Minggu, 24 September 2023

Jujur

 

J u j u r

 

Wajib bagi kamu yang berlaku benar, karena sesungguhnya kebenaran itu membawa kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke sorga. Seseorang tidak henti-hentinya berkata dan berlaku benar dan mengusahakan sungguh-sungguh akan kebenaran sehingga dicatat dia di sisi Allah sebagai seorang shidiq (ahli benar). (HR. Bukhari&Muslim)

Makna hadits di atas, secara dramatis melukiskan tema keharusan manusia untuk berbuat jujur dalam segala hal. Jujur atau benar merupakan sikap pribadi manusia yang lugas, apa adanya yang tidak dicampuri dengan kebohongan-kebohongan (dusta). Lawan dari jujur adalah dusta. Makna dusta dapat diartikan sebagai tindakan memberitahukan sesuatu yang berlainan dengan yang sebenarnya sehingga terjadi penyimpangan (anomali) dari idealitasnya. Dalam bahasa sehari-hari, jujur dapat diterjemahkan sebagai sikap yang terbuka, berbuat dan bertindak apa adanya, yakni tidak ada sesuatu yang harus dirahasiahkan atau ditutup-tutupi. Jujur berarti pula menempatkan sesuatu pada tempat yang selayaknya sesuai dengan tuntutan.

Kejujuran merupakan sifat yang terpuji dan kunci dari kesuksesan dalam pergaulan. Tidak diragukan lagi bahwa semua orang menuntut adanya sifat jujur, baik pada dirinya sendiri maupun kepada orang lain. Tidak terbatas, apakah dia seorang siswa atau guru, seorang pimpinan (penguasa) atau bawahan (rakyat), orang tua atau anak dan semua orang dalam segala lapisan masyarakat dimanapun mereka berada dituntut untuk berlaku jujur.

Jika disimak benar-benar makna hadits di atas tadi, maka jujur sebenarnya merupakan induk dari sifat terpuji lainnya. Apabila sifat jujur ini tidak diwujudkan pada diri seseorang, maka sulitlah sifat terpuji lainnya dapat dicapai. Allah telah berfirman dalam al-Quran;

Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. (QS. al-Ahzab; 70-71)

Di zaman yang penuh dengan godaan keduniawian, nilai kejujuran bila di umpakan sebagai barang, telah dianggap sebagai barang "mozaik" yang bernilai tinggi. Betapa tidak, kejujuran mudah diucapkan, tetapi sulit untuk ditemukan. Orang yang hendak menemukan kejujuran mesti susah payah menggali lebih dalam lagi untuk meraih nilai yang luhur itu. Isu Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di negeri ini, salah satunya akibat dari keterpurukan moral bangsa kita yang telah kehilangan sifat jujur dalam diri manusia. Menggunakan dan mengakui sesuatu yang bukan hak miliknya, kemudian tanpa sadar ia mengakui sebagai miliknya, itu sebuah penyimpangan (anomali) dan sekaligus sebagai pembunuh nilai kejujuran pada dirinya sendiri.

Sifat jujur bila tidak ditumbuhkembangkan dalam diri manusia sejak dini, niscaya akan melahirkan pribadi yang tidak amanah, pendusta, tamak, sombong, egois dan sifat-sifat yang tidak terpuji lainnya. Itulah sebabnya Rasulullah Saw bersabda dengan tegas:

“Barang siapa yang mengambil harta orang lain dengan maksud menunaikan hak harta itu, Allah akan menunaikannya dari dirinya. Dan barang siapa yang mengambil harta orang lain dengan maksud menghabiskannya, Allah akan memusnahkan harta itu” (H.R Bukhari).

Bagi orang-orang yang telah kehilangan sifat jujur dalam dirinya, maka kekuasaan, kedudukan, pangkat dan jabatan sering dijadikan sebagai sarana untuk memfasilitasi diri sendiri. Padahal tidak pada tempatnya seorang penguasa bertindak sesukanya dengan menyalahgunakan wewenang kekuasaannya untuk menghambur-hamburkan kekayaan negara apalagi untuk kepentingan memperkaya diri. Pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang sanggup memegang dan menjalankan amanah untuk kesejahteraan ummat. Ia tidak tergiur oleh iming-iming yang menjanjikan, walaupun sangat menguntungkan terhadap dirinya. Dalam hal ini Rasulullah Saw, bersabda:

   “Sesungguhnya aku ini  demi Allah tidak mampu memberi kepada seseorang dan tidak dapat (pula) menolak untuk memberi seseorang. Sesungguhnya aku ini adalah Qasim (pembagi) yang melakukan sebagaimana diperintahkan kepadaku” (HR.al-Bukhari).

Secara mikro (wilayah kecil), realitas menunjukkan ada banyak masalah-masalah yang muncul dalam diri kita yang terkadang mengabaikan kejujuran. Ungkapan pepatah "Semut di seberang lautan kelihatan, Gajah di pelumuk mata tidak tampak", mengandung makna bahwa betapa sulit untuk melihat kesalahan diri kita secara jujur, tetapi sangatlah mudah mengorek-ngorek dan menunjukkan kesalahan dan aib orang lain. Padahal, mengakui kesalahan sendiri adalah tindakan yang sangat mulia dan bijaksana. Karena disadari, mengakui kesalahan sendiri lebih sulit ketimbang menuduh salah terhadap orang lain.

Sebagai gambaran kejujuran, di zaman khalifah Umar Ibn Khatab, diceriterakan seorang budak (raqabah) sedang mengembalakan kambing-kambing milik tuanya, datanglah khalifah Umar membujuk untuk membeli salah seekor dari kambing itu. Budak itu tidak mau menjualnya, karena kambing itu bukan miliknya. Padalah jika budak itu mau menjual kambing seekor saja, tentu tuannya tidak akan mengetahuinya. Tetapi, ia tidak mau melakukan perbuatan yang tidak jujur karena Allah mengetahuinya. Melihat kejujurannya, Khalifah Umar sangat terharu menyaksikan budak itu. Maka beliau membebaskan budak tersebut, sebagai imbalan dari kejujurannya, ia menjadi bebas merdeka dan dicintai oleh orang banyak.

 Gambaran kisah tadi, menunjukkan kepada kita bahwa kejujuran akan sangat mudah ditegakkan apabila telah merasa bahwa Allah swt. mengetahui segala apa yang diperbuat oleh mahluk-Nya. Tetapi, bagi manusia yang tidak merasakan kehadiran Allah swt. dalam hidupnya niscaya akan sulit menanamkan sifat kejujuran dalam pribadinya. Itulah sebabnya nilai kejujuran mesti ditegakkan sekuat mungkin walaupun terasa pahit. Sehingga dengan membumikan nilai kejujuran diharapkan mampu menciptakan negeri yang ideal (masyarakat madani), yakni negeri yang harmonis, dinamis dan penuh limpahan Kasih Sayang dari Allah  swt.  Insya Allah!

Jujur

  J u j u r   Wajib bagi kamu yang berlaku benar, karena sesungguhnya kebenaran itu membawa kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke ...