J u j u r
Wajib bagi kamu yang berlaku benar, karena sesungguhnya
kebenaran itu membawa kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke sorga.
Seseorang tidak henti-hentinya berkata dan berlaku benar dan mengusahakan
sungguh-sungguh akan kebenaran sehingga dicatat dia di sisi Allah sebagai
seorang shidiq (ahli benar). (HR. Bukhari&Muslim)
Makna hadits di atas, secara dramatis melukiskan tema
keharusan manusia untuk berbuat jujur dalam segala hal. Jujur atau benar
merupakan sikap pribadi manusia yang lugas, apa adanya yang tidak dicampuri
dengan kebohongan-kebohongan (dusta). Lawan dari jujur adalah dusta. Makna
dusta dapat diartikan sebagai tindakan memberitahukan sesuatu yang berlainan
dengan yang sebenarnya sehingga terjadi penyimpangan (anomali) dari
idealitasnya. Dalam bahasa sehari-hari, jujur dapat diterjemahkan sebagai sikap
yang terbuka, berbuat dan bertindak apa adanya, yakni tidak ada sesuatu yang
harus dirahasiahkan atau ditutup-tutupi. Jujur berarti pula menempatkan sesuatu
pada tempat yang selayaknya sesuai dengan tuntutan.
Kejujuran merupakan sifat yang terpuji dan kunci dari
kesuksesan dalam pergaulan. Tidak diragukan lagi bahwa semua orang menuntut
adanya sifat jujur, baik pada dirinya sendiri maupun kepada orang lain. Tidak
terbatas, apakah dia seorang siswa atau guru, seorang pimpinan (penguasa) atau
bawahan (rakyat), orang tua atau anak dan semua orang dalam segala
lapisan masyarakat dimanapun mereka berada dituntut untuk berlaku jujur.
Jika disimak benar-benar makna hadits di atas tadi,
maka jujur sebenarnya merupakan induk dari sifat terpuji lainnya. Apabila sifat
jujur ini tidak diwujudkan pada diri seseorang, maka sulitlah sifat terpuji
lainnya dapat dicapai. Allah telah berfirman dalam al-Quran;
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah
dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu
amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. (QS. al-Ahzab;
70-71)
Di zaman yang penuh dengan godaan keduniawian, nilai
kejujuran bila di umpakan sebagai barang, telah dianggap sebagai barang "mozaik"
yang bernilai tinggi. Betapa tidak, kejujuran mudah diucapkan, tetapi sulit
untuk ditemukan. Orang yang hendak menemukan kejujuran mesti susah payah
menggali lebih dalam lagi untuk meraih nilai yang luhur itu. Isu Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme (KKN) di negeri ini, salah satunya akibat dari
keterpurukan moral bangsa kita yang telah kehilangan sifat jujur dalam diri
manusia. Menggunakan dan mengakui sesuatu yang bukan hak miliknya, kemudian
tanpa sadar ia mengakui sebagai miliknya, itu sebuah penyimpangan (anomali)
dan sekaligus sebagai pembunuh nilai kejujuran pada dirinya sendiri.
Sifat jujur bila tidak ditumbuhkembangkan dalam diri
manusia sejak dini, niscaya akan melahirkan pribadi yang tidak amanah,
pendusta, tamak, sombong, egois dan sifat-sifat yang tidak terpuji lainnya.
Itulah sebabnya Rasulullah Saw bersabda dengan tegas:
“Barang siapa yang
mengambil harta orang lain dengan maksud menunaikan hak harta itu, Allah akan
menunaikannya dari dirinya. Dan barang siapa yang mengambil harta orang lain
dengan maksud menghabiskannya, Allah akan memusnahkan harta itu” (H.R
Bukhari).
Bagi orang-orang yang telah kehilangan sifat jujur
dalam dirinya, maka kekuasaan, kedudukan, pangkat dan jabatan sering dijadikan
sebagai sarana untuk memfasilitasi diri sendiri. Padahal tidak pada tempatnya
seorang penguasa bertindak sesukanya dengan menyalahgunakan wewenang
kekuasaannya untuk menghambur-hamburkan kekayaan negara apalagi untuk
kepentingan memperkaya diri. Pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang sanggup
memegang dan menjalankan amanah untuk kesejahteraan ummat. Ia tidak tergiur
oleh iming-iming yang menjanjikan, walaupun sangat menguntungkan terhadap
dirinya. Dalam hal ini Rasulullah Saw, bersabda:
“Sesungguhnya aku ini demi Allah tidak mampu memberi kepada
seseorang dan tidak dapat (pula) menolak untuk memberi seseorang. Sesungguhnya aku
ini adalah Qasim (pembagi) yang melakukan sebagaimana diperintahkan kepadaku” (HR.al-Bukhari).
Secara mikro (wilayah kecil), realitas
menunjukkan ada banyak masalah-masalah yang muncul dalam diri kita yang
terkadang mengabaikan kejujuran. Ungkapan pepatah "Semut di seberang
lautan kelihatan, Gajah di pelumuk mata tidak tampak", mengandung
makna bahwa betapa sulit untuk melihat kesalahan diri kita secara jujur, tetapi
sangatlah mudah mengorek-ngorek dan menunjukkan kesalahan dan aib orang lain.
Padahal, mengakui kesalahan sendiri adalah tindakan yang sangat mulia dan
bijaksana. Karena disadari, mengakui kesalahan sendiri lebih sulit ketimbang
menuduh salah terhadap orang lain.
Sebagai gambaran kejujuran, di zaman khalifah Umar Ibn
Khatab, diceriterakan seorang budak (raqabah) sedang mengembalakan
kambing-kambing milik tuanya, datanglah khalifah Umar membujuk untuk membeli
salah seekor dari kambing itu. Budak itu tidak mau menjualnya, karena kambing
itu bukan miliknya. Padalah jika budak itu mau menjual kambing seekor saja,
tentu tuannya tidak akan mengetahuinya. Tetapi, ia tidak mau melakukan
perbuatan yang tidak jujur karena Allah mengetahuinya. Melihat kejujurannya,
Khalifah Umar sangat terharu menyaksikan budak itu. Maka beliau membebaskan
budak tersebut, sebagai imbalan dari kejujurannya, ia menjadi bebas merdeka dan
dicintai oleh orang banyak.
Gambaran
kisah tadi, menunjukkan kepada kita bahwa kejujuran akan sangat mudah
ditegakkan apabila telah merasa bahwa Allah swt. mengetahui segala apa yang
diperbuat oleh mahluk-Nya. Tetapi, bagi manusia yang tidak merasakan kehadiran
Allah swt. dalam hidupnya niscaya akan sulit menanamkan sifat kejujuran dalam
pribadinya. Itulah sebabnya nilai kejujuran mesti ditegakkan sekuat mungkin
walaupun terasa pahit. Sehingga dengan membumikan nilai kejujuran diharapkan
mampu menciptakan negeri yang ideal (masyarakat madani), yakni negeri
yang harmonis, dinamis dan penuh limpahan Kasih Sayang dari Allah swt. Insya
Allah!