Saat ini masyarakat
kita sedang membangun di segala bidang, terutama dalam dunia pendidikan. Masyarakat
maju akan senantiasa menuntut berbagai macam
kebutuhan. Kebutuhan-kebutuhan yang dituntut pada hakikatnya didasarkan
dua jenis perkembangan, yaitu perkembangan individu dan perkembangan kelompok
(Moody, 1971).
Sehubungan dengan
masalah tersebut pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting, termasuk di
dalamnya adalah pendidikan/pengajaran sastra. Selain fungsinya sebagai
penunjang mata pelajaran yang lain sehingga pendidikan benar-benar merupakan
suatu kebulatan dalam memajukan individu secara harmonis, menjadi a fully
functioning person (Amien. 1980)
Pengajaran sastra
juga mempunyai fungsi ideologis, fungsi kultural dan fungsi praktis. (Sarwadi,
1971). Fungsi ideologis, merupakan fungsi utama yaitu sebagai salah satu
sarana untuk membentuk karakter dan keilmuan seseorang yang paripurna. Fungsi
kultural, pengajaran sastra adalah memindahkan kebudayaan milik suatu
generasi kepada generasi berikutnya. Sastra sebagai suatu materi kebudayaan
diajarkan agar dapat di dimiliki dan dikembangkan oleh generasi berikutnya.
Oleh karena itu pelaksanaan pengajaran sastra hendaknya tidak bersifat pasif
verbalistis, akan tetapi dinamis kreatif. Fungsi praktis, mencakup
pengertian bahwa pengajaran sastra mempunyai fungsi membekali bahan-bahan yang
mungkin berguna untuk melanjutkan studi ataupun bekal terjun di tengah kancah
masyarakat.
Pengajaran sastra
saat ini seharusnya difokuskan pada upaya untuk memiliki kemampuan apresiasi
dan kemampuan memiliki sikap dan nilai. Di dalam hal tersebut tercakup masalah
penerimaan, pemberian tanggapan dan penilaian. Di samping dalam mengapresiasi,
seseorang harus memiliki tata nilai dalam meresapi, merespons, dan menilai
karya sastra; karena itu memungkinkan timbulnya pembaca yang apresiatif dan tidak apresiatif.
Manusia, Sastra dan pendidikan
HLB. Moody dalam
bukunya The Teaching of Literature, ialah telah diyakininya bahwa studi
sastra benar-benar telah dijamin dapat memberikan andil yang sangat penting
dalam masyarakat maju yang dihadapkan kepada problem-problem nyata dan keras.
(Moody, 1971: 6).
Pernyataan tersebut
mengandung pengertian bahwa sastra benar-benar memberikan manfaat bagi
kehidupan manusia, sastra tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia.
Salah satu masalah
pelik yang kita hadapi dalam usaha penbangunan bangsa kita dewasa ini adalah
pembinaan mental. Hal dimaksud adalah usaha peningkatan kesanggupan ruhaniah
untuk menghayati segala segi kehidupan dan tata nilai yang berlaku dalam
masyarakat dengan tujuan mencapai
kebahagiaan hidup yang sebenarnya baik di dunia maupun akhirat. Salah satu
sarana yang mudah untuk memperdalam pembinaan mental dan keimanan seseorang
adalah penghayatan sastra. Sastra memberikan pengertian yang dalam tentang
manusia dan memeberikan interpretasi serta penilaian terhadap peristiwa-peristiwa
dalam kehidupan ini (Sa'ad, 1975: 591-592).
Normand Podhoretz,
mengatakan bahwa sastra dapat memberi pengaruh yang sangat besar terhadap cara
berfikir seseorang mengenai hidup, mengenai baik buruk, mengenai benar salah,
mengenai cara hidup sendiri serta bangsanya (Suharianto, 1976: 8). Sastra
merangsang kita untuk lebih memahami, menghayati kehidupan, sastra bukan
merumuskan dan mengabstraksikan kehidupan kepada kita tetapi menampilkannya
(Hutagalung, 1976: 37).
Sastra sebagai
pengungkapan apa yang telah disaksikan, dialami, dan yang paling menarik minat
secara langsung kemudian direnungkan dan dirasakan seseorang mengenai
aspek-aspek kehidupan pada hakikatnya adalah suatu pengungkapan kehidupan lewat
bentuk bahasa (Hardjana, 1985: 10).
