsep GATS (General Agreement Trade Serveces), ada yang di istilahkan dengan Commercial Presence yaitu bagaimana dalam dunia pasca globalisasi, lembaga-lembaga atau perguruan tinggi komersial asing "memasuki/menyerbu" dunia persaingan dagang negeri kita, seperti membuka cabang di setiap wilayah yang dipandang layak  oleh lembaga/PT asing tersebut, sehingga banyak yang menawarkan produk-produk system atau pola promosi mereka dalam meraih konsumennya, hal itu adalah suatu yang lumrah dalam dunia persaingan perdagangan umum pasca global (GATS) tadi. Sekarang tinggal bagaimana sikap pemerintah kita dalam hal ini departemen pendidikan nasional menyikapi dan mengevaluasi keberadaan lembaga-lembaga atau PT asing tersebut, dengan pola pandang kultur bangsa kita yang siap dengan perdagangan bebas sekarang ini.

Kelima, Bentuk kerjasama GATS lainnya adalah: Cross Border Supply (pengiriman dosen-dosen dari Luar Negeri ke Negara RI), Consumption Abroad (pengiriman Dosen-dosen kita mendapat beasiswa ke Luar Negeri),  Presence of Natural Persons (Mendatangkan Dosen-dosen Tamu dari Luar Negeri).

Ke semua ini adalah gambaran bagaimana dunia pasca global ini membuka seluas-luasnya kepada lembaga asing manapun untuk mengembangkan sayapnya (cabangnya) di luar negeri asal mereka, juga sebaliknya lembaga pendidikan di Negara RI pun kapan saja dan dimana  saja jika memadai dapat membuka cabang-cabang pendidikan secara internasional. Karena kita sudah terikat perjanjian Perdagangan Bebas Dunia dengan WTO (World Trade Organization), yang di dalamnya adalah dunia pendidikan, termasuk komoditas umum yang dapat menghasilkan daya guna produk pendidikan sebuah Negara maju. Karena Negara kita baru pada tarap Negara berkembang, jadi apabila ada hal-hal yang kurang sesuai dengan sistem pendidikan kita, terkadang biasa langsung mengklaim atau mencaci keberadaan upaya-upaya lembaga asing dalam merekrut masyarakat kita itu, dengan serta merta menyalahkan lembaga-lembaga asing tersebut,padahal mestinya kita harus bisa meng-evaluasi semua lembaga pendidikan yang dianggap ": tidak sesuai" tadi. Wallahu a'laam Bishshawaab…!

Jujur

  J u j u r   Wajib bagi kamu yang berlaku benar, karena sesungguhnya kebenaran itu membawa kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke ...