Selasa, 06 Maret 2018

Disonansi Sistem Pendidikan Kita; Qua Vadis?

 


Baru-baru ini sering kita saksikan iklan tentang adanya sebuah lembaga pendidikan asing (baca:Internasional) yang menggambarkan ada beberapa orang yang sedang diwisuda, yang mengandalkan finansial belaka. Lalu para wisudawan tiba-tiba berubah mukanya menjadi muka  binatang! begitulah kira-kira gambaran dari iklan tersebut.

Ada sebuah metafora yang sangat menyakitkan bagi dunia pendidikan kita dari gambaran atau visualisasi tersebut: Pertama, kita adalah bangsa yang besar, yang selama ini ingin menempatkan diri sebagai negeri yang dihormati, baik oleh kawan maupun lawan. Akan tetapi pada kenyataannya selama ini kita selalu bertindak "pasif, menunggu waktu, stagnan" dalam menindaklanjuti segala yang dianggap penyelewengan, pembangkangan, maupun pelecehan dalam dunia pendidikan kita. Sistem pendidikan yang dari dulu sampai sekarang masih belum jelas kemana arah dan tujuan dunia pendidikan kita. Sebab di saat lembaga-lembaga asing membuka cabang atau agen sejenisnya di negara kita, (sesuai semangat AFTA, NAFTA atau WTO) maka sikap pemerintah kita menjadi a priori bahkan seakan menghambat laju kompetisi dalam dunia global sekarang ini, disebabkan belum siapnya sistem pendidikan kita dalam berkompetisi dengan lembaga-lembaga asing tersebut. Tanpa bagaimana sejujurnya kita melakukan perbaikan-perbaikan sistem atau pendayagunaan seluruh kekuatan untuk menciptakan dunia pendidikan yang terhormat, elegan, maju dan berkualitas, serta memiliki orientasi jelas ke depan baik secara moriil maupun materiil.

Ketika ada kejadian -- yang sebenarnya sudah berjalan sekian lama ini -- maka pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional seperti "kebakaran jenggot" mengapa baru sekarang ada aturan dan perundangan yang melarang dan "mengharamkan" praktek lembaga-lembaga asing tersebut? Padahal dalam hal ini masyarakat berkeyakinan bahwa persoalan adanya lembaga asing yang membuka pendaftaran jenjang pendidikan simpel, yang hanya dengan 1 tahun atau lebih sedikit tiba-tiba mahasiswanya bisa diwisuda dengan mudah! Hanya dengan membayar uang administrasi sekian juta rupiah, jadilah sarjana, lengkap dengan "ijazah" nya -- walaupun tidak diakui sama sekali di dalam dunia pendidikan kita. Menurut pandangan orang-orang dalam dunia akademik formal hal tersebut termasuk "penyelewengan dan pelecehan bahkan pengkhianatan intelektual". Karena dianggap begitu mudahnya sebuah lembaga asing mengeluarkan kewenangan mengeluarkan ijazah tanpa harus dengan susah payah dalam meraihnya.

Kedua, ciri metafora lainnya dalam kejadian seperti itu, menggambarkan kelemahan  sistem pendidikan kita selama ini. Orientasi futuristik (masa depan) dan orientasi sinkronik (sekarang) dan diakronik (masa lalu) dunia pendidikan kita tidak pernah jelas dan selaras dengan kebutuhan hakiki nilai tujuan pendidikan itu sendiri. Salah satunya adalah bagaimana selama beberapa tahun kebelakang hingga sekarang, pendidikan kita tak lebih hanya dipandang sebagai "pelengkap penderita" saja dari pembangunan ekonomi, Dengan kata lain, meskipun pemerintah telah menetapkan bidang pendidikan sebagai bagian dari pembangunan nasional, namun pembangunan di bidang pendidikan hanya diarahkan untuk menunjang keberhasilan pembangunan sektor ekonomi semata. Itulah sebabnya, pengembangan sumberdaya manusia (human resource development) yang berkualitas juga sering diartikan sebagai sumber daya manusia di bidang ekonomi an sich.

Ketiga, orientasi pendidikan kita yang lebih cenderung mengandalkan dan menghargai siapa yang berijazah (civil effect), tanpa menghargai orang-orang profesional terlatih yang cukup dapat diandalkan dalam bidangnya,baik untuk diangkat menjadi pegawai negeri sipil atau pegawai swasta atau hanya sekedar legitimasi sosio-kultural di tengah-tengah masyarakat. Sehingga ketika ada sebuah lembaga yang membuka peluang untuk mendapatkan ijazah tanpa harus berlama-lama kuliah, maka terjadilah disonansi (hiruk pikuk) dan rush dalam  memasuki lembaga tersebut, tanpa berfikir panjang apakah ijazahnya diakui atau tidak oleh pihak pemerintah atau bertentangan tidak dengan aturan perundang-undangan kependidikan di Indonesia, karena mereka berfikiran dunia global yang terbuka terhadap sesuatu hal yang baru itulah mereka enjoy dengan semua itu, yang penting mereka ada satisfaction (kepuasan) tersendiri, daripada mengikuti sistem yang njlimet, yang ujung-ujungnya harus pake dana yang cukup besar juga. Jadi kejadian bebasnya lembaga-lembaga asing itu "beranak pianak" di negeri kita ini, bukan tidak mustahil semua perbuatan mereka sebenarnya sudah lama diketahui oleh pihak yang berwenang; baik Depdiknas, ataupun aparat pemerintah lainnya karena tidak sedikit "orang-orang dalam" sendiri menjadi konsumen lembaga asing tersebut, sehingga mengapa sudah sekian lama iklan-iklan atau promosi mereka baik yang melalui media cetak maupun elektronik, tidak dapat dicegah jauh-jauh hari sebelumnya. Semuanya juga ikut andil apakah media cetak, maupun elektronik mensosialisasikan lembaga asing tersebut baik melalui agen-agen ataupun cabang-cabangnya di seluruh nusantara ini.

Keempat, mengapa kejadian ini -- jika memang sudah menyalahi aturan sistem pendidikan nasional kita -- yang tentu sudah dirancang jauh-jauh hari, membiarkan terlalu lama beroperasi lembaga yang dianggap terlarang tersebut?, sehingga sampai sekarang telah memiliki cabang di seluruh nusantara, yang disinyalir para konsumennya adalah juga para tokoh, pejabat teras, perwira baik sipil maupun militer, bahkan masyarakat umum juga, yang pada akhirnya akan merasa dirugikan baik secara moral maupun material. Harga diri yang terhempas sebagai korban dari beralihnya sistem lateral dunia pendidikan kita yang setiap waktu sedang mencari jati diri ini. Semestinya disaat lembaga itu baru mempromosikan visi, misi kelembagaannya sejak awal sudah dapat dideteksi secara cermat dan arif oleh pihak yang berwenang, bukan setelah menjerat konsumen ribuan bahkan lebih dan membuka cabang di setiap propinsi kita baru bertindak, hal ini seperti kebiasaan lama dari sikap dan langkah pemerintah kita sejak dulu, jika belum terjadi sesuatu yang parah tidak dicegah, tetapi setelah banyak orang menikmati sekaligus dirugikan pemerintah baru bertindak, ibarat kalau sebuah "rumah" kemalingan baru menyewa satpam, kenapa tidak jauh-jauh hari menyewa satpam tersebut yang mungkin masih bisa meminimalisir kerugian yang lebih besar. Sekarang ini, pemerintah (dalam hal ini Depdiknas) atau DPR membuat aturan seakan-akan telah menjadi pahlawan, bahwa siapa yang menjual atau membeli ijazah dari lembaga "illegal" tersebut, akan didenda 1 milyar dst. Dari segi teknis perundang-undangan hal tersebut baik-baik saja untuk diterapkan sejak sekarang, tetapi ingat! Hal itu sebenarnya telah membuat carut-marutnya "wibawa" pemerintah itu sendiri, cq. Mendiknas yang menjadi promotor dari iklan-iklan yang ditayangkan di media-media elektronik, yang berjejer dengan wajah-wajah wisudawan yang divisualisasikan dengan animasi Komputer berubah jadi "monyet, babi, anjing" sekarang kalau rakyatnya sudah digambarkan seperti itu, apakah pihak berwenang, yang kebetulan menangani wilayah pendidikan tadi tidak merasa malu? Karena secara moral dan teknis kewenangan merekalah yang menjadi penanggung jawab rakyat diserupakan dengan binatang tadi, bagi kami visualisasi tersebut telah menghina martabat Negara kita sendiri, apa tidak ada cara lain untuk menggugah hati masyarakat atau rakyat kita dengan cara-cara yang lebih arif, santun bijaksana. Karena mustahil sebuah lembaga asing beroperasi di Negara orang lain tanpa sepengetahuan pihak-pihak yang berwenang, minimal izin operasionalnya. Kalau tidak mengapa mereka bisa benar-benar bebas seperti itu, terlepas dari sejak kapan mulainya, yang penting semuanya harus introspeksi diri, bukan sekedar menghakimi semata. Kalau mau benar-benar aturan ditegakkan, mari kita sama-sama berantas korupsi terbesar di negara kita tercinta ini, mampukah kita menangkap, dan menghukum para "Raja Maling" keturunan atau pribumi yang telah merugikan negara ribuan trilyun (KLBI-BLBI), yang hingga sekarang malah masuk kotak atau "dipeti es-kan". Yang ditangkapi hanya kelas terinya saja! Jadi hukum dan keadilan ini jangan sekali-kali dipermainkan, kita bisanya hanya menangkapi orang-orang kecil dan menengah saja, namun "masih takut" untuk menangkap raja koruptor yang masih melenggang  di dalam ataupun di luar negeri. Mana keadilan yang sedang digembar-gemborkan pemerintah sekarang? Kita tidak perlu terjebak oleh "trend pemberantasan korupsi" semata, namun darimana kita mulai pemberantasan tersebut, ternyata masih sering salah kaprah.

Adapun langkah pemerintah menertibkan seluruh lembaga yang dianggap menyalahi perundang-undangan pendidikan nasional kita, sangat setuju untuk diamati dan diawasi bahkan kalau perlu dibina dan diarahkan agar mereka mematuhi sistem peraturan Departemen Pendidikan Nasional yang menjadi "kiblat"nya pendidikan kita. Ajak dialog "think tank" mereka lalu cari solusi terbaiknya demi kemaslahatan cermin bangsa kita juga terutama dunia pendidikan kita yang telah "berdosa" membiarkan berlarutnya hal-hal pembangkangan akademik seperti ini.

   Karena, bila dilihat kejadiannya tidak ada kesalahan individual, akan tetapi pemerintah pun harus bersikap kesatria atas kelengahannya selama ini, bahwa hal tersebut merupakan kesalahan paralel dan kelengahan bersama. Salah satu penyelesaian terbaik dari yang ada, adalah; pertama, buatkan klasifikasi customer yang pernah mendapat ijazah dari lembaga asing tersebut, bila ia mendapatkannya setingkat S.1 berarti dia minimal harus sudah memiliki ijazah SLTA atau yang sederajat, bila ada yang mendapatkan Ijazah S.2, dia harus sudah memiliki ijazah S.1 sederajat, kemudian bagi yang mendapatkan ijazah S.3, seperti Phd. (Phylosopy Doctor) tentu dia harus sudah memiliki terlebih dahulu ijazah S.2. yang sudah terakreditasi oleh pemerintah kita. (non-Honoris Causa). Dengan cara dianjurkan menulis desertasi sesuai dengan kemampuan di bidangnya, kemudian syarat lainnya mampu dan menguasai 2 bahasa asing dengan baik (Inggris, Perancis atau Jerman, dan Arab), serta telah memiliki karya tulis atau kiprah ilmiah lainnya baik secara praksis ataupun teoritis.

Kedua, bagi yang mendapat gelar Doktor Honoris Causa (DR.HC), untuk kategori ini, tidak perlu dilihat ijazahnya, akan tetapi karena ini adalah gelar kehormatan, yang tanpa harus melalui jenjang pendidikan formal, tetapi penghargaan kepada siapa yang telah meraih kualitas kiprahnya baik secara pendidikan non-formal (para Ulama, Kyai yang sudah level Nasional), atau tokoh masyarakat yang sudah dianggap memadai mendapat gelar DR.HC tersebut, atas dasar penelitian di tengah masyarakat, serta masukan positif yang dapat dipertanggungjawabkan. Atau para pejabat tinggi yang telah teruji keberhasilannya dalam pembangunan di segala bidang, yang menjadi garapan tugasnya. Atau masyarakat akademik (dosen, pegawai negeri lainnya yang bergelut dalam dunia pendidikan atau wilayah manajerial kelembagaan secara professional). Juga kalangan seniman, budayawan, yang sudah cukup banyak kiprahnya dalam memajukan khazanah keilmuan di bidangnya, atau kreasi dan produk intelektualitasnya yang sudah dirasakan oleh semua kalangan.

Ketiga, bagi yang tidak memenuhi persyaratan di atas, ada baiknya mereka di-Heregistrasi-kan kepada lembaga pendidikan yang ditunjuk pemerintah untuk mengulangi secara arif  bijaksana, elegan dan kesatria, tentu dengan pembiayaan sepenuhnya diserahkan kepada para  "sarjana" tersebut. Maka dengan langkah dan solusi tersebut,  kearifan  dan kesungguhan pemerintah dalam mengayomi rakyatnya, terlihat tegas dan memiliki tingkat wisdom yang sangat tinggi, walaupun pemerintah harus sedikit berkorban moriil juga dalam menghadapi rakyatnya yang telah menyalahi aturan akademik tersebut. Dari pada harus berkonfrontasi dengan ribuan massa yang merasa hak-haknya digadaikan. Pemerintah sebagai "Bapak" yang arif adalah yang mampu mengarahkan dan mencarikan jalan keluar atau solusi terbaik bagi "anak-anaknya" yang nakal tersebut. Senakal-nakalnya juga adalah anaknya sendiri. Jadi bukan hanya dengan memenjarakan dan menghukum dengan "denda material" seberapa pun besarnya, hal itu tidak mustahil malah akan mencoreng moreng langkah pemerintah dalam menegakkan keadilan. Karena sekali lagi kami ingin menegaskan saja, bahwa kejadian atau "musibah akademik" ini adalah termasuk andil dan kiprah semua pihak baik secara langsung ataupun tidak langsung.

Keempat, dengan kenyataan semacam ini, yang paling arif adalah kepada semua pihak bisa menyelesaikan tatanan dan sistem pendidikan kita secara jelas, gerichtigkeit (terarah), konstan, tidak hanya selalu mengubah-ubah keputusan dan kebijakan yang tak kunjung menghasilkan sesuatu yang diharapkan oleh hati nurani rakyat, dengan segala kewenangannya pemerintah kita agar "tidak mencoreng" dan "membuka aib sendiri" dengan over atas semua arah fatalogisme institusional. Karena kejadian ini, telah menelanjangi betapa buruknya sistem pendidikan nasional kita sejak pasca-Kemerdekaan.

Kelima, Bangsa kita yang sudah berusia 60 tahun ini, ternyata belumlah bisa dikatakan dewasa dalam menyikapi setiap perkembangan dunia pendidikan, karena ada sesuatu yang diabaikan oleh pemerintah kita, kurang adanya penghargaan kepada lembaga-lembaga Indigenous bangsa kita sejak pra-kemerdekaan sampai orde reformasi ini. Lembaga pendidikan indigenous (ciri khas ke-Indonesia-an), adalah Pondok Pesantren, dimana lulusan atau para alumninya, tidak terlalu memfokuskan kepada apa arti  dan fungsi ijazah yang didapat dari Pesantren tersebut, namun yang ditonjolkan adalah output yang memadai ilmu dengan amaliahnya atau amal dengan ilmunya.

Keenam, sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai religiusitas, tidak salah jika ada sebuah lembaga baik asing ataupun milik pemerintah bangsa kita, dengan dasar penelitian yang akurat dan penghargaan kepada insan-insan berjasa dalam dunia pendidikan moralitas, yakni Pondok Pesantren, bagi pimpinan atau Kyai-nya yang telah cukup banyak kiprahnya di dalam wilayah dakwah kemasyarakatan, sosio-keagamaan maupun lembaga pendidikan, pemerintah memberikan "bintang jasa kehormatan" dengan memberikan gelar penghargaan semacam Doctor Honoris Causa (DR.HC), seperti di Negara-negara maju, bagi mereka yang dipandang layak untuk mendapatkan gelar kehormatan tersebut, sebuah lembaga formal setingkat Universitas berhak memberikan gelar kehormatan tersebut, tanpa memandang dia pernah tamat sekolah atau kuliah, namun melihat terhadap kiprah dan jasa-jasanya. Sebab pada dasarnya orang yang mendapatkan gelar DR.HC itu bukan pihak penerima gelar tersebut yang mencari-cari gelar itu. Akan tetapi pihak lembagalah yang pertama kali menawarkan kepada pihak kedua (yang akan diberi gelar kehormatan) tersebut.

Ketujuh, banyak contoh para tokoh, pemimpin kita yang tanpa melalui jenjang pendidikan formal, namun juga ada yang memang melalui jenjang formalistik seperti kedua proklamator kita Bung Karno sendiri mendapat tidak kurang sepuluh Doktor Honoris Causa, dari  dari Negara-negara maju sebagai bentuk penghormatan terhadap jasa-jasanya, lalu Bung Hatta juga sama mendapatkannya. Dari kalangan ulama besar kita ada Prof .Dr. Buya Hamka (dari al-Azhar University Cairo, Egypt), Presiden kita lainnya Gus Dur (Baghdad University, Iraq) dan Bu Megawati pun mendapat gelar kehormatan tersebut dari salah satu Universitas terbesar di Jepang. Adapun yang mendapat gelar kehormatan dari lembaga-lembaga asing atau Lembaga Pendidikan yang berada di dalam negeri, antara lain DR.H.Hamzah Haz (mantanWakil Presiden RI), DR. H. Agung Laksono (Ketua DPR RI sekarang), DR.KH. M. Sahal Mahfuzh (Ketua Umum MUI Pusat DR.KH. Miftah Farid (Ketua MUI Jabar), DR .KH. Zainuddin Mz, (Dai Sejuta Ummat), DR. H. Amri Yahya (alm. Seniman, Budayawan). DR. KH. Mursalin Dahlan (Persis Jabar, Ulama), "Prof. DR." Rhoma Irama (mendapatkan gelar Profesor dan Honoris Causa, dari kiprahnya di bidang musik), DR. Bambang FX, MBA, MSc (Perwira Tinggi POLRI, mantan Kapolwiltabes Bandung) dan banyak lagi tokoh formal maupun informal lainnya yang tidak bisa disebut satu persatu di sini. Semua itu adalah berupa penghargaan yang tak terhingga bagi para penyandangnya, dan kami yakin beliau-beliau semua tidak menduga semula akan mendapatkan penghargaan DR. HC tersebut. Sebab tidak  menutup kemungkinan, semua itu berdasarkan data-data akurat sekecil apapun sebagai dasar penilaiannya. Karena beliau semua memang pantas untuk mendapatkannya. Bahkan semestinya pemerintahlah yang pertama kali mempunyai ide pemberian gelar-gelar kehormatan tersebut, sama halnya dengan memberikan bintang jasa kehormatan kepada para pahlawan atau orang-orang yang berjasa bagi agama, bangsa dan Negara tercinta ini.

   Sebagai catatan nurani, orang akan lebih dihargai dengan menentukan pilihan ketimbang tidak menentukan pilihan sama sekali. Disadari, bahwa semua jenis pilihan mengandung resiko dan konsekuensi apa pun bentuk dan jenis pilihan itu. Mendapatkan gelar akademik dari lembaga asing juga lebih beresiko namun tetap harus dihormati, karena menyadari bahwa semua pihak harus selalu saling mengintrospeksi diri dan kinerjanya masing-masing, semoga permasalahan ini segera dapat diselesaikan tanpa harus saling menjatuhkan, mencerca, memaki dan menafikan sebuah usaha individual dalam memenuhi kebutuhan jiwanya. Pola penyelesaian seperti yang sudah kami utarakan secara pointers di atas, mudah-mudahan dengan hanya sedikit sumbang saran demi tegakkan keadilan bersama, rakyat kita yang selalu harus dibina, diarahkan dari setiap kekeliruannya, adapun lembaga asing yang beroperasi tidak sesuai dengan kaidah hukum kita maupun sistem pendidikan kita, agar dapat dperingatkan tidak hanya sekedar memeras para konsumennya namun harus bertanggungjawab secara elegan untuk memberikan legitimasi formal sekecil apapun bagi para "mahasiwa" yang merasa dirugikan atas sistem yang mereka tawarkan selama ini.

Pemikiran ini mungkin sekedar masukan kecil tak berarti, untuk menghantarkan bangsa kita yang arif, bijaksana penuh dengan al-hikmah dalam setiap penyelesaian, dan menghimbau secara tulus kepada siapapun yeng berwenang, supaya menghentikan iklan "pentahbisan" sekaligus "penafian" atas orang-orang yang dianggap "terjebak" dengan praktik-praktik akademik kurang terpuji itu, tidak lagi menampilkan mereka sebagai binatang-binatang menjijikkan, karena kita semua  juga sebenarnya tidak terlepas dari persoalan "musibah akademik" ini. Semoga lebih banyak "muhasabah" di saat ini, jangan sampai kita mencoreng muka sendiri dengan menayangkan hal-hal keburukan rakyat kita, sebab hal itu juga termasuk keburukan sistem pendidikan kita selama ini, yang pada akhirnya masyarakat tidak lagi percaya kepada pemerintah terutama kepada jajaran yang berwenang dalam dunia pendidikan.

Marilah kita selalu berfikir positif terhadap semua langkah dan upaya orang lain dalam memotivasi dirinya, salah atau tidak sebuah tindakan seseorang atau sebuah lembaga, tergantung pada cara pandang yang melihat keadaan tersebut.

 

Catatan Kecil

Pertama, kesalahan terbesar dari lembaga-lembaga asing itu adalah, tidak selektif memberikan gelar-gelar Honoris Causa, yang semestinya diberikan kepada orang-orang yang berkompetensi tinggi di tengah masyarakat dan memiliki karya nyata, baik di bidang kemasyarakatan/sosio-religius, seni-budaya, politik dan lain sebagainya.

Kedua, "Jika rakyat sudah digambarkan seperti, monyet, babi dan anjing. Maka pemerintah dalam hal ini Pendidikan Nasional adalah Bapak dari semua metafora binatang-binatang itu".

Ketiga, semua Orang boleh dan sah-sah saja berpegang kepada pendapatnya masing-masing, termasuk saya pribadi mempunyai pendapat sendiri, sebagai otokritik terhadap pelaku pendidikan kita secara Nasional. Kita tidak bisa saling menghukumi. Menyalahkan masyarakat, maupun lembaga Asing yang telah membuat "hatrick" dalam wilayah Pendidikan tingkat Perguruan Tinggi. Jadikanlah pergolakan zaman ini, sebagai citra perbaikan di masa yang akan datang!

Keempat, dalam konsep GATS (General Agreement Trade Serveces), ada yang di istilahkan dengan Commercial Presence yaitu bagaimana dalam dunia pasca globalisasi, lembaga-lembaga atau perguruan tinggi komersial asing "memasuki/menyerbu" dunia persaingan dagang negeri kita, seperti membuka cabang di setiap wilayah yang dipandang layak  oleh lembaga/PT asing tersebut, sehingga banyak yang menawarkan produk-produk system atau pola promosi mereka dalam meraih konsumennya, hal itu adalah suatu yang lumrah dalam dunia persaingan perdagangan umum pasca global (GATS) tadi. Sekarang tinggal bagaimana sikap pemerintah kita dalam hal ini departemen pendidikan nasional menyikapi dan mengevaluasi keberadaan lembaga-lembaga atau PT asing tersebut, dengan pola pandang kultur bangsa kita yang siap dengan perdagangan bebas sekarang ini.

Kelima, Bentuk kerjasama GATS lainnya adalah: Cross Border Supply (pengiriman dosen-dosen dari Luar Negeri ke Negara RI), Consumption Abroad (pengiriman Dosen-dosen kita mendapat beasiswa ke Luar Negeri),  Presence of Natural Persons (Mendatangkan Dosen-dosen Tamu dari Luar Negeri).

Ke semua ini adalah gambaran bagaimana dunia pasca global ini membuka seluas-luasnya kepada lembaga asing manapun untuk mengembangkan sayapnya (cabangnya) di luar negeri asal mereka, juga sebaliknya lembaga pendidikan di Negara RI pun kapan saja dan dimana  saja jika memadai dapat membuka cabang-cabang pendidikan secara internasional. Karena kita sudah terikat perjanjian Perdagangan Bebas Dunia dengan WTO (World Trade Organization), yang di dalamnya adalah dunia pendidikan, termasuk komoditas umum yang dapat menghasilkan daya guna produk pendidikan sebuah Negara maju. Karena Negara kita baru pada tarap Negara berkembang, jadi apabila ada hal-hal yang kurang sesuai dengan sistem pendidikan kita, terkadang biasa langsung mengklaim atau mencaci keberadaan upaya-upaya lembaga asing dalam merekrut masyarakat kita itu, dengan serta merta menyalahkan lembaga-lembaga asing tersebut,padahal mestinya kita harus bisa meng-evaluasi semua lembaga pendidikan yang dianggap ": tidak sesuai" tadi. Wallahu a'laam Bishshawaab…!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jujur

  J u j u r   Wajib bagi kamu yang berlaku benar, karena sesungguhnya kebenaran itu membawa kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke ...