Senin, 02 April 2018

Peran dan Fungsi Guru dalam Kehidupan Sosial Politik



Sejak lahirnya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) pada tanggal, 25 November 1945 di Surakarta, PGRI menjadi organisasi  guru pejuang '45 yang bersatu untuk merebut, menegakan dan menyelamatkan kemerdekan. Dengan lahirnya Keppres Nomor 78 tahun 1994, hari lahir PGRI ditetapkan sebagai hari Guru Nasional. Penghargaan tersebut ditujukan untuk para guru sebagai pejuang pendidik dan pendidik pejuang. Dengan berdirinya PGRI sebagai organisasi profesi guru dengan dasar persatuan dan kesatuan, tanpa memandang perbedaan jenis kelamin, ras, agama, asal usul, tempat berkerja dan sebagainya. Semuanya mengacu pada integritas mereka sebagai pengajar (pendidik).

Guru dalam proses belajar mengajar mempunyai fungsi ganda, ia sebagai pengajar dan juga sebagai pendidik, maka guru secara otomatis mempunyai tanggungjawab yang besar dalam mencapai kemajuan pendidikan. Begitu besarnya peranan guru sebagai pengajar dan pendidik, harus diakui bahwa kemajuan di bidang pendidikan sebagian besar tergantung kewenangan dan kemampuan staf pengajar (guru). Fungsi guru dihadapan anak didik sebagai pengajar adalah membantu dalam peningkatan kecerdasan (intelegensi) anak didik. Sedangkan guru sebagai fungsi pendidik adalah kemampuan guru untuk mengarahkan anak didik agar memiliki nilai-nilai idealitas personal; memiliki keimanan, taqwa, istiqomah, tawadu, moderat, dan berwawasan ke depan.

 

Pendidikan di Abad ke-21

Di abad ke-21 yang dikenal dengan abad pengetahuan, peran guru memiliki tugas yang amat berat. Selain bertugas sebagai pendidik, tetapi juga mesti jadi peramal masa depan (futurist) dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Peran guru dalam menghadapi tantangn zaman yang lebih rumit, menantang, spesifik, sangat besar pengaruhnya terhadap dunia pendidikan dan lapangan kerja. Perubahan-perubahan yang terjadi selain karena perkembangan teknologi yang sangat pesat, juga diakibatkan oleh perkembangan yang luar biasa dalam ilmu pengetahuan, psikologi, dan transformasi nilai-nilai budaya. Dampaknya adalah perubahan cara pandang manusia terhadap manusia, cara pandang terhadap pendidikan, perubahan peran orang tua/guru/dosen, serta perubahan pola hubungan antar mereka.

Trilling dan Hood (1999) mengemukakan bahwa perhatian utama pendidikan di abad ke-21 adalah untuk mempersiapkan hidup dan kerja bagi masyarakat. Tibalah saatnya menoleh sejenak ke arah pandangan dengan sudut yang luas mengenai peran-peran utama yang akan semakin dimainkan oleh pembelajaran dan pendidikan dalam masyarakat yang berbasis pengetahuan.

Namun demikian, problematika yang dirasakan dalam dunia pendidikan di negeri ini kian terasa. Kemerosotan pendidikan kita sudah terasakan selama bertahun-tahun. Merebaknya tindak korupsi, penyalahgunaan narkotika, free sex, tontonan yang kurang memperhatikan nilai-nilai moralitas dianggap sebagai merosotnya ruh pendidikan (esoteris pendidikan) di negeri ini. Dengan merosotnya ruh pendidikan, untuk kesekian kalinya kurikulum dituding sebagai penyebabnya. Hal ini tercermin dengan adanya upaya mengubah kurikulum mulai kurikulum 1975 diganti dengan kurikulum 1984, kemudian diganti lagi dengan kurikulum 1994, dan sekarang Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) tahun 2004, yang diarahkan untuk menciptakan anak didik yang lebih berorientasi pada kompetensi dasar.

Dalam hal profesionalisme guru dan tenaga kependidikan, saat ini masih belum memadai utamanya dalam hal bidang keilmuannya. Misalnya guru Biologi dapat mengajar Kimia atau Fisika. Ataupun guru IPS dapat mengajar Bahasa Indonesia. Memang jumlah tenaga pendidik secara kuantitatif sudah cukup banyak, tetapi mutu dan profesionalisme belum sesuai dengan harapan. Banyak diantaranya yang tidak berkualitas dan menyampaikan materi yang keliru sehingga mereka tidak atau kurang mampu menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar berkualitas.

Setidaknya ada dua faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya perbaikan pendidikan selama ini kurang berhasil yaitu: (1) Strategi pembangunan pendidikan selama ini bersifat input oriented, yaitu pemenuhan semua input pendidikan seperti penyediaan materi untuk belajar dan mengajar dan alat-alat, akan dapat menghasilkan out put yang sama mutunya, namun sampai sekarang ini tidak sesuai seperti yang diharapkan. (2) Pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat makro oriented, artinya orientasi pendidikan lebih banyak diatur oleh pusat,  padahal banyak yang semestinya dapat dilakukan ditingkat mikro (sekolah). Menyadari akan kelemahan selama ini, sistem pengelolaan pendidikan mestinya lebih diserahkan kepada otonomi sekolah sendiri. Artinya sekolah dengan peran serta kepala sekolah dan guru bersama-sama dengan masyarakat turun tangan untuk mengelolanya. Karena disadari lembaga pendidikan (sekolah) lahir ditengah-tengah masyarakat dan masyarakat perlu dilibatkan dalam pengelolaannya. Dan sampai saat ini masih kurang dirasakan.

Di samping itu pula, tantangan terjadinya krisis motivasi guru telah menghadang di depan kita. Penurunan gairah dan kemauan guru mengajar akan berdampak terhadap hasil pendidikan, hal ini akibat dari dampak krisis ekonomi, krisis politik, krisis kepercayaan yang melanda bangsa kita sejak 1997 lalu, yang hingga saat ini belum menunjukkan tanda-tanda pulih. Keruntuhan Orde Baru dengan melahirkan Orde Reformasi telah menggeliatkan guru melalui demonstrasi besar-besaran menuntut pemerintah agar memperbaiki nasib dan kesejahteraan  guru. Sikap kurang tanggapnya pihak-pihak terkait terhadap nasib tentu akan mendorong timbulnya krisis motivasi guru dalam mengajar.

Selain itu juga, ada beberapa faktor lagi yang di duga menjadi penyebab: (1) Gaji guru yang rata-rata rendah dan belum memadai, akibatnya guru mencari alternatif sumber penghasilan lain, (2) Kejenuhan birokrasi mengurus pindah tugas (3) Peluang kecil bagi peningkatan karir (4) Kecenderungan mengambil kredit cicilan uang di bank sehingga gaji yang diterima tiap bulannya relatif kecil (5) Kekurangan kepala sekolah untuk menjadi teladan/panutan di hadapan guru, anak-anak dan masyarakat.

Gambaran suram pendidikan kita seperti ini, yang salah satu penyebabnya krisis motivasi guru dalam mengajar, tetapi itu bukanlah merefleksikan kepesimisan dan kurangnya kredibilitas (kepercayaan) kepada guru. Kondisi itu harus kita ubah jika kita ingin mewujudkan kualitas pendidikan yang baik dan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan daya saing tinggi di era pasca-globalisasi, untuk menjawab tantangan di abad 21 yang dianggap sebagai abad pengetahuan.

Pendidikan di abad 21 merupakan abad pengetahuan, karena pengetahuan menjadi landasan utama segala aspek kehidupan. Menurut Naisbit (1995) ada 10 kecenderungan besar yang akan terjadi pada pendidikan di abad ke-21 yaitu; (1) dari masyarakat industri ke masyarakat informasi, (2) dari teknologi yang dipaksakan ke teknologi tinggi, (3) dari ekonomi nasional ke ekonomi dunia, (4) dari perencanaan jangka pendek ke perencanaan jangka panjang, (5) dari sentralisasi ke desentralisasi, (6) dari bantuan institusional ke bantuan diri, (7) dari demokrasi perwakilan ke demokrasi partisipatoris, (8) dari hierarki-hierarki ke penjaringan, (9) dari utara ke selatan, dan (10) dari  pilihan personal ke pilihan majemuk.

Dengan memperhatikan pendapat Naisbitt di atas, Muhammad Surya (1998) mengungkapkan bahwa pendidikan di Indonesia di abad 21 mempunyai karakteristik sebagai berikut: (1) Pendidikan nasional mempunyai tiga fungsi dasar yaitu; (a) untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, (b) untuk mempersiapkan tenaga kerja terampil dan ahli yang diperlukan dalam proses industrialisasi, (c) membina dan mengembangkan penguasaan berbagai cabang keahlian ilmu pengetahuan dan teknologi; (2) Sebagai negara kepulauan yang berbeda-beda suku, agama dan bahasa, pendidikan tidak hanya sebagai proses transfer pengetahuan saja, akan tetapi mempunyai fungsi pelestarian kehidupan bangsa dalam suasana persatuan dan kesatuan nasional; (3) Dengan semakin meningkatnya hasil pembangunan, mobilitas penduduk akan mempengaruhi corak pendidikan nasional; (4) Perubahan karakteristik keluarga baik fungsi maupun struktur, akan banyak menuntut akan pentingnya kerja sama berbagai lingkungan pendidikan dan dalam keluarga sebagai intinya.

 

Dimensi Politik dalam Pendidikan

Pasca keruntuhan rezim politik Orde Baru dengan lahirnya politik Orde Reformasi telah merubah tatanan masyarakat, tidak terlepas dalam dunia pendidikan. Sistem pendidikan yang dianut selama Orde Baru yang dianggap menutup untuk berpikir kritis, analisis walaupun rasional. Kini di era reformasi, pendidikan harus dapat membuka paradigma baru untuk menciptakan iklim pendidikan yang lebih mengarah kepada pembentukan anak didik yang kritis, moderat dan memiliki loyalitas tinggi terhadap agama dan negara.

Peran serta guru dalam mengisi Orde Reformasi ini adalah dengan memanfaatkan peran politik pendidikan yang ditujukan untuk membangun sumberdaya manusia yang berkualitas, baik yang sifatnya lahir maupun yang batiniah. Politik pendidikan menganut faham bahwa pendidikan berlangsung sepanjang hidup manusia (long life education). Pendidikan di sekolah tidak sekedar ditujukan untuk membangun intelektualisme, tetapi terutama membangun karakter, mengajarkan pandai berbuat melalui daya cipta (inovasi) dan kreativitas dalam upaya menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dimensi politik pendidikan berkaitan dengan otoritas, kekuasaan dan pengaruh untuk memecahkan konflik-konflik dan isu-isu pendidikan. Aspek politik dari reformasi pendidikan amat kompleks. Keberhasilan dalam mengendalikan aspek politik ini ditunjukkan dengan adanya berbagai kebijakan dan setiap kebijakan saling melengkapi serta menuju sasaran utama yaitu meningkatkan kemajuan pendidikan.

Dimensi politik ini tidak sekedar hak-hak politik warga sekolah/institusi pendidikan, khususnya tenaga pengajar/guru/dosen dan kepala sekolah/rektor, tetapi mempunyai pengertian yang luas, yakni penekanan pada kebebasan atau otonomi sekolah, khususnya dalam kaitannya dengan masyarakat sekitar. Dengan otonomi tersebut maka keberadaan sekolah/lembaga pendidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat dan tidak terlalu menggantungkan pada birokrasi di atas.

Keberhasilan reformasi pendidikan ditentukan oleh keberhasilan dalam memberdayakan guru di mana guru memiliki otonomi profesional dan kekuasaan untuk menentukan bagaimana visi dan misi lembaga pendidikan harus diimplementasikan dalam praktek sehari-hari. Selain itu pemberdayaan guru perlu dilakukan pula melalui pemberian kesempatan dan dorongan bagi mereka untuk selalu belajar menambah ilmu. Proses pembelajaran (learning) sepanjang waktu bagi tenaga pendidik/guru merupakan keharusan dan menjadi titik sentral dalam reformasi pendidikan.

Sekarang reformasi pendidikan sangat terasa diperlukan. Reformasi pendidikan merupakan suatu proses yang kompleks dan majemuk sehingga memerlukan pengerahan segenap potensi yang ada dalam tempo yang panjang ke depan. Di samping itu, yang lebih penting adalah reformasi pendidikan harus memberikan peluang (room for manoeuvre) bagi siapapun yang aktif dalam pendidikan untuk mengembangkan langkah-langkah baru yang memungkinkan peningkatan kualitas pendidikan di masa yang akan datang.

Di samping itu, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas harus diimplementasikan secara nyata dalam keseluruhan kinerja pendidikan nasional. Tidak kalah pentingnya ialah unsur "guru dan tenaga kependidikan lainnya" harus berada dalam posisi sentral dalam pola-pola manajemen pendidikan yang berbasis paradigma pendidikan.

Proses pendidikan di era reformasi, guru harus lebih berperan sebagai pendidik multikultural. Pendidikan multikultural didasari asumsi, tiap manusia memiliki identitas, sejarah, lingkungan, keluarga dan pengalaman hidup unik dan berbeda-beda. Perbedaan adalah identitas terpenting dan paling otentik tiap manusia daripada kesamaannya. Kegiatan belajar-mengajar bukan ditujukan agar peserta didik menguasai sebanyak mungkin materi ilmu atau nilai, tetapi bagaimana tiap peserta didik mengalami sendiri proses berilmu dan hidup di ruang kelas dan lingkungan sekolah

Pendidikan multikultural mengandalkan sekolah sebagai lingkungan hidup nyata yang plural, terus berubah dan berkembang. Institusi sekolah dan kelas adalah wahana hidup dengan pemeran utama peserta didik dan posisi guru adalah sebagai fasilitator dalam perkembangan pendidikan anak. Pembelajaran tidak hanya menyuapi anak dengan materi tetapi mampu membangkitkan pengayaan pengalaman hidup yang unik, sehingga bisa tumbuh pengalaman dan kesadaran kolektif. Sehingga setiap warga dan peserta didik yang kelak menjadi dasar etika politik berbasis etika kewargaan. Tujuan dari pendidikan multikultural adalah menciptakan anak didik yang mampu mengenali dirinya sendiri, lingkungan, bangsa dan negara dan agama.

Karena itu, keunikan diri anak didik (siswa) perlu ditempatkan sebagai akar pendidikan, pengembangan politik kebangsaan, dan kesalehan religius. Mengenali diri sendiri adalah akar mengenal Tuhan, alam semesta, dan orang lain. Prinsip inilah yang dalam tradisi sufi dikenal dalam doktrin man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu (to know your self).

            Purnakata dari tulisan sederhana ini, ada lima istilah bagi tipikal guru: guru sasar, guru layar, guru makelar, guru bayar, guru besar. Semoga kita semua tetap mempertahankan falsafah seorang guru yaitu "jadilah engkau sebagai seorang ayah sebelum engkau menjadi guru", dengan kasih sayang, perhatian, penanaman akhlak atau etika akan lebih penting daripada menciptakan insan-insan stagnan jiwannya, yang dengan hanya keberhasilan sesaat semua dapat punah bila tanpa nilai-nilai dasar spiritualisme sang pendidik. Wallahu a'lam bishshawab.

Jujur

  J u j u r   Wajib bagi kamu yang berlaku benar, karena sesungguhnya kebenaran itu membawa kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke ...