Umat Islam, sepanjang sejarah ajaran agamanya, tidaklah
menghendaki sesuatu melainkan kebaikan bersama, sebagaimana dicontohkan Rasulullah
Saw. dan sahabat beliau. Ukuran kebaikan itu tidak harus disesuaikan dengan
kepentingan golongan sendiri saja, sebab akhirnya agama Islam disebut sebagai
rahmat bagi seluruh alam, umat manusia. Ukuran kebaikan itu ialah kemanusiaan
umum sejagat, dan meliputi pula sesama makhluk hidup lain dalam lingkungan yang
lebih luas. Ajaran-ajaran Islam universal menyediakan bagi kaum Muslimin
pandangan etika asasi untuk melandasi pilihan dan keputusan dalam tindakan
hidup, termasuk dalam bidang sosial politik. Atas dasar etika asasi itu seorang
Muslim memilih suatu pandangan sosial politik tertentu yang dianggapnya paling
menopang usaha mewujudkan cita-citanya, yaitu kebaikan bagi semua.
Sebagaimana pandangan-pandangan al-Quran, di tingkat
individual, al-Quran berupaya untuk menanamkan kesalihan yang baik atau takwa.
Di tingkat sosial al-Quran bertujuan menciptakan tatanan sosial politik
berbasis etika. Namun hal ini mesti ada jalinan hubungan yang erat antara
keduanya. Sebab ajaran sosial-politik al-Quran menyerukan untuk “mengadakan
perbaikan dan menyingkirkan kezaliman di muka bumi” sehingga prinsip reformasi
pertama adalah egalitarianisme kemanusiaan.
“Adil” menurut Harun Nasution “keadaan
yang terdapat dalam jiwa seseorang yang membuatnya menjadi lurus” orang yang
adil ialah “orang yang tidak terpengaruh oleh hawa nafsunya, sehingga ia tidak
menyimpang dari jalan lurus dan dengan demikian bersikap adil juga berarti
menentukan hukum dengan benar atau mempertahankan hak yang benar. Sehingga
berlaku adil artinya tidak menggunakan standar ganda (munafiq) dalam
kehidupannya. Katakanlah yang jahat itu jahat, walaupun dilakukan oleh
kawan-kawan kita. Juga sebutlah yang baik itu baik, sekalipun dilakukan oleh
musuh-musuh kita.
Maka adil dalam pandangan Islam ialah setiap orang yang
memperoleh apa yang menjadi haknya. Bukan setiap orang memperoleh bagian yang
sama besarnya. Ini menunjukkan Islam
menghargai ikhtiar. Setiap orang berhak beroleh kontrak-prestasi sebanding
dengan prestasi yang diberikannya. Adapun prestasi adalah upaya-upaya yang
wajar dalam sebuah kompetisi yang jujur. Bukan hasil prestasi namanya jika orang beroleh sesuatu karena fasilitas.
Murthadla Muthahari mengklasifikasikan keadilan dalam
beberapa bagian. Pertama, keadilan mengandung pengertian perimbangan
atau keadaan seimbang (mauzun, balanced), tidak pincang. Jika misalnya
suatu masyarakat ingin mampu bertahan dan mantap, maka ia harus berada dalam
keseimbangan (muta’adil), dalam arti bahwa bagian-bagiannya harus berada
dalam ukuran hubungan satu dengan yang lain secara tepat. Kedua,
keadilan mengandung makna persamaan (musawah, egalite) dan tiadanya
diskriminasi dalam bentuk apapun.
Misi suci cita-cita terbentuknya masyarakat madani di
Kegagalan, kecerobohan dan kehancuran seorang pemimpin
dalam kepemimpinannya, diakibatkan koridor pemerintahannya kurang memperhatikan
nilai-nilai sikap keagamaan; haiah diniyah, (religious attitude) serta
pelaksanaan sikap budaya Islam yang tidak serius (khusyu’).
Selayaknyalah seorang pemimpin setidaknya memperhatikan
enam tujuan-tujuan dari syari’at: Pertama, Hifdzu al-Dien,
memelihara agama; dapat difahami dengan tiga makna yaitu; Islam, Iman dan
Ihsan. Menjunjung tinggi nilai-nilai sensitif keagamaan; hindari perbuatan
syirik, khurafat, takhayyul, berani melawan musuh yang menyerang citra agama
Islam. Kedua, Hifdzu al-Nafsi, memelihara jiwa; tidak menyiksa,
menyakiti dan membunuh. Ketiga, Hifdzu al-Nasal, memelihara keturunan;
tidak melakukan perzinaan/prostitusi serta melegalkannya.
Keempat, Hifdzu al-Mal, memelihara
harta benda; tidak melakukan perbuatan korupsi, manipulasi yang jelas merugikan
umat, (termasuk risywah/suap) harus dihindari. Kelima, Hifdzu al’Aqli,
memelihara akal; hindari mabuk-mabukan,dan yang sejenisnya. Keeman, Hifdzu al-‘Aradl, memelihara
kehormatan; tidak menuduh orang berzina, tidak menyeleweng, memfitnah, dan
saling menjatuhkan wibawa seseorang.
Keenam dari tujuan sya'riat di atas adalah
suatu kesepakatan bahwa pemerintahan yang adil adalah yang memperhatikan amanat
Allah. Setinggi apapun idealisme jika tanpa ada pelaksanaan (at-Tathbiq)
dari masing-masing individu, serta kurangnya penghargaan kaum intelektual muda
terhadap para ulama sebagai the founding father kita, maka kegiatan
semacam ini bagaikan “debu dihembus angin”. Kerja keras para ulama baik
dalam skala nasional, regional maupun lokal, hal itu tidak bisa dipandang remeh
oleh kalangan “intelektual muda”, jika apa yang dilakukan oleh ulama
belum optimal dan memang tidak seharusnya semua urusan “dikuasai” oleh
ulama, itulah sebuah perjuangan yang tidak dapat dicapai dalam hitungan hari
apalagi perdetik.