Jika pengertian ini
bisa diterima dapatlah dikatakan bahwa yang mendorong lahirnya sastra adalah
keinginan dasar manusia untuk mengungkapkan diri dan menaruh minat pada sesama
manusia, baik pada dunia realitas maupun dunia imajinasi. Sastra lahir karena
dorongan-dorongan asasi yang sesuai dengan kodratnya sebagai manusia. Karena
itu, sastra meskipun secara harfiah berarti "huruf-huruf" yang tidak
hanya meliputi karya tertulis tetapi juga "karya" tidak tertulis yang
dihasilkan oleh seseorang atau sekelompok orang yang belum mengenal sistem
huruf. Dan itulah yang disebut sastra lisan. Karena sastra lisan ini beredar
dalam masyarakat secara turun temurun maka sukar diketahui secara pasti siapa
yang menjadi sumber karya itu. Pada sisi lain yang penting disadari bahwa masyarakat
dahulu tidak begitu mementingkan pribadi dan mereka cenderung untuk menganggap
semua karya sastra yang hidup ditengah-tengah masyarakat sebagai milik bersama.
Dalam sastra lisan
dapat terjadi perubahan versi. Perubahan versi ini agar dapat lebih sesuai
dengan nafas dan tuntutan zaman yang terus menerus mengalami perubahan sehingga
sehingga pada akhirnya dapat tumbuh dalam berabagai macam syii'r (syair)
atau cerita lisan. Masyarakat bersama-sama mengubah dan memperbaharui sastra;
menjadi penyair atau penutur cerita dan pembuat tanggapan secara bersama pula.
Mereka bersepakat untuk meninggalkan bagian-bagian sastra tradisional yang
dirasakan sudah tidak sesuai lagi dan menggantinya dengan pola baru.
Dalam sastra
tertulis perubahan, pembaharuan dan tanggapan secara bersama-sama pun tidak
dibenarkan. Penulis tampil bersama hasil karya sebagaimana dia menciptanya.
Satu hal penting diketahui bahwa hasil karya sastra menemukan bentuknya yang
tetap (konstan) dan tidak dapat diubah ataupun diperbaharui siapapun. Dengan
demikian, karya tersebut hidup mengatasi lingkungan dan zaman penulisannya.
Pemilik dari karya
sastra adalah sastrawan, sastrawan sesuai dengan sifatnya, memiliki rasa halus,
hati yang bersih dan akal yang jernih. Karya sastra merupakan gambaran atau
cermin keadaan masyarakat, bahkan merupakan cermin jiwa dan pribadi sastrawan
pencipta karya itu sendiri. Maka dengan membaca hasil karya sastra, seseorang
akan mengenal siapa sastrawan tersebut. Sebagaimana yang disebutkan oleh
Hasymi: "apabila karya sastra itu mengajak ke jalan yang benar, dan
menegakkan amal shalih melalui tokoh-tokohnya, maka hal ini berarti mereka
menganut ajaran bahwa segala sesuatu dari Allah, untuk Allah, dan karena Allah.
Sedangkan bila sastrawan itu mempunyai tujuan lain dan melepaskan diri dari
ajaran agama, maka karya-karya sastranya mengandung ajaran seni untuk seni atau
sastra untuk sastra (l'art pour l'art).
Bagi bangsa kita
yang sementara ini sedang dilanda penyakit multidimensional yang sulit
terobati, nampaknya akan lebih bijak bagi setiap pengajar atau guru yang
memegang mata pelajaran tentang pengajaran sastra Indonesia, mengarahkan serta
membimbing para siswa/inya ke arah sastra religi, dimana bahan intinya
tidak lepas dari nilai-nilai pesan moral kepada si pembaca ataupun pelaku
sastra itu sendiri (siswa atau masyarakat yang memiliki atensi kuat terhadap
dunia sastra).
Proses Apresiasi
Sastra,
Proses
apresiasi dalam kaitannya dengan tujuan pengajaran dapat dibagi menjadi empat
tingkatan, yaitu tingkat menggemari, tingkat menikmati, tigkat mereaksi, dan
tingkat menghasilkan (Wardani, 1981, 1-2).
Tingkat menggemari, ditandai oleh
adanya rasa tertarik terhadap karya sastra serta berkeinginan membacanya. Pada
saat membaca seseorang mengalami pengalaman yang ada dalam sebuah karya. Ia
terlibat secara intelektual, emosional dan imajinatif dengan karya itu. Dalam
perstiwa semacam itu, pikiran perasaan, dan daya imaji seseorang melakukan
penjelajahan sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pengarang. Kemampuan
mendalami pengalaman pengarang yang tertuang dalam karya sastra dapat
menimbulkan rasa nikmat (ladzah 'aqliyah).
Tingkat menikmati, seseorang mulai
dapat menikmati karya sastra karena pengertian sudah mulai tumbuh, dengan
mengenal, memahami, merasakan dan mengambil makna pengalaman orang lain yang
dicapai dalam tingkat menggemari, seseorang akan bertambah pula pengalamannya,
sehingga ia dapat menjadi lebih baik dalam menghadapi kehidupannya sendiri.
Kepuasan juga timbul dari kekaguman terhadap kemampuan penyair dalam mengkonsentrasikan
dan menginterpretasikan pengalamannya dalam wujud kata, dan dalam wujud bahasa sebagai medianya. Kepuasaan inilah
yang disebut sebagai kenikmatan puitik (ladzah syi'riyah).
Tingkat mereaksi, ditandai oleh
adanya keinginan untuk menyatakan pendapatnya tentang karya sastra yang telah
dinikmatinya. Di tingkat ini daya intelektual mulai bekerja lebih giat.
Seseorang mulai bertanya pada dirinya sendiri – sebelum mengungkapkannya kepada
orang lain – tentang makna pengalaman yang didapatnya dari karya sastra itu.
Kemudian melahirkan beberapa pertanyaan esoteris dari hasil karya tersebut,
sehingga menimbulkan rasa keingin tahuan lebih dalam lagi, sehingga lahirlah nalar yang kritis.
Tingkatan
produktif,
bahwa seseorang sudah mukai mampu menghasilkan karya sastra, karya yang
dihasilkannya tentu saja walaupun baru awal akan berguna bagi perkembangan
sastra itu sendiri, baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.
Jadi, secara garis
besar apresiasi sastra dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu pembinaan secara
langsung, dan pembinaan secara tak langsung. Adapun pembinaan yang langsung,
yaitu pembinaan pengalaman sastra anak, yang berupa pengalaman sastra yang
dapat diusahakan dengan cara membaca sungguh-sungguh sejumlah puisi yang sudah
ditentukan, dan pengalaman ekspresi anak yang dapat diusahakan dengan cara
menulis atau mencipta. Sedangkan kegiatan yang tidak langsung atau yang
bersifat penunjang yaitu pembinaan pengetahuan anak, seperti mempelajari
sebanyak-banyaknya tentang teori, sejarah dan kritik sastra.
Sebuah karya sastra
baru menjadi 'sastra' setelah dimasyarakatkan. Karena sastra merupakan produk
masyarakat. Ia berada di tengah masyarakat karena dibentuk oleh anggota-anggota
masyarakat berdasarkan emosional dan rasional
masyarakat. Sastra memang diciptakan oleh senimannya sebagai suatu yang
diperuntukkan kepada orang lain, di samping untuk diri seniman itu sendiri.
Oleh karena itu ia adalah makhluk sosial (Sumarjo, 1979).
Langkah-langkah
sederhana untuk meningkatkan proses apresiasi sastra terhadap para siswa antara
lain:
a. membaca
tulisan-tulisan mengenai sastra;
b. mengumpulkan
tulisan-tulisan (klipping) atau buku-buku yang membicarakan sastra;
c. mengikuti
perlombaan-perlombaan yang berhubungan dengan sastra;
d. menyaksikan
pementasan drama, atau pembacaan puisi;
e. latihan
membuat karya-karya sastra atau menjadi
pelaku dan pemain dari kegiatan sastra.
Pada saat sekarang
dunia sastra telah mulai luntur dan kurang diminati oleh para siswa maupun
mahasiswa, maka tidak ada pilihan lain dalam pengajaran sastra, bimbingan
apresiasilah yang harus didahulukan daripada memberikan pengetahuan tentang
sastra. Karena dengan mendahulukan bimbingan apresiasi banyak keuntungan yang
dapat diperoleh, antara lain:
a. pengajaran
sastra tidak menyimpang dari aslinya;
b. aspek
pengetahuan sastra tidak terabaikan;
c. subjek
didik dapat memetik nilai-nilai dari karya sastra yang dibacannya;
d. pengetahuan
sastra subjek didik akan makin kaya;
e. pengetahuan
subjek didik mengenai hasil budaya bangsanya makin banyak;
f.
kecintaan subjek didik terhadap
hasil-hasil karya bangsanya makin tebal, dan kemampuan berbahasa subjek didik
akan meningkat.