Jumat, 23 Maret 2018

Pendidikan Islam dan Eksistensi Pesantren Dalam Pemberdayaan Umat


Pendidikan Islam di Indonesia merupakan warisan peradaban Islam dan sekaligus aset bagi pembangunan pandidikan nasional. Sebagai warisan, ia merupakan amanat sejarah untuk dipelihara dan dikembangkan oleh semua umat Islam dari masa ke masa. Sedangkan sebagai aset, pendidikan Islam yang tersebar di berbagai wilayah ini membuka kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk manata dan mengelolanya sesuai dengan sistem pendidikan nasional. Dalam kedua perspektif di atas, pendidikan Islam di Indonesia selalu menjadi lahan pengabdian kaum muslimin dan sekaligus menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional.

Mendiskusikan sistem pendidikan di Indonesia khususnya pendidikan Islam, secara garis besarnya terbagi ke dalam dua tingkatan; makro dan mikro. Pada level yang pertama (makro), pendidikan Islam bersentuhan dengan sistem pendidikan nasional dan faktor-faktor eksternal lain. Sedangkan pada level yang kedua (mikro), pendidikan Islam dihadapkan pada tuntutan akan proses pendidikan yang efektif sehingga menghasilkan lulusan yang berkualitas dan berbudaya tinggi.

Berbagai persoalan dari kedua level tersebut di atas pada prinsipnya mendorong adanya perubahan arah pendidikan Islam, mengingat tantangan kontemporer dan tantanan masa depan yang berbeda dengan tantangan masa lalu. Sehingga berbagai persoalan yang muncul, pendidikan Islam diharapkan mampu berperan sebagai penyambung antara tujuan kehidupan berbangsa, bernegara dan beragama. Ketersambungan tersebut, penyelenggaraan pendidikan Islam harus menjadi alat (tool) untuk menghilangkan dikotomi antara kehidupan bernegara dan beragama, terutama dalam penyelenggaraan pendidikan.

 

Perbincangan Pendidikan Islam

Islam adalah agama yang menempatkan pendidikan dalam posisi yang sangat vital. Bukanlah sesuatu yang kebetulan jika lima ayat pertama yang diwahyukan Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw., dalam surat al-'Alaq, dimulai dengan membaca iqra'. Di samping itu pula pesan-pesan al-Qur'an dalam hubungannya dengan pendidikan pun dapat dijumpai dalam pelbagai ayat dan surat dengan aneka ungkapan pernyataan-pertanyaan dan kisah. Lebih khusus lagi, kata 'ilm, dan deviriasinya digunakan paling dominan dalam al-Qur'an untuk menunjukkan perhatian Islam yang luar biasa terhadap pendidikan.

Menegaskan kenyataan di atas, pasangan sarjana muslim kontemporer, Ismail Raji al-Faryqi dan Lois Lamnya' al-Faruq, membuat pernyataan bahwa, Islam mengidentifikasi dirinya sendiri dengan ilmu. Bagi Islam, ilmu adalah syarat dan sekaligus tujuan dari agama ini.

Peradaban Islam sejak awal juga menunjukkan prestasi yang sangat berarti dalam bidang keilmuan dan pendidikan. Pada masa permulaan penyiaran Islam, Nabi Muhammad Saw. sendiri menggunakan pendekatan pendidikan, bukan pemaksaan, untuk mengajarkan agama Islam pada lingkaran khusus di rumahnya Arqam. Besarnya perhatian Muhammad Saw. terhadap pendidikan juga terlihat ketika ia memutuskan pembebasan bagi tahanan perang non-muslim dengan syarat yang bersangkutan terlebih dahulu mengajarkan tulis baca kepada orang-orang muslim yang masih buta huruf.

Dalam perkembangan berikutnya masjid yang pada dasarnya sebagai tempat beribadah, justeru menjadi tempat pendidikan yang menonjol pada dua abad pertama sejarah peradaban Islam. Tradisi ini terus menerus berlanjut dan berkembang khususnya pada masa keemasan peradaban Islam dengan pendirian lembaga-lembaga pendidikan yang bervariasi mulai dari masjid-khan, dar al-hikmah, dar al-hadits, sampai dengan madrasah. Lembaga yang terakhir ini kemudian diakui oleh banyak sarjana sebagai lembaga pendidikan tinggi dalam Islam, yang memberikan sumbangan penting bagi perkembangan tradisi (lokal) dan pendirikan modern di Barat.

Perhatian terhadap sejarah peradaban Islam memang sejauh ini masih terpusat pada aspek politik yang menggambarkan pasang surut kekuasaan Islam. Dinamika dan pergumulan Islam dalam bidang pendidikan dan intelektual tergolong wilayah kajiannya yang masih terlantar. Sekalipun demikian, beberapa sarjana telah berhasil mengungkapkan dimensi intelektual dan sejarah peradaban Islam itu dengan beberapa tesisnya yang menarik. Mereka mengakui bahwa pemikiran-pemikiran intelektual muslim pada masa pertengahan telah menjangkau wilayah kajian yang kompleks, mulai dari filsafat, keagamaan, humaniora, sampai dengan ilmu-ilmu kealaman (natural science). Sementara itu, keseriusan para pemikir muslim dalam mensintetiskan pemikiran Yunani Kuno setidak-tidaknya telah berhasil menjembatani munculnya masa pencerahan (renaisance) peradaban Barat yang berlanjut hingga masa modern. Tanpa Islam bisa dikatakan tidak akan pernah muncul peradaban Barat Modern seperti yang kita saksikan sekarang ini.

Di Indonesia, sejalan dengan proses penyebaran dan pendidikan Islam sudah mulai tumbuh meskipun masih bersifat individual. Para penganjur agama ini mendekati masyarakat dengan cara yang persuasif dan memberikan pengertian tentang dasar-dasar agama Islam. Kemudian, dengan memanfaatkan lembaga-lembaga masjid, surau dan langgar mulailah secara bertahap berlangsung pengajian umum untuk menangani tulis baca Al-Qur'an dan wawasan keagamaan. Namun demikian, pelembagaan khusus untuk pelaksanaan pendidikan bagi umat Islam di Indonesia baru terjadi dengan pendirian pesantren. Lembaga ini diperkirakan muncul pada abad ke-13 M dan mencapai perkembangannya yang optimal pada abad ke-18 M. Para ahli agaknya sepakat bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia.

Gairah umat Islam untuk terus mendalami ajaran Islam secara menyeluruh meningkat. Untuk tujuan ini, sebagian lulusan pesantren melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi ke beberapa pusat kajian Islam di Timur Tengah. Fenomena pelancongan (rihlah ilmiyah) yang secara intensif muncul pada akhir abad ke-18 M. ini, pada akhirnya tidak saja menambah wawasan keilmuan mereka, tetapi juga menambah pengalaman dan inspirasi mereka dari gerakan-gerakan modernisasi pendidika di Timur Tengah. Lulusan pendidikan Timur Tengah pada masa itu kemudian menjadi pemrakarsa pendirian madrasah di Indonesia. Berbeda dengan lembaga pendidikan pesantren, madrasah yang di contoh dari Timur Tengah itu merupakan lembaga pendidikan yang lebih modern dari sudut metodologi dan kurikulum pengajarannya.

Bersamaan dengan fenomena di atas, sebagian kalangan Islam di Indonesia juga berinteraksi dengan sistem pendidikan sekolah yang diperkenalkan oleh pendidikan Hindia Belanda (pendidikan sekuler). Ciri lembaga pendidikan sekolah ini terletak pada orientasinya yang lebih menekankan pada peningkatan kecerdasan dan keterampilan kerja. Beberapa tokoh dan organisasi kemasyarakatan Islam, memprakarsai pendirian sekolah-sekolah ala Belanda itu dengan menambahkan muatan agama. Di satu sisi, mereka berani mengadopsi sistem pendidikan sekolah yang dikenal sekuler, di samping itu, pengajaran ilmu-ilmu umum sebagaimana layaknya sekolah Belanda. Corak pendidikan seperti ini merupakan cikal bakal dari perkembangan sekolah-sekolah Islam yang marak berkembang di Indonesia hingga sekarang.

Pendirian lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia dalam berbagai bentuk dan coraknya, merupakan upaya pendidikan untuk masyarakat secara terbuka. Sampai munculnya pesantren, lembaga pendidikan di Indonesia sebelumnya cenderung bersifat sangat eksklusif. Pada masa pra-Islam, selain para rohaniawan Hindu, tidak semua orang dapat mengikuti pendidikan yang terlembagakan. Sedangkan pada masa penjajahan, sekolah-sekolah pada mulanya didirikan untuk kalangan bangsawan dan kaum penjajah. Kebijakan politik etis atas prakarsa Van Deventer, belum sepenuhnya menyentuh masyarakt bawah. Baru setelah adanya desakan gerakan pencerahan dan perjuangan kalangan terdidik Indonesia, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan pendirian sekolah-sekolah rakyat yang lebih terbuka. Hal ini berbeda dengan pendirian madrasah dan sekolah Islam yang sejak semula besifat terbuka bagi masyarakat luas.

Uraian singkat di atas tadi, Husni Rahim (2001) menjelaskan bahwa eksistensi dan perkembangan pendidikan Islam di Indonesia barasal dari proses interaksi misi Islam dengan tiga kondisi. Pertama, interaksi Islam dengan budaya lokal (pra Islam) telah melahirkan pesantren. Meskipun pandangan ini masih kontroversial, tetapi pelembagaan pesantren bagaimanapun tidak bisa lepas dari proses akulturasi Islam dalam kontaks budaya asli (indigenous). Kedua, interaksi misi pendidikan Islam dengan tradisi Timur Tengah modern telah menghasilkan lembaga pendidikan madrasah. Ketiga, interaksi Islam dengan politik pendidikan Hindia Belanda telah membuahkan hasil lembaga pendidikan Islam. Tetapi dalam sejarah pendidikan di Indonesia kedua lembaga itu lahir dari inspirator yang berbeda; satu dari lulusan timur tengah modern, dengan melahirkan pendidikan Islam melalui lembaga pendidikan madrasah. Sedangkan yang lain dari gerakan yang kooperatif dengan pendidikan ala Belanda, dengan memasukan pelajaran agama Islam sebagai pelajaran tambahan.

 

Pesantren dan Pertumbuhannya

Awal mula perkembangan pendidikan Islam di Indonesia tidak terlepaskan dari peran pesantren itu sendiri. Kelahiran pondok pesantren di tanah air, tidak dapat dipisahkan dari sejarah masuknya Islam ke Indonesia.  Dari segi historis, pesantren tidak hanya hanya mengandung nilai (value) keislaman, tetapi juga nilai (value) keaslian (indigenous) Indonesia. Sebab, lembaga yang serupa telah terdapat pada masa kekuasaan Hindu-Budha, sedangkan Islam hanya meneruskan dan atau mengislamkannya. Pendidikan pesantren ditinjau dari segi bentuk dan sistemnya memang berasal dari India, sebelum proses secara umum untuk pendidikan dan pengajaran agama Hindu di Jawa. Bahkan istilah pesantren sendiri, seperti halnya ngaji, bukan dari bahasa Arab, tetapi diadopsi dari bahasa India.

Kehadiran pondok pesantren sampai saat ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi umat Islam. Pada awal berdirinya, pondok pesantren umunya sangat sederhana. Sistem yang lazim digunakan dalam proses pembelajaran adalah wetonan, sorogan dan bandongan. Akan tetapi sejak 1970-an bersamaan dengan program modernisasi pondok pesantren, mulai membuka diri untuk mempelajari pelajaran umum. Pada mulanya, tujuan utama pondok pesantren adalah menyiapkan santri untuk mendalami ilmu pengetahuan agama (tafaqqul fi al-din).

Dewasa ini, pertumbuhan dan penyebaran pesantren sangat pesat. Dengan menjamurnya pondok pesantren dengan menyuguhkan spesialisasi kajian baik tradisional ataupun modern, membawa dampak positif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di negeri ini. Kehadiran pondok pesantren telah nyata membantu pemerintah dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Di samping itu, pesantren telah menawarkan jenis pendidikan alternatif bagi pengembangan pendidikan nasional. Sejak awal berdirnya, pondok pesantren dikenal sebagai lembaga pengakaderan ulama (reproduction of ulama), tempat pengajaran ilmu agama (transfer of Islamic knowledge) dan memelihara tradisi Islam (maintenance of Islamic tradition). Fungsi ini semakin berkembang dan melebar akibat tuntutan pembangunan nasional yang mengharuskan pesantren terlibat di dalamnya.

Kini, di abad ke-21, sebagaimana disebut orang abad milenium, peran pesantren bukan saja sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai lembaga keagamaan dan lembaga sosial. Peran pesantrenpun melebar menjadi agen perubahan masyarakat (agent of social change).

Mencermati karateristik umat Islam serta kecenderungan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada masa yang akan datang, disertai dengan perkembangan kebudayaan, maka pilihan format pondok pesantren lebih menekankan kepada ilmu pengetahuan alam (natural science). Maka keberadaan pondok pesantren sangat optimis sebagai lembaga alternatif pendidikan. Sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh Chistoper J. Lucas; "Pesantren menyimpan kekuatan yang sangat luar biasa untuk menciptakan keseluruhan aspek lingkungan hidup dan dapat memberi informasi yang berharga dalam mempersiapkan kebutuhan yang inti untuk menghadapi masa depan".

Di sinilah peran pesantren perlu ditingkatkan. Tuntutan globalisasi tidak mungkin dihindari. Salah satu langkah yang bijak adalah mempersiapkan pesantren tidak "ketinggalan kereta" agar tidak kalah dalam persaingan. Pada tataran ini, masih banyak pembenahan dan perbaikan yang harus dilakukan oleh pondok pesantren.

Ada tiga hal (paling tidak) yang mesti di garap oleh pondok pesantren yang sesuai dengan jati dirinya. Pertama, pesantren sebagai lembaga pendidikan pengkaderan ulama. Fungsi ini tetap harus melekat pada pesantren, karena pesantren adalah satu-satunya lembaga pendidikan yang melahirkan ulama. Namun demikian, tuntutan modernisasi dan globalisasi mengharuskan ulama memiliki kemampuan lebih, kafasitas intelektual yang memadai, wawasan, akses pengetahuan dan informasi yang cukup serta responsif terhadap perkembangan dan perubahan.

Kedua, pesantren sebagai lembaga pengembangan ilmu pengetahuan khusus agama Islam. Pada tataran ini, pesantren masih dianggap lemah dalam penguasaan ilmu dan metodologi. Pesantren hanya mengajarkan ilmu agama dalam arti tranfer of knowledge. Karenanya pesantren harus jelas memiliki potensi sebagai "lahan" pengembangan ilmu agama.

Ketiga, dunia pesantren harus mampu menempatkan dirinya sebagai transformator, motivator dan inovator. Kehadiran pesantren dewasa ini telah memainkan perannya sebagai fungsi itu meskipun boleh dikata dalam taraf yang perlu dikembangkan lebih lanjut. Sebagai salah satu komponen masyarakat, pesantren memiliki kekuatan dan "daya tawar" untuk melakukan perubahan-perubahan yang berarti.

Berdasarkan pendekatan sistemik dan religi di atas, tentunya diakui bahwa peranan pondok pesantren harus sanggup membangun individu santri untuk membangun kelompok (sosial) yang memiliki potensi kuat dalam mengisi pembangunan negeri ini. Dengan konsepsi yang demikian itu, pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang ideal, terutama, karena di dalamnya memuat konsep pendidikan yang integralistik, humanistik, pragmatik, dan mempunyai akar budaya yang sangat kental di lingkungan masyarakat.

Dengan fenomena yang seperti itu, tidak heran bila sekarang, pemerintah atau lembaga sosial kemasyarakatan menginginkan pondok pesantren menjadi pusat pemberdayaan masyarakat, melalui berbagai kegiatan yang sangat menunjang untuk menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang memiliki kompetensi jelas. Dan di sinilah perlunya mendiskusikan kembali peran pesantren yang tidak hanya sebagai sarana olah santri dalam kajian ilmu-ilmu keislaman. Tetapi yang lebih jauh lagi adalah memformat bahwa pesantren harus menjadi wadah pembinaan skill dan kreatifitas santri. Sehingga lulusan pesantren mampu membangun personal yang memiliki sumber daya yang kuat, handal dan mampu menembus tantangan zaman dan sekaligus merubahnya menjadi sebuah peluang.

 

Penutup

Uraian di atas menggaris bawahi, bahwa perkembangan pendidikan Islam yang diawali sejak masuknya Islam ke Indonesia sampai sekarang, telah memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap kemajuan masyarakat Indonesia. Besarnya pengaruh tersebut karena pendidikan Islam telah ikut berperan dalam rumusan cita-cita dan tujuan pendidikan nasional. Mencerdaskan kehidupan bangsa yang beriman, bertaqwa dan berakhak mulia adalah gagasan yang sangat subtantif untuk melahirkan generasi yang handal, sehat dalam berfikir, bertindak dan mampu menempatkan nilai-nilai idealitas normatif dalam kehidupan.

Untuk itu, pendidikan Islam yang dikelola oleh lembaga keagamaan dalam hal ini Departemen Agama, diharapkan tidak; (1) menumbuhkan semangat fanatisme buta; (2) menumbuhkan sikap intoleransi di kalangan masyarakat; (3) memperlemah kerukunan hidup berbangsa dan beragama.  Sebaliknya, pengembangan pendidikan agama harus mampu menciptakan ukhuwah Islamiyah, serta mampu membentuk kesalihan pribadi dan sekaligus membangun kesalehan sosial. Insya Allah! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jujur

  J u j u r   Wajib bagi kamu yang berlaku benar, karena sesungguhnya kebenaran itu membawa kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke ...