Baru-baru ini
sering kita saksikan iklan tentang adanya sebuah lembaga pendidikan asing
(baca:Internasional) yang menggambarkan ada beberapa orang yang sedang
diwisuda, yang mengandalkan finansial belaka. Lalu para wisudawan tiba-tiba
berubah mukanya menjadi muka binatang!
begitulah kira-kira gambaran dari iklan tersebut.
Ketika ada kejadian
-- yang sebenarnya sudah berjalan sekian lama ini -- maka pemerintah dalam hal
ini Departemen Pendidikan Nasional seperti "kebakaran jenggot"
mengapa baru sekarang ada aturan dan perundangan yang melarang dan
"mengharamkan" praktek lembaga-lembaga asing tersebut? Padahal dalam
hal ini masyarakat berkeyakinan bahwa persoalan adanya lembaga asing yang
membuka pendaftaran jenjang pendidikan simpel, yang hanya dengan 1 tahun atau
lebih sedikit tiba-tiba mahasiswanya bisa diwisuda dengan mudah! Hanya dengan membayar
uang administrasi sekian juta rupiah, jadilah sarjana, lengkap dengan
"ijazah" nya -- walaupun tidak diakui sama sekali di dalam dunia
pendidikan kita. Menurut pandangan orang-orang dalam dunia akademik formal hal
tersebut termasuk "penyelewengan dan pelecehan bahkan pengkhianatan
intelektual". Karena dianggap begitu mudahnya sebuah lembaga asing
mengeluarkan kewenangan mengeluarkan ijazah tanpa harus dengan susah payah
dalam meraihnya.
Kedua, ciri metafora
lainnya dalam kejadian seperti itu, menggambarkan kelemahan sistem pendidikan kita selama ini. Orientasi
futuristik (masa depan) dan orientasi sinkronik (sekarang) dan diakronik
(masa lalu) dunia pendidikan kita tidak pernah jelas dan selaras dengan
kebutuhan hakiki nilai tujuan pendidikan itu sendiri. Salah satunya adalah
bagaimana selama beberapa tahun kebelakang hingga sekarang, pendidikan kita tak
lebih hanya dipandang sebagai "pelengkap penderita" saja dari
pembangunan ekonomi, Dengan kata lain, meskipun pemerintah telah menetapkan
bidang pendidikan sebagai bagian dari pembangunan nasional, namun pembangunan
di bidang pendidikan hanya diarahkan untuk menunjang keberhasilan pembangunan
sektor ekonomi semata. Itulah sebabnya, pengembangan sumberdaya manusia (human
resource development) yang berkualitas juga sering diartikan sebagai sumber
daya manusia di bidang ekonomi an sich.
Ketiga, orientasi
pendidikan kita yang lebih cenderung mengandalkan dan menghargai siapa yang
berijazah (civil effect), tanpa menghargai orang-orang profesional
terlatih yang cukup dapat diandalkan dalam bidangnya,baik untuk diangkat
menjadi pegawai negeri sipil atau pegawai swasta atau hanya sekedar legitimasi
sosio-kultural di tengah-tengah masyarakat. Sehingga ketika ada sebuah lembaga
yang membuka peluang untuk mendapatkan ijazah tanpa harus berlama-lama kuliah,
maka terjadilah disonansi (hiruk pikuk) dan rush dalam memasuki lembaga tersebut, tanpa berfikir
panjang apakah ijazahnya diakui atau tidak oleh pihak pemerintah atau
bertentangan tidak dengan aturan perundang-undangan kependidikan di Indonesia,
karena mereka berfikiran dunia global yang terbuka terhadap sesuatu hal yang
baru itulah mereka enjoy dengan semua itu, yang penting mereka ada satisfaction
(kepuasan) tersendiri, daripada mengikuti sistem yang njlimet, yang
ujung-ujungnya harus pake dana yang cukup besar juga. Jadi kejadian bebasnya
lembaga-lembaga asing itu "beranak pianak" di negeri kita ini, bukan
tidak mustahil semua perbuatan mereka sebenarnya sudah lama diketahui oleh
pihak yang berwenang; baik Depdiknas, ataupun aparat pemerintah lainnya karena
tidak sedikit "orang-orang dalam" sendiri menjadi konsumen lembaga
asing tersebut, sehingga mengapa sudah sekian lama iklan-iklan atau promosi
mereka baik yang melalui media cetak maupun elektronik, tidak dapat dicegah
jauh-jauh hari sebelumnya. Semuanya juga ikut andil apakah media cetak, maupun
elektronik mensosialisasikan lembaga asing tersebut baik melalui agen-agen
ataupun cabang-cabangnya di seluruh nusantara ini.
Keempat, mengapa kejadian
ini -- jika memang sudah menyalahi aturan sistem pendidikan nasional kita --
yang tentu sudah dirancang jauh-jauh hari, membiarkan terlalu lama beroperasi
lembaga yang dianggap terlarang tersebut?, sehingga sampai sekarang telah
memiliki cabang di seluruh nusantara, yang disinyalir para konsumennya adalah
juga para tokoh, pejabat teras, perwira baik sipil maupun militer, bahkan
masyarakat umum juga, yang pada akhirnya akan merasa dirugikan baik secara
moral maupun material. Harga diri yang terhempas sebagai korban dari beralihnya
sistem lateral dunia pendidikan kita yang setiap waktu sedang mencari jati diri
ini. Semestinya disaat lembaga itu baru mempromosikan visi, misi kelembagaannya
sejak awal sudah dapat dideteksi secara cermat dan arif oleh pihak yang
berwenang, bukan setelah menjerat konsumen ribuan bahkan lebih dan membuka
cabang di setiap propinsi kita baru bertindak, hal ini seperti kebiasaan lama
dari sikap dan langkah pemerintah kita sejak dulu, jika belum terjadi sesuatu
yang parah tidak dicegah, tetapi setelah banyak orang menikmati sekaligus
dirugikan pemerintah baru bertindak, ibarat kalau sebuah "rumah"
kemalingan baru menyewa satpam, kenapa tidak jauh-jauh hari menyewa satpam
tersebut yang mungkin masih bisa meminimalisir kerugian yang lebih besar.
Sekarang ini, pemerintah (dalam hal ini Depdiknas) atau DPR membuat aturan
seakan-akan telah menjadi pahlawan, bahwa siapa yang menjual atau membeli
ijazah dari lembaga "illegal" tersebut, akan didenda 1 milyar dst.
Dari segi teknis perundang-undangan hal tersebut baik-baik saja untuk
diterapkan sejak sekarang, tetapi ingat! Hal itu sebenarnya telah membuat
carut-marutnya "wibawa" pemerintah itu sendiri, cq. Mendiknas yang
menjadi promotor dari iklan-iklan yang ditayangkan di media-media elektronik, yang
berjejer dengan wajah-wajah wisudawan yang divisualisasikan dengan animasi
Komputer berubah jadi "monyet, babi, anjing" sekarang kalau rakyatnya
sudah digambarkan seperti itu, apakah pihak berwenang, yang kebetulan menangani
wilayah pendidikan tadi tidak merasa malu? Karena secara moral dan teknis
kewenangan merekalah yang menjadi penanggung jawab rakyat diserupakan dengan
binatang tadi, bagi kami visualisasi tersebut telah menghina martabat Negara
kita sendiri, apa tidak ada cara lain untuk menggugah hati masyarakat atau
rakyat kita dengan cara-cara yang lebih arif, santun bijaksana. Karena mustahil
sebuah lembaga asing beroperasi di Negara orang lain tanpa sepengetahuan
pihak-pihak yang berwenang, minimal izin operasionalnya. Kalau tidak mengapa
mereka bisa benar-benar bebas seperti itu, terlepas dari sejak kapan mulainya,
yang penting semuanya harus introspeksi diri, bukan sekedar menghakimi semata.
Kalau mau benar-benar aturan ditegakkan, mari kita sama-sama berantas korupsi
terbesar di negara kita tercinta ini, mampukah kita menangkap, dan menghukum
para "Raja Maling" keturunan atau pribumi yang telah merugikan
negara ribuan trilyun (KLBI-BLBI), yang hingga sekarang malah masuk kotak atau
"dipeti es-kan". Yang ditangkapi hanya kelas terinya saja! Jadi hukum
dan keadilan ini jangan sekali-kali dipermainkan, kita bisanya hanya menangkapi
orang-orang kecil dan menengah saja, namun "masih takut" untuk
menangkap raja koruptor yang masih melenggang
di dalam ataupun di luar negeri. Mana keadilan yang sedang digembar-gemborkan
pemerintah sekarang? Kita tidak perlu terjebak oleh "trend pemberantasan
korupsi" semata, namun darimana kita mulai pemberantasan tersebut,
ternyata masih sering salah kaprah.
Adapun langkah
pemerintah menertibkan seluruh lembaga yang dianggap menyalahi
perundang-undangan pendidikan nasional kita, sangat setuju untuk diamati dan
diawasi bahkan kalau perlu dibina dan diarahkan agar mereka mematuhi sistem
peraturan Departemen Pendidikan Nasional yang menjadi "kiblat"nya
pendidikan kita. Ajak dialog "think tank" mereka lalu cari
solusi terbaiknya demi kemaslahatan cermin bangsa kita juga terutama dunia
pendidikan kita yang telah "berdosa" membiarkan berlarutnya hal-hal
pembangkangan akademik seperti ini.
Karena, bila dilihat kejadiannya tidak ada
kesalahan individual, akan tetapi pemerintah pun harus bersikap kesatria atas
kelengahannya selama ini, bahwa hal tersebut merupakan kesalahan paralel dan
kelengahan bersama. Salah satu penyelesaian terbaik dari yang ada, adalah; pertama,
buatkan klasifikasi customer yang pernah mendapat ijazah dari lembaga asing
tersebut, bila ia mendapatkannya setingkat S.1 berarti dia minimal harus sudah
memiliki ijazah SLTA atau yang sederajat, bila ada yang mendapatkan Ijazah S.2,
dia harus sudah memiliki ijazah S.1 sederajat, kemudian bagi yang mendapatkan
ijazah S.3, seperti Phd. (Phylosopy Doctor) tentu dia harus sudah
memiliki terlebih dahulu ijazah S.2. yang sudah terakreditasi oleh pemerintah
kita. (non-Honoris Causa). Dengan cara dianjurkan menulis desertasi
sesuai dengan kemampuan di bidangnya, kemudian syarat lainnya mampu dan
menguasai 2 bahasa asing dengan baik (Inggris, Perancis atau Jerman, dan Arab),
serta telah memiliki karya tulis atau kiprah ilmiah lainnya baik secara praksis
ataupun teoritis.
Kedua, bagi yang
mendapat gelar Doktor Honoris Causa (DR.HC), untuk kategori ini, tidak perlu
dilihat ijazahnya, akan tetapi karena ini adalah gelar kehormatan, yang tanpa
harus melalui jenjang pendidikan formal, tetapi penghargaan kepada siapa yang
telah meraih kualitas kiprahnya baik secara pendidikan non-formal (para Ulama,
Kyai yang sudah level Nasional), atau tokoh masyarakat yang sudah dianggap
memadai mendapat gelar DR.HC tersebut, atas dasar penelitian di tengah
masyarakat, serta masukan positif yang dapat dipertanggungjawabkan. Atau para
pejabat tinggi yang telah teruji keberhasilannya dalam pembangunan di segala
bidang, yang menjadi garapan tugasnya. Atau masyarakat akademik (dosen, pegawai
negeri lainnya yang bergelut dalam dunia pendidikan atau wilayah manajerial
kelembagaan secara professional). Juga kalangan seniman, budayawan, yang sudah
cukup banyak kiprahnya dalam memajukan khazanah keilmuan di bidangnya, atau
kreasi dan produk intelektualitasnya yang sudah dirasakan oleh semua kalangan.
Ketiga, bagi yang tidak
memenuhi persyaratan di atas, ada baiknya mereka di-Heregistrasi-kan kepada
lembaga pendidikan yang ditunjuk pemerintah untuk mengulangi secara arif bijaksana, elegan dan kesatria, tentu dengan
pembiayaan sepenuhnya diserahkan kepada para
"sarjana" tersebut. Maka dengan langkah dan solusi
tersebut, kearifan dan kesungguhan pemerintah dalam mengayomi
rakyatnya, terlihat tegas dan memiliki tingkat wisdom yang sangat tinggi,
walaupun pemerintah harus sedikit berkorban moriil juga dalam menghadapi rakyatnya
yang telah menyalahi aturan akademik tersebut. Dari pada harus berkonfrontasi
dengan ribuan
Keempat, dengan kenyataan
semacam ini, yang paling arif adalah kepada semua pihak bisa menyelesaikan
tatanan dan sistem pendidikan kita secara jelas, gerichtigkeit
(terarah), konstan, tidak hanya selalu mengubah-ubah keputusan dan kebijakan
yang tak kunjung menghasilkan sesuatu yang diharapkan oleh hati nurani rakyat,
dengan segala kewenangannya pemerintah kita agar "tidak mencoreng"
dan "membuka aib sendiri" dengan over atas semua arah fatalogisme
institusional. Karena kejadian ini, telah menelanjangi betapa buruknya sistem
pendidikan nasional kita sejak pasca-Kemerdekaan.
Kelima, Bangsa kita yang
sudah berusia 60 tahun ini, ternyata belumlah bisa dikatakan dewasa dalam
menyikapi setiap perkembangan dunia pendidikan, karena ada sesuatu yang
diabaikan oleh pemerintah kita, kurang adanya penghargaan kepada lembaga-lembaga
Indigenous bangsa kita sejak pra-kemerdekaan sampai orde reformasi ini. Lembaga
pendidikan indigenous (ciri khas ke-Indonesia-an), adalah Pondok Pesantren,
dimana lulusan atau para alumninya, tidak terlalu memfokuskan kepada apa arti dan fungsi ijazah yang didapat dari Pesantren
tersebut, namun yang ditonjolkan adalah output yang memadai ilmu dengan
amaliahnya atau amal dengan ilmunya.
Keenam, sebagai bangsa
yang menjunjung tinggi nilai religiusitas, tidak salah jika ada sebuah lembaga
baik asing ataupun milik pemerintah bangsa kita, dengan dasar penelitian yang
akurat dan penghargaan kepada insan-insan berjasa dalam dunia pendidikan
moralitas, yakni Pondok Pesantren, bagi pimpinan atau Kyai-nya yang telah cukup
banyak kiprahnya di dalam wilayah dakwah kemasyarakatan, sosio-keagamaan maupun
lembaga pendidikan, pemerintah memberikan "bintang jasa kehormatan"
dengan memberikan gelar penghargaan semacam Doctor Honoris Causa (DR.HC),
seperti di Negara-negara maju, bagi mereka yang dipandang layak untuk
mendapatkan gelar kehormatan tersebut, sebuah lembaga formal setingkat
Universitas berhak memberikan gelar kehormatan tersebut, tanpa memandang dia
pernah tamat sekolah atau kuliah, namun melihat terhadap kiprah dan
jasa-jasanya. Sebab pada dasarnya orang yang mendapatkan gelar DR.HC itu bukan
pihak penerima gelar tersebut yang mencari-cari gelar itu. Akan tetapi pihak
lembagalah yang pertama kali menawarkan kepada pihak kedua (yang akan diberi
gelar kehormatan) tersebut.
Ketujuh, banyak contoh
para tokoh, pemimpin kita yang tanpa melalui jenjang pendidikan formal, namun
juga ada yang memang melalui jenjang formalistik seperti kedua proklamator kita
Bung Karno sendiri mendapat tidak kurang sepuluh Doktor Honoris Causa, dari dari Negara-negara maju sebagai bentuk
penghormatan terhadap jasa-jasanya, lalu Bung Hatta juga sama mendapatkannya.
Dari kalangan ulama besar kita ada Prof .Dr. Buya Hamka (dari al-Azhar
University Cairo, Egypt), Presiden kita lainnya Gus Dur (Baghdad University,
Iraq) dan Bu Megawati pun mendapat gelar kehormatan tersebut dari salah satu
Universitas terbesar di Jepang. Adapun yang mendapat gelar kehormatan dari
lembaga-lembaga asing atau Lembaga Pendidikan yang berada di dalam negeri,
antara lain DR.H.Hamzah Haz (mantanWakil
Sebagai
catatan nurani, orang akan lebih dihargai dengan menentukan pilihan ketimbang
tidak menentukan pilihan sama sekali. Disadari, bahwa semua jenis pilihan
mengandung resiko dan konsekuensi apa pun bentuk dan jenis pilihan itu.
Mendapatkan gelar akademik dari lembaga asing juga lebih beresiko namun tetap
harus dihormati, karena menyadari bahwa semua pihak harus selalu saling
mengintrospeksi diri dan kinerjanya masing-masing, semoga permasalahan ini
segera dapat diselesaikan tanpa harus saling menjatuhkan, mencerca, memaki dan
menafikan sebuah usaha individual dalam memenuhi kebutuhan jiwanya. Pola
penyelesaian seperti yang sudah kami utarakan secara pointers di atas,
mudah-mudahan dengan hanya sedikit sumbang saran demi tegakkan keadilan
bersama, rakyat kita yang selalu harus dibina, diarahkan dari setiap
kekeliruannya, adapun lembaga asing yang beroperasi tidak sesuai dengan kaidah
hukum kita maupun sistem pendidikan kita, agar dapat dperingatkan tidak hanya
sekedar memeras para konsumennya namun harus bertanggungjawab secara elegan
untuk memberikan legitimasi formal sekecil apapun bagi para
"mahasiwa" yang merasa dirugikan atas sistem yang mereka tawarkan
selama ini.
Pemikiran ini
mungkin sekedar masukan kecil tak berarti, untuk menghantarkan bangsa kita yang
arif, bijaksana penuh dengan al-hikmah dalam setiap penyelesaian, dan
menghimbau secara tulus kepada siapapun yeng berwenang, supaya menghentikan
iklan "pentahbisan" sekaligus "penafian" atas
orang-orang yang dianggap "terjebak" dengan praktik-praktik
akademik kurang terpuji itu, tidak lagi menampilkan mereka sebagai
binatang-binatang menjijikkan, karena kita semua juga sebenarnya tidak terlepas dari persoalan
"musibah akademik" ini. Semoga lebih banyak "muhasabah"
di saat ini, jangan
sampai kita mencoreng muka sendiri dengan menayangkan hal-hal keburukan rakyat
kita, sebab hal itu juga termasuk keburukan sistem pendidikan kita selama ini,
yang pada akhirnya masyarakat tidak lagi percaya kepada pemerintah terutama
kepada jajaran yang berwenang dalam dunia pendidikan.
Marilah kita selalu
berfikir positif terhadap semua langkah dan upaya orang lain dalam memotivasi dirinya,
salah atau tidak sebuah tindakan seseorang atau sebuah lembaga, tergantung pada
cara pandang yang melihat keadaan tersebut.
Catatan Kecil
Pertama, kesalahan
terbesar dari lembaga-lembaga asing itu adalah, tidak selektif memberikan
gelar-gelar Honoris Causa, yang semestinya diberikan kepada orang-orang yang
berkompetensi tinggi di tengah masyarakat dan memiliki karya nyata, baik di
bidang kemasyarakatan/sosio-religius, seni-budaya, politik dan lain sebagainya.
Kedua, "Jika rakyat
sudah digambarkan seperti, monyet, babi dan anjing. Maka pemerintah dalam hal
ini Pendidikan Nasional adalah Bapak dari semua metafora binatang-binatang
itu".
Ketiga, semua
Orang boleh dan sah-sah saja berpegang kepada pendapatnya masing-masing,
termasuk saya pribadi mempunyai pendapat sendiri, sebagai otokritik terhadap
pelaku pendidikan kita secara Nasional. Kita tidak bisa saling menghukumi.
Menyalahkan masyarakat, maupun lembaga Asing yang telah membuat "hatrick"
dalam wilayah Pendidikan tingkat Perguruan Tinggi. Jadikanlah pergolakan zaman
ini, sebagai citra perbaikan di masa yang akan datang!
Keempat, dalam konsep GATS
(General Agreement Trade Serveces), ada yang di istilahkan dengan Commercial
Presence yaitu bagaimana dalam dunia pasca globalisasi, lembaga-lembaga atau
perguruan tinggi komersial asing "memasuki/menyerbu" dunia persaingan
dagang negeri kita, seperti membuka cabang di setiap wilayah yang dipandang
layak oleh lembaga/PT asing tersebut,
sehingga banyak yang menawarkan produk-produk system atau pola promosi mereka
dalam meraih konsumennya, hal itu adalah suatu yang lumrah dalam dunia
persaingan perdagangan umum pasca global (GATS) tadi. Sekarang tinggal
bagaimana sikap pemerintah kita dalam hal ini departemen pendidikan nasional
menyikapi dan mengevaluasi keberadaan lembaga-lembaga atau PT asing tersebut,
dengan pola pandang kultur bangsa kita yang siap dengan perdagangan bebas
sekarang ini.
Kelima, Bentuk kerjasama
GATS lainnya adalah: Cross Border Supply (pengiriman dosen-dosen dari
Luar Negeri ke
Ke semua ini adalah
gambaran bagaimana dunia pasca global ini membuka seluas-luasnya kepada lembaga
asing manapun untuk mengembangkan sayapnya (cabangnya) di luar negeri asal
mereka, juga sebaliknya lembaga pendidikan di
Tidak ada komentar:
Posting Komentar