Senin, 16 Juli 2018

Fungsi Ilmu Pengetahuan dalam Kehidupan

 

 

Manusia lahir ke dunia diberi kemampuan oleh Allah SWT. untuk menganalisis segala apa yang ada di muka bumi dengan daya fikirnya. Kemampuan untuk berfikir dan menganalis tersebut adalah dengan mendayagunakan serta mencurahkan segala ilmu yang dimilikinya.

Anugerah Allah SWT. kepada manusia dengan diberi kemampuan berfikir dengan ilmunya, merupakan anugerah yang sangat luar biasa dan sangat besar nilainya. Dengan ilmunya, manusia akan mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, apa yang harus dikerjakan dan mana yang tidak boleh dikerjakan. Dengan ilmu pulalah manusia akan mampu menemukan dan menciptakan teknologi mutakhir di muka bumi, bahkan dengan kemajuan ilmu teknologi jualah manusia mampu berkunjung ke planet lain.

Dengan kemampuan ilmu tinggi dan bermanfaat bagi orang lain, kedudukan manusia akan lebih tinggi derajatnya. Karena ilmu yang manfaat adalah ilmu yang mampu memberi penerang bagi dirinya sendiri dan orang lain. Manusia yang seperti ini  adalah mereka yang senantiasa memberi pertolongan dan memberi pencerahan kepada orang lain. Sehingga, dia merasa mempunyai kewajiban untuk memberi penerang jalan untuk menuju kebenaran dan keridhaan-Nya. Biasanya, sikap orang yang seperti ini laksana buah padi, semakin berisi semakin merunduk, sebab dalam dirinya mengakui kebesaran  Allah SWT. di jagat raya adalah kebesaran ilmu Allah SWT. itu sendiri. Allah SWT. berfirman dalam al-Qur’an;

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَات--ٍ.(المجادله:11)

“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (al-Mujadalah; 11).

Rasulullah SAW. bersabda;

“Sesungguhnya hikmah (ilmu) itu menambah orang yang mulia akan kemualiaan dan mengangkat hamba sahaya sehingga ia mencapai capaian raja-raja" (H.R. Abu Nai’m).

Di sisi lain, manusia yang diberi ilmu, tetapi dalam dirinya tidak tertanam nilai–nilai keimanan dan taqwa, akan memunculkan sifat yang sombong, udzub dan takabur. Manusia yang memiliki sifat seperti ini, adalah mereka yang tidak merasa bahwa segala kemampuan yang dimilikinya merupakan anugerah dari Allah SWT. Mereka senantiasa menggunakan kelebihan ilmu yang dimilikinya hanya untuk mengumbar hawa nafsunya. Mereka menciptakan “teknologi” yang mutakhir hanya untuk membela kepentingan pribadi dan kelompok. Bila sudah demikian, mereka tidak hanya merugikan orang lain, tetapi juga dirinya sendiri akan terjerumus ke jurang kenistaan. Firman Alah SWT;

لَهُمْ قُلُوبٌ لاَلَيَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَلَيُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ ءَاذَانٌ لا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ. (العراف:179)

“...mereka mempunyai hati, tetapi tidak dupergunakan untuk memahami (ayat Allah) dan mereka mempunyai mata tidak digunakan untuk melihat (tanda kekuasaan Allah) dan mereka mempunyai telinga tidak dipergunakan mendengar (ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesaat lagi, mereka itulah orang-orang yang lalai” (al-A’raaf; 179).

Manusia di negara-negara maju telah banyak yang kehilangan “pedoman” dalam menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi. Padahal, teknologi itu akan lebih mempertinggi derajat manusiawi dan kesejahteraan ummat. Akan tetapi yang muncul pada realitasnya, justeru kebalikannya, yaitu “kemunkaran”  yang digandengkan dengan “ilmu pengetahuan dan teknologi”. Akhirnya, teknologi itu tidak lagi berfungsi sebagai sarana pengangkat citra manusiawi, malah sebaliknya, menjadi bencana bagi peradaban manusia itu sendiri.

Dalam kondisi yang seperti ini, bukannya tidak ada suara kemanusiaan yang mengatakan bahwa nilai moral lebih berharga daripada sekedar kekuasaan dan kekuatan (knowlidge is power, but moral is more than it). Tetapi suara itu tak berdaya merendahkan kemelut dan penyalahgunaan iptek tersebut. Adalah benar bahwa manusia telah sampai kepada jenjang “iptek” yang tinggi kerena dengan kemampuan logika (alur-pikiran) dan ratio (akal) yang menakjubkan. Akan tetapi kemajuan dalam “iptek” itu sepi dari hikmah (ilmu), yakni hampa dari nilai-nilai kebijaksanaan yang mendalam. Bahkan, karena tingginya prestasi di bidang “iptek” ini, timbul kecongkakan dan takabur pada manusia. Akibatnya, mereka menganggap sepi dan remeh terhadap kemurkaan Illahi. Mereka seakan-akan beranggapan bahwa tidak  ada kehidupan lain setelah di dunia, dan tidak akan percaya akan adanya hari perhitungan dan hari pertanggungjawaban (yaumil hisab) di hari kemudian (akherat).

Seorang ilmuwan Amerika, Will Durant, mencetuskan rintihan kalbunya dan kecamannya dalam sebuah tulisannya. Ia berkata, bahwa Amerika yang padat dengan ahli ilmu dan politik itu, ternyata tak memiliki tokoh hikmah (ilmu) yang mampu memberi penyejuk hati kepada masyarakat.

Rintihan Will Durant tersebut, mengambarkan kekosongan jiwa masyarakat Amerika yang mendambakan ketenangan batin dan hikmah dari kemajuan “iptek” di negaranya. Karena dari kemajuan ilmu pengetahuan, belum mampu memberikan ketenangan batinnya, justeru yang muncul adalah rasa was-was, curiga dan takut akibat dari persaingan ilmu pengetahuan dengan yang lainnya.

Ajaran Islam telah memberikan pandangan dalam penguasaan ilmu (ontologi), cara meraih penguasaan ilmu (epistimologi) dan kemampuan penggunaan ilmu (aksiologi), harus tetap dimulai dari titik tolak pada niat dan tekad  yang konsisten dengan bimbingan  dari Allah SWT sebagaimana yang termaktub dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Ini berarti dalam penguasaan “ilmu” hendaknya didasari oleh nilai-nilai akhlakul karimah, tanggungjawab kepada Allah SWT., serta memiliki tanggungjawab moral kepada diri sendiri, masyarakat dan ummat pada umumnya. Sehingga kemajuan ilmu pengetahuan akan menjadi rahmat dan kesejahteraan ummat manusia.

 

Jujur

  J u j u r   Wajib bagi kamu yang berlaku benar, karena sesungguhnya kebenaran itu membawa kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke ...