Terapi Musik Sufi;
Media Pembinaan Spiritualisme
Pendukung utama bagi tercapainya sasaran pembangunan manusia seutuhnya
Indonesia yang berkualitas adalah pendidikan bermutu. Pendidikan yang bermutu
dalam penyelenggaraanya tidak cukup hanya dilakukan melalui transformasi ilmu
pengetahuan dan teknologi, tetapi harus didukung oleh peningkatan
profesionalisme dan sistem manajemen tenaga kependidikan serta pengembangan
kemampuan peserta didik agar mampu menolong diri sendiri dalam memilih dan
mengambil keputusan demi pencapaian cita-citanya.
Kemampuan seperti itu tidak hanya menyangkut aspek akademis, tetapi juga
menyangkut perkembangan keagamaan pribadi, sosial, kematangan intelektual dan
sistem nilai peserta didik. Berkenaan dengan pemikiran tersebut, tampak bahwa
pendidikan yang bermutu di sebuah lembaga pendidikan adalah pendidikan yang
menghantarkan peserta didik pada pencapaian standar akademis yang diharapkan
dalam kondisi perkembangan diri yang sehat optimal. (Nurihsan, 2005: 1)
Selain dari tujuan untuk menghantarkan peserta didik memahami nilai dan
sikap intelektual-akademis, ada hal yang sangat penting lagi yaitu pemahaman
dan kesadaran (awareness) peserta didik terhadap penjiwaan keagamaan
sehari-harinya. Akan tetapi karena sebagian besar peserta didik adalah remaja
yang memiliki karakteristik, kebutuhan jiwanya yang masih dalam tahap
pencarian, serta tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhinya. Maka untuk
memberikan dorongan dan pemahaman sikap keberagamaannya penulis ingin
menawarkan suatu pendekatan-praksis dalam memotivasi perubahan sikap melalui
penanaman jiwa keagamaan, salah satunya adalah dengan pola pendekatan terapi
musik sufi. Hal ini sesuai dengan amanat dan tugas-tugas perkembangan remaja,
di antaranya adalah:
a.
Mencapai perkembangan diri sebagai remaja yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
b.
Memantapkan nilai dan cara bertingkah laku yang dapat
diterima dalam kehidupan sosial yang lebih luas.
c.
Mengenal kemampuan, bakat. minat serta arah kecenderungan
karier dan apresiasi seni.
d.
Mengenal gambaran dan mengembangakan sikap tentang
kehidupan mandiri secara emosional, dan sosial keagamaan.
e.
Mengenal sistem etika dan nilai-nilai bagi pedoman hidup
sebagai pribadi, anggota masyarakat dan minat manusia. (Nurihsan, 2005).
Terapi musik sufi, adalah sebuah pendekatan pembelajaran nilai-nilai
keagamaan yang terangkum dalam bentuk syair (puisi Arab) dan dilagukan dengan
irama musikalitas melankolik-sikronik. Pendekatan ini adalah salah satu dari
model pendidikan keagamaan terhadap peserta didik, agar lebih cepat memahami
serta mempraktekkan apa yang terkandung dari muatan pesan-pesan keagamaan di
dalamnya, sehingga peserta didik merasa tersalurkan dan terarah (gerechtigkeit)
dalam hal minat dan bakat, terlebih dalam mengapresiasi jiwa seninya.
Strategi berikutnya dalam melaksanakan program bimbingan dan pembinaan
keagamaan. Pendidikan keagamaan merupakan upaya bantuan penanaman mentalitas
kepada peserta didik dalam rangka memberikan pemahaman sikap keberagamaan dan
perkembangan serta pertumbuhannya. Selain bersifat pencegahan dari sifat-sifat
buruk peserta didik. Pendidikan keagamaan dapat pula bersifat penyembuhan.
Teknik penyembuhan jiwa yang sedang galau, resah dan depresi, penulis mencoba
mempraktekkan musikalitas syair-syair keagamaan dari kitab Islam klasik bernama
"Qashidah al-Burdah" karya Imam al-Busyiri, Diwan (kumpulan
syair-syair) Imam as-Syafii, dan para Penyair Mesir lainnya, yang digunakan secara sederhana menggunakan
alat petik gitar akustik dan harmonika serta diiringi oleh alat musik modern
lainnya keyboard. Arransemens musiknya adalah perpaduan musikalitas arudly
dengan musik slow country-syncronic, yaitu harmonisasi antara suara accordion
yang bercirikan masa lalu dengan suara sayup harmonika blues-country yang
menyentuh.
Pendekatan pendidikan keagamaan dengan pendekatan musikalitas-syair yang berisi
pesan-pesan suri-tauladan keagamaan ini, diharapkan menjadi "supplement"
kejiwaan bagi peserta didik dalam memahami dan mempraktekkan nilai-nilai
religiusitas dan spiritualitas sehari-harinya. Pendekatan pendidikan keagamaan
ini akan diselaraskan dengan dimensi spiritual manusia, dimana prosedurnya
manusia selalu berusaha melakukan penyelarasan dengan alam semesta dan menjawab
pertanyaan tentang keberadaan dirinya untuk berekspresi, serta
mengembangkan kemampuan musikalitas
dirinya. Musik sebagai bagian hidup manusia yang mampu memberikan pengaruh baik
dan buruk, meningkatkan kehormatan dan kemuliaan manusia dan disisi lain juga
menurunkan harkat manusia. Setelah Plato, banyak pemikir yang menempatkan musik
sebagai hal penting bagi manusia. Di abad ke-6 M, Boethius dalam karyanya De
Institutione Musica, menuliskan, "Music is a part of us, and either
ennobles or degrades our behaviour.".
Pengaruh musik ini bergantung dari jenis musik dan konteks yang ada saat
orang mendengarkan musik. Lepas dari baik dan buruk pengaruhnya. Boethius jelas
memandang musik sebagai hal yang mempengaruhi hidup manusia.
Berdasarkan beberapa penelitian tentang pengaruh musik terhadap para
pendengar musik bertolak dari pertanyaan umum, misalnya emosi seperti apa yang
dapat timbul saat seseorang mendengarkan musik? Teori kognitif menunjukkan
bagaimana musik bisa dirasakan, bagaimana skema kognitif dapat aktif saat
mendengar musik dan bagaimana reaksi otak terhadap musik. Adapun musik yang
sengaja kami ketengahkan adalah musik sufi; dengan pendekatan terapi yang mampu
membangkitkan nurani sebab musik sufi adalah laksana jemari halus yang mengetuk
pintu kalbu membangunkan kehangatan dari tidurnya yang lelap. Ciri-ciri dari
terapi musik sufi antara lain adalah alunan nada-nada musiknya yang melantunkan
senandung lembut yang kerap hadir di lembaran-lembaran imajinasi pemusik maupun
pecinta musik. Maka jika nada-nada itu dilantunkan dalam melodi melankoli, maka
ia menghadirkan kenangan silam di saat gundah dan putus asa. Namun jika dilantunkan
pada saat hati senang, maka musik menghadirkan kenangan silam disaat damai dan
bahagia. Kahlil Gibran menggambarkan tentang musik, "adalah alunan
nada-nada musik kumpulan suara kesedihan yang membuat segala kesedihan memenuhi
tulang rusuk, lalu menghadirkan seribu duka. Tapi ia juga bisa berupa susunan
kata-kata ceria yang segera menguasai kalbu kita, lalu menari riang di sela
tulang rusuk, menghadirkan seribu bahagia." Lalu Kahlil juga memperkuat
pernyataan sebelumnya, "alunan nada musik adalah nafas terakhir akalnya
hati dan nafasnya jiwa". (Gibran, 2002: 73).
Kekuatan lain dari ciri musikalitas sufistik ini adalah, dalam setiap satu
tarikan nafas khususnya, harus mampu untuk menyanyikan (tarannum) per
tiga bait, kemudian di saat lantunan lagu dinyanyikan nafas masih ditahan di
bawah pusar (nafas perut), pola nafasnya menarik dari hidung keluar (membuang
nafas) juga dari hidung, maka bila sang
penyanyi mampu merefleksikan lagu seperti itu akan melahirkan daya kekuatan
spiritual yang tinggi dan efek positif
bagi ketenangan dan kedamaian jiwa seseorang. Carlyle menempatkan musik sebagai
medium yang membangkitkan perasaan religius yang menghubungkan manusia dengan
Ilahy. Burton memandang musik memiliki daya penyembuh bagi gangguan emosional.
(Rachmawati, 2005: xxxii).
Dalam prakteknya terapi musik ini akan dapat dirasakan pengaruhnya,
manakala musiknya dapat dimainkan dan didengarkan dengan sepenuh jiwa,
dengan seluruh kekuatan batin. Karena
pada hakikatnya musik akan hadir saat dimainkan, tidak hanya terampil dengan
membaca nada, not atau imajinasi yang baik sakalipun, musik benar-benar hadir
bila ia dimainkan dan dirasakan. Musik terapis jauh lebih efektif daripada
musik relaksasi standar, dalam praktiknya musik terapi sufi adalah salah satu
musik alternatif keagamaan dalam membina dan mendidik seseorang ke arah jalan
yang lebih terarah; berjiwa benar (sidiq) cerdas SQ (fathanah),
berani tampil dalam menyampaikan kebenaran (tabligh) dan dapat dipercaya
(amanah).
Bunt (1995) seorang psikolog musik mengatakan bahwa dasar umum
persinggungan antara psikologi musik dan terapi musik adalah pemahaman atas
perkembangan musik. Untuk mengembangkan tujuan-tujuan terapi dan menemukan
pelbagai cara penyesuaian diri pada anak misalnya, juga penting untuk
mengetahui secara pasti kapasitas anak dalam mengerti dan merasakan musik.
Salah satu metode berdasarkan penemuan dan yang banyak digunakan dalam
psikologi musik adalah GIM (Guided Imagery and Music) dari Bonny (1996).
Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa musik yang paling tepat dapat dipilih
untuk tujuan penyembuhan. Sambil mendengarkan musik dalam kondisi rileks
seorang klien bisa bercerita membagikan pengalamannya dengan terapis.
Musik-musik yang digunakan, dipilih dengan tema khusus yang dikategorikan dapat
memberikan "pengaruh positif". Maka terapi musik sufi adalah suatu
upaya untuk mencari warna tersendiri dalam pendekatan religi bagi jiwa-jiwa
para peserta didik.
Seorang terapis dapat menilai intensitas emosi seperti kegembiraan,
kesedihan, kelembutan, marah dan rasa takut pada klien melalui aktivitas
berimprovisasi musik sederhana dan pendek. Terapis yang ikut mendengarkan musik
juga dapat menerangkan kurang lebih secara tepat emosi yang akan terjadi.
Sebagaimana Confucius berkata:
"Musik seseorang yang berfikiran luhur bersifat lembut dan halus,
menjaga keseimbangan perasaan,
membangkitkan semangat dan menggerakkan. Orang semacam itu tidak
menyimpan rasa sakit atau sedih hatinya; kebrutalan dan tindakan yang gegabah
tidak dikenalinya". Ungkapan Confucius di atas menggambarkan betapa
musik dapat meluluhkan jiwa yang kasar dan brutal, menghilangkan rasa sakit.
Musik akan mempengaruhi jiwa seseorang yang berfikiran luhur, bersifat
lembut dan halus, menjaga keseimbangan perasaan ('athifah), membangkitkan
semangat (tasyji') dan menggerakkan (harakah). Orang yang telah
merasakan indahnya musikalitas alam semesta ini tidak lagi menyimpan rasa sakit
atau kesedihan di hatinya, kebrutalan dan tindakan yang gegabah tidak
dikenalinya.
Seorang ahli psikoanalisa terkenal Carl Jung, mengakui kekuatan musik
adalah sangat luar biasa atas jiwa manusia. Menurutnya musik haruslah menjadi
bagian dari setiap kegiatan analisis, karena musik mampu menjangkau jauh ke
dalam dan menyentuh inti setiap pribadi. Akar permasalahan manusia bisa
dijangkau oleh musik, sementara metode-metode lain gagal melakukannya. (Kate
& Mucci, 2002: 61)
Jika musik merupakan pembangkit emosi yang hebat bagi masing-masing
pribadi, itu berarti bahwa emosi yang dibangkitkan oleh musik tersebut tidak
hanya bisa mempengaruhi masing-masing pribadi dan masyarakat, melainkan juga
jalannya sejarah. Perasaan yang dibangkitkan oleh musik berkelana ke seluruh bumi
dan alam semesta.
Musik menenangkan kita,
membangkitkan hidup kita, memberikan perasaan yang baik di dalam diri
kita, meluluhkan kita dalam air mata, tanpa kita tahu sebabnya, itulah rahasia
gelora musik yang mampu menembus kerasnya dinding kehidupan.