Manusia lahir ke
dunia diberi kemampuan oleh Allah SWT. untuk menganalisis segala apa yang ada
di muka bumi dengan daya fikirnya. Kemampuan untuk berfikir dan menganalis
tersebut adalah dengan mendayagunakan serta mencurahkan segala ilmu yang
dimilikinya.
Anugerah Allah SWT.
kepada manusia dengan diberi kemampuan berfikir dengan ilmunya, merupakan
anugerah yang sangat luar biasa dan sangat besar nilainya. Dengan ilmunya,
manusia akan mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, apa yang harus
dikerjakan dan mana yang tidak boleh dikerjakan. Dengan ilmu pulalah manusia
akan mampu menemukan dan menciptakan teknologi mutakhir di muka bumi, bahkan
dengan kemajuan ilmu teknologi jualah manusia mampu berkunjung ke planet lain.
Dengan kemampuan
ilmu tinggi dan bermanfaat bagi orang lain, kedudukan manusia akan lebih tinggi
derajatnya. Karena ilmu yang manfaat adalah ilmu yang mampu memberi penerang bagi
dirinya sendiri dan orang lain. Manusia yang seperti ini adalah mereka yang senantiasa memberi
pertolongan dan memberi pencerahan kepada orang lain. Sehingga, dia merasa
mempunyai kewajiban untuk memberi penerang jalan untuk menuju kebenaran dan
keridhaan-Nya. Biasanya, sikap orang yang seperti ini laksana buah padi,
semakin berisi semakin merunduk, sebab dalam dirinya mengakui kebesaran Allah SWT. di jagat raya adalah kebesaran
ilmu Allah SWT. itu sendiri. Allah SWT. berfirman dalam al-Qur’an;
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا
مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَات--ٍ.(المجادله:11)
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang
yang beriman di antaramu dan orang-orang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat”
(al-Mujadalah; 11).
Rasulullah SAW.
bersabda;
“Sesungguhnya
hikmah (ilmu) itu menambah orang yang mulia akan kemualiaan dan mengangkat
hamba sahaya sehingga ia mencapai capaian raja-raja" (H.R. Abu Nai’m).
Di sisi lain,
manusia yang diberi ilmu, tetapi dalam dirinya tidak tertanam nilai–nilai
keimanan dan taqwa, akan memunculkan sifat yang sombong, udzub dan takabur.
Manusia yang memiliki sifat seperti ini, adalah mereka yang tidak merasa bahwa
segala kemampuan yang dimilikinya merupakan anugerah dari Allah SWT. Mereka
senantiasa menggunakan kelebihan ilmu yang dimilikinya hanya untuk mengumbar
hawa nafsunya. Mereka menciptakan “teknologi” yang mutakhir hanya untuk
membela kepentingan pribadi dan kelompok. Bila sudah demikian, mereka tidak
hanya merugikan orang lain, tetapi juga dirinya sendiri akan terjerumus ke
jurang kenistaan. Firman Alah SWT;
لَهُمْ قُلُوبٌ لاَلَيَفْقَهُونَ بِهَا
وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَلَيُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ ءَاذَانٌ لا يَسْمَعُونَ بِهَا
أُولَئِكَ كَالأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ.
(العراف:179)
“...mereka mempunyai hati, tetapi tidak
dupergunakan untuk memahami (ayat Allah) dan mereka mempunyai mata tidak
digunakan untuk melihat (tanda kekuasaan Allah) dan mereka mempunyai telinga
tidak dipergunakan mendengar (ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak,
bahkan mereka lebih sesaat lagi, mereka itulah orang-orang yang lalai”
(al-A’raaf; 179).
Manusia di negara-negara
maju telah banyak yang kehilangan “pedoman” dalam menggunakan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Padahal, teknologi itu akan lebih mempertinggi
derajat manusiawi dan kesejahteraan ummat. Akan tetapi yang muncul pada
realitasnya, justeru kebalikannya, yaitu “kemunkaran” yang digandengkan dengan “ilmu
pengetahuan dan teknologi”. Akhirnya, teknologi itu tidak lagi berfungsi
sebagai sarana pengangkat citra manusiawi, malah sebaliknya, menjadi bencana
bagi peradaban manusia itu sendiri.
Dalam kondisi yang
seperti ini, bukannya tidak ada suara kemanusiaan yang mengatakan bahwa nilai
moral lebih berharga daripada sekedar kekuasaan dan kekuatan (knowlidge is
power, but moral is more than it). Tetapi suara itu tak berdaya merendahkan
kemelut dan penyalahgunaan iptek tersebut. Adalah benar bahwa manusia telah
sampai kepada jenjang “iptek” yang tinggi kerena dengan kemampuan logika
(alur-pikiran) dan ratio (akal) yang menakjubkan. Akan tetapi
kemajuan dalam “iptek” itu sepi dari hikmah (ilmu), yakni hampa
dari nilai-nilai kebijaksanaan yang mendalam. Bahkan, karena tingginya prestasi
di bidang “iptek” ini, timbul kecongkakan dan takabur pada manusia.
Akibatnya, mereka menganggap sepi dan remeh terhadap kemurkaan Illahi. Mereka
seakan-akan beranggapan bahwa tidak ada
kehidupan lain setelah di dunia, dan tidak akan percaya akan adanya hari
perhitungan dan hari pertanggungjawaban (yaumil hisab) di hari kemudian (akherat).
Seorang ilmuwan
Amerika, Will Durant, mencetuskan rintihan kalbunya dan kecamannya dalam
sebuah tulisannya. Ia berkata, bahwa Amerika yang padat dengan ahli ilmu dan
politik itu, ternyata tak memiliki tokoh hikmah (ilmu) yang mampu
memberi penyejuk hati kepada masyarakat.
Rintihan Will
Durant tersebut, mengambarkan kekosongan jiwa masyarakat Amerika yang
mendambakan ketenangan batin dan hikmah dari kemajuan “iptek” di negaranya.
Karena dari kemajuan ilmu pengetahuan, belum mampu memberikan ketenangan
batinnya, justeru yang muncul adalah rasa was-was, curiga dan takut akibat dari
persaingan ilmu pengetahuan dengan yang lainnya.
Ajaran Islam telah
memberikan pandangan dalam penguasaan ilmu (ontologi), cara meraih
penguasaan ilmu (epistimologi) dan kemampuan penggunaan ilmu (aksiologi),
harus tetap dimulai dari titik tolak pada niat dan tekad yang konsisten dengan bimbingan dari Allah SWT sebagaimana yang termaktub
dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Ini berarti dalam penguasaan “ilmu”
hendaknya didasari oleh nilai-nilai akhlakul karimah, tanggungjawab kepada
Allah SWT., serta memiliki tanggungjawab moral kepada diri sendiri, masyarakat
dan ummat pada umumnya. Sehingga kemajuan ilmu pengetahuan akan menjadi rahmat
dan kesejahteraan ummat manusia.