Kamis, 15 Oktober 2020

Membentuk Masyarakat Madani yang Berkeadilan Sosial


Umat Islam, sepanjang sejarah ajaran agamanya, tidaklah menghendaki sesuatu melainkan kebaikan bersama, sebagaimana dicontohkan Rasulullah Saw. dan sahabat beliau. Ukuran kebaikan itu tidak harus disesuaikan dengan kepentingan golongan sendiri saja, sebab akhirnya agama Islam disebut sebagai rahmat bagi seluruh alam, umat manusia. Ukuran kebaikan itu ialah kemanusiaan umum sejagat, dan meliputi pula sesama makhluk hidup lain dalam lingkungan yang lebih luas. Ajaran-ajaran Islam universal menyediakan bagi kaum Muslimin pandangan etika asasi untuk melandasi pilihan dan keputusan dalam tindakan hidup, termasuk dalam bidang sosial politik. Atas dasar etika asasi itu seorang Muslim memilih suatu pandangan sosial politik tertentu yang dianggapnya paling menopang usaha mewujudkan cita-citanya, yaitu kebaikan bagi semua.

Sebagaimana pandangan-pandangan al-Quran, di tingkat individual, al-Quran berupaya untuk menanamkan kesalihan yang baik atau takwa. Di tingkat sosial al-Quran bertujuan menciptakan tatanan sosial politik berbasis etika. Namun hal ini mesti ada jalinan hubungan yang erat antara keduanya. Sebab ajaran sosial-politik al-Quran menyerukan untuk “mengadakan perbaikan dan menyingkirkan kezaliman di muka bumi” sehingga prinsip reformasi pertama adalah egalitarianisme kemanusiaan.

“Adil” menurut Harun Nasution “keadaan yang terdapat dalam jiwa seseorang yang membuatnya menjadi lurus” orang yang adil ialah “orang yang tidak terpengaruh oleh hawa nafsunya, sehingga ia tidak menyimpang dari jalan lurus dan dengan demikian bersikap adil juga berarti menentukan hukum dengan benar atau mempertahankan hak yang benar. Sehingga berlaku adil artinya tidak menggunakan standar ganda (munafiq) dalam kehidupannya. Katakanlah yang jahat itu jahat, walaupun dilakukan oleh kawan-kawan kita. Juga sebutlah yang baik itu baik, sekalipun dilakukan oleh musuh-musuh kita.

Maka adil dalam pandangan Islam ialah setiap orang yang memperoleh apa yang menjadi haknya. Bukan setiap orang memperoleh bagian yang sama besarnya. Ini menunjukkan  Islam menghargai ikhtiar. Setiap orang berhak beroleh kontrak-prestasi sebanding dengan prestasi yang diberikannya. Adapun prestasi adalah upaya-upaya yang wajar dalam sebuah kompetisi yang jujur. Bukan hasil prestasi namanya  jika orang beroleh sesuatu karena fasilitas.

Murthadla Muthahari mengklasifikasikan keadilan dalam beberapa bagian. Pertama, keadilan mengandung pengertian perimbangan atau keadaan seimbang (mauzun, balanced), tidak pincang. Jika misalnya suatu masyarakat ingin mampu bertahan dan mantap, maka ia harus berada dalam keseimbangan (muta’adil), dalam arti bahwa bagian-bagiannya harus berada dalam ukuran hubungan satu dengan yang lain secara tepat. Kedua, keadilan mengandung makna persamaan (musawah, egalite) dan tiadanya diskriminasi dalam bentuk apapun.

Misi suci cita-cita terbentuknya masyarakat madani di Indonesia yaitu dengan menegakkan misi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Misi sucinya “Tidak boleh ada penindasan oleh manusia atas menusia lain (there should be no exploitation of man by man)” sebab begitulah seharusnya tujuan sistem sosial ekonomi yang adil, yang bebas dari riba, risywah (suap) dan yang lainnya.

Kegagalan, kecerobohan dan kehancuran seorang pemimpin dalam kepemimpinannya, diakibatkan koridor pemerintahannya kurang memperhatikan nilai-nilai sikap keagamaan; haiah diniyah, (religious attitude) serta pelaksanaan sikap budaya Islam yang tidak serius (khusyu’).

Selayaknyalah seorang pemimpin setidaknya memperhatikan enam tujuan-tujuan dari syari’at: Pertama, Hifdzu al-Dien, memelihara agama; dapat difahami dengan tiga makna yaitu; Islam, Iman dan Ihsan. Menjunjung tinggi nilai-nilai sensitif keagamaan; hindari perbuatan syirik, khurafat, takhayyul, berani melawan musuh yang menyerang citra agama Islam. Kedua, Hifdzu al-Nafsi, memelihara jiwa; tidak menyiksa, menyakiti dan membunuh. Ketiga, Hifdzu al-Nasal, memelihara keturunan; tidak melakukan perzinaan/prostitusi serta melegalkannya.

Keempat, Hifdzu al-Mal, memelihara harta benda; tidak melakukan perbuatan korupsi, manipulasi yang jelas merugikan umat, (termasuk risywah/suap) harus dihindari. Kelima, Hifdzu al’Aqli, memelihara akal; hindari mabuk-mabukan,dan yang sejenisnya. Keeman,  Hifdzu al-‘Aradl, memelihara kehormatan; tidak menuduh orang berzina, tidak menyeleweng, memfitnah, dan saling menjatuhkan wibawa seseorang.

Keenam dari tujuan sya'riat di atas adalah suatu kesepakatan bahwa pemerintahan yang adil adalah yang memperhatikan amanat Allah. Setinggi apapun idealisme jika tanpa ada pelaksanaan (at-Tathbiq) dari masing-masing individu, serta kurangnya penghargaan kaum intelektual muda terhadap para ulama sebagai the founding father kita, maka kegiatan semacam ini bagaikan “debu dihembus angin”. Kerja keras para ulama baik dalam skala nasional, regional maupun lokal, hal itu tidak bisa dipandang remeh oleh kalangan “intelektual muda”, jika apa yang dilakukan oleh ulama belum optimal dan memang tidak seharusnya semua urusan “dikuasai” oleh ulama, itulah sebuah perjuangan yang tidak dapat dicapai dalam hitungan hari apalagi perdetik.

Jujur

  J u j u r   Wajib bagi kamu yang berlaku benar, karena sesungguhnya kebenaran itu membawa kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke ...