Selasa, 20 Agustus 2019

Pengajaran Sastra; Sebuah Tawaran Apresiatif


Saat ini masyarakat kita sedang membangun di segala bidang, terutama dalam dunia pendidikan. Masyarakat maju akan senantiasa menuntut berbagai macam  kebutuhan. Kebutuhan-kebutuhan yang dituntut pada hakikatnya didasarkan dua jenis perkembangan, yaitu perkembangan individu dan perkembangan kelompok (Moody, 1971).

Sehubungan dengan masalah tersebut pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting, termasuk di dalamnya adalah pendidikan/pengajaran sastra. Selain fungsinya sebagai penunjang mata pelajaran yang lain sehingga pendidikan benar-benar merupakan suatu kebulatan dalam memajukan individu secara harmonis, menjadi a fully functioning person (Amien. 1980)

Pengajaran sastra juga mempunyai fungsi ideologis, fungsi kultural dan fungsi praktis. (Sarwadi, 1971). Fungsi ideologis, merupakan fungsi utama yaitu sebagai salah satu sarana untuk membentuk karakter dan keilmuan seseorang yang paripurna. Fungsi kultural, pengajaran sastra adalah memindahkan kebudayaan milik suatu generasi kepada generasi berikutnya. Sastra sebagai suatu materi kebudayaan diajarkan agar dapat di dimiliki dan dikembangkan oleh generasi berikutnya. Oleh karena itu pelaksanaan pengajaran sastra hendaknya tidak bersifat pasif verbalistis, akan tetapi dinamis kreatif. Fungsi praktis, mencakup pengertian bahwa pengajaran sastra mempunyai fungsi membekali bahan-bahan yang mungkin berguna untuk melanjutkan studi ataupun bekal terjun di tengah kancah masyarakat.

Pengajaran sastra saat ini seharusnya difokuskan pada upaya untuk memiliki kemampuan apresiasi dan kemampuan memiliki sikap dan nilai. Di dalam hal tersebut tercakup masalah penerimaan, pemberian tanggapan dan penilaian. Di samping dalam mengapresiasi, seseorang harus memiliki tata nilai dalam meresapi, merespons, dan menilai karya sastra; karena itu memungkinkan timbulnya pembaca yang apresiatif  dan tidak apresiatif.

 

Manusia, Sastra dan pendidikan

HLB. Moody dalam bukunya The Teaching of Literature, ialah telah diyakininya bahwa studi sastra benar-benar telah dijamin dapat memberikan andil yang sangat penting dalam masyarakat maju yang dihadapkan kepada problem-problem nyata dan keras. (Moody, 1971: 6).

Pernyataan tersebut mengandung pengertian bahwa sastra benar-benar memberikan manfaat bagi kehidupan manusia, sastra tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia.

Salah satu masalah pelik yang kita hadapi dalam usaha penbangunan bangsa kita dewasa ini adalah pembinaan mental. Hal dimaksud adalah usaha peningkatan kesanggupan ruhaniah untuk menghayati segala segi kehidupan dan tata nilai yang berlaku dalam masyarakat  dengan tujuan mencapai kebahagiaan hidup yang sebenarnya baik di dunia maupun akhirat. Salah satu sarana yang mudah untuk memperdalam pembinaan mental dan keimanan seseorang adalah penghayatan sastra. Sastra memberikan pengertian yang dalam tentang manusia dan memeberikan interpretasi serta penilaian terhadap peristiwa-peristiwa dalam kehidupan ini (Sa'ad, 1975: 591-592).

Normand Podhoretz, mengatakan bahwa sastra dapat memberi pengaruh yang sangat besar terhadap cara berfikir seseorang mengenai hidup, mengenai baik buruk, mengenai benar salah, mengenai cara hidup sendiri serta bangsanya (Suharianto, 1976: 8). Sastra merangsang kita untuk lebih memahami, menghayati kehidupan, sastra bukan merumuskan dan mengabstraksikan kehidupan kepada kita tetapi menampilkannya (Hutagalung, 1976: 37).

Sastra sebagai pengungkapan apa yang telah disaksikan, dialami, dan yang paling menarik minat secara langsung kemudian direnungkan dan dirasakan seseorang mengenai aspek-aspek kehidupan pada hakikatnya adalah suatu pengungkapan kehidupan lewat bentuk bahasa (Hardjana, 1985: 10).

Jika pengertian ini bisa diterima dapatlah dikatakan bahwa yang mendorong lahirnya sastra adalah keinginan dasar manusia untuk mengungkapkan diri dan menaruh minat pada sesama manusia, baik pada dunia realitas maupun dunia imajinasi. Sastra lahir karena dorongan-dorongan asasi yang sesuai dengan kodratnya sebagai manusia. Karena itu, sastra meskipun secara harfiah berarti "huruf-huruf" yang tidak hanya meliputi karya tertulis tetapi juga "karya" tidak tertulis yang dihasilkan oleh seseorang atau sekelompok orang yang belum mengenal sistem huruf. Dan itulah yang disebut sastra lisan. Karena sastra lisan ini beredar dalam masyarakat secara turun temurun maka sukar diketahui secara pasti siapa yang menjadi sumber karya itu. Pada sisi lain yang penting disadari bahwa masyarakat dahulu tidak begitu mementingkan pribadi dan mereka cenderung untuk menganggap semua karya sastra yang hidup ditengah-tengah masyarakat sebagai milik bersama.

Dalam sastra lisan dapat terjadi perubahan versi. Perubahan versi ini agar dapat lebih sesuai dengan nafas dan tuntutan zaman yang terus menerus mengalami perubahan sehingga sehingga pada akhirnya dapat tumbuh dalam berabagai macam syii'r (syair) atau cerita lisan. Masyarakat bersama-sama mengubah dan memperbaharui sastra; menjadi penyair atau penutur cerita dan pembuat tanggapan secara bersama pula. Mereka bersepakat untuk meninggalkan bagian-bagian sastra tradisional yang dirasakan sudah tidak sesuai lagi dan menggantinya dengan pola baru.

Dalam sastra tertulis perubahan, pembaharuan dan tanggapan secara bersama-sama pun tidak dibenarkan. Penulis tampil bersama hasil karya sebagaimana dia menciptanya. Satu hal penting diketahui bahwa hasil karya sastra menemukan bentuknya yang tetap (konstan) dan tidak dapat diubah ataupun diperbaharui siapapun. Dengan demikian, karya tersebut hidup mengatasi lingkungan dan zaman penulisannya.

Pemilik dari karya sastra adalah sastrawan, sastrawan sesuai dengan sifatnya, memiliki rasa halus, hati yang bersih dan akal yang jernih. Karya sastra merupakan gambaran atau cermin keadaan masyarakat, bahkan merupakan cermin jiwa dan pribadi sastrawan pencipta karya itu sendiri. Maka dengan membaca hasil karya sastra, seseorang akan mengenal siapa sastrawan tersebut. Sebagaimana yang disebutkan oleh Hasymi: "apabila karya sastra itu mengajak ke jalan yang benar, dan menegakkan amal shalih melalui tokoh-tokohnya, maka hal ini berarti mereka menganut ajaran bahwa segala sesuatu dari Allah, untuk Allah, dan karena Allah. Sedangkan bila sastrawan itu mempunyai tujuan lain dan melepaskan diri dari ajaran agama, maka karya-karya sastranya mengandung ajaran seni untuk seni atau sastra untuk sastra (l'art pour l'art).

Bagi bangsa kita yang sementara ini sedang dilanda penyakit multidimensional yang sulit terobati, nampaknya akan lebih bijak bagi setiap pengajar atau guru yang memegang mata pelajaran tentang pengajaran sastra Indonesia, mengarahkan serta membimbing para siswa/inya ke arah sastra religi, dimana bahan intinya tidak lepas dari nilai-nilai pesan moral kepada si pembaca ataupun pelaku sastra itu sendiri (siswa atau masyarakat yang memiliki atensi kuat terhadap dunia sastra).

Proses Apresiasi Sastra, Proses apresiasi dalam kaitannya dengan tujuan pengajaran dapat dibagi menjadi empat tingkatan, yaitu tingkat menggemari, tingkat menikmati, tigkat mereaksi, dan tingkat menghasilkan (Wardani, 1981, 1-2).

 Tingkat menggemari, ditandai oleh adanya rasa tertarik terhadap karya sastra serta berkeinginan membacanya. Pada saat membaca seseorang mengalami pengalaman yang ada dalam sebuah karya. Ia terlibat secara intelektual, emosional dan imajinatif dengan karya itu. Dalam perstiwa semacam itu, pikiran perasaan, dan daya imaji seseorang melakukan penjelajahan sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pengarang. Kemampuan mendalami pengalaman pengarang yang tertuang dalam karya sastra dapat menimbulkan rasa nikmat (ladzah 'aqliyah).

Tingkat  menikmati, seseorang mulai dapat menikmati karya sastra karena pengertian sudah mulai tumbuh, dengan mengenal, memahami, merasakan dan mengambil makna pengalaman orang lain yang dicapai dalam tingkat menggemari, seseorang akan bertambah pula pengalamannya, sehingga ia dapat menjadi lebih baik dalam menghadapi kehidupannya sendiri. Kepuasan juga timbul dari kekaguman terhadap kemampuan penyair dalam mengkonsentrasikan dan menginterpretasikan pengalamannya dalam wujud kata, dan dalam wujud  bahasa sebagai medianya. Kepuasaan inilah yang disebut sebagai kenikmatan puitik (ladzah syi'riyah).

Tingkat mereaksi, ditandai oleh adanya keinginan untuk menyatakan pendapatnya tentang karya sastra yang telah dinikmatinya. Di tingkat ini daya intelektual mulai bekerja lebih giat. Seseorang mulai bertanya pada dirinya sendiri – sebelum mengungkapkannya kepada orang lain – tentang makna pengalaman yang didapatnya dari karya sastra itu. Kemudian melahirkan beberapa pertanyaan esoteris dari hasil karya tersebut, sehingga menimbulkan rasa keingin tahuan lebih dalam lagi, sehingga  lahirlah nalar yang kritis.

Tingkatan produktif, bahwa seseorang sudah mukai mampu menghasilkan karya sastra, karya yang dihasilkannya tentu saja walaupun baru awal akan berguna bagi perkembangan sastra itu sendiri, baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.

Jadi, secara garis besar apresiasi sastra dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu pembinaan secara langsung, dan pembinaan secara tak langsung. Adapun pembinaan yang langsung, yaitu pembinaan pengalaman sastra anak, yang berupa pengalaman sastra yang dapat diusahakan dengan cara membaca sungguh-sungguh sejumlah puisi yang sudah ditentukan, dan pengalaman ekspresi anak yang dapat diusahakan dengan cara menulis atau mencipta. Sedangkan kegiatan yang tidak langsung atau yang bersifat penunjang yaitu pembinaan pengetahuan anak, seperti mempelajari sebanyak-banyaknya tentang teori, sejarah dan kritik sastra.

Sebuah karya sastra baru menjadi 'sastra' setelah dimasyarakatkan. Karena sastra merupakan produk masyarakat. Ia berada di tengah masyarakat karena dibentuk oleh anggota-anggota masyarakat  berdasarkan emosional dan rasional masyarakat. Sastra memang diciptakan oleh senimannya sebagai suatu yang diperuntukkan kepada orang lain, di samping untuk diri seniman itu sendiri. Oleh karena itu ia adalah makhluk sosial (Sumarjo, 1979).

Langkah-langkah sederhana untuk meningkatkan proses apresiasi sastra terhadap para siswa antara lain:

a.      membaca tulisan-tulisan mengenai sastra;

b.      mengumpulkan tulisan-tulisan (klipping) atau buku-buku yang membicarakan sastra;

c.       mengikuti perlombaan-perlombaan yang berhubungan dengan sastra;

d.      menyaksikan pementasan drama, atau pembacaan puisi;

e.      latihan membuat karya-karya sastra atau  menjadi pelaku dan pemain dari kegiatan sastra.

Pada saat sekarang dunia sastra telah mulai luntur dan kurang diminati oleh para siswa maupun mahasiswa, maka tidak ada pilihan lain dalam pengajaran sastra, bimbingan apresiasilah yang harus didahulukan daripada memberikan pengetahuan tentang sastra. Karena dengan mendahulukan bimbingan apresiasi banyak keuntungan yang dapat diperoleh, antara lain:

a.      pengajaran sastra tidak menyimpang dari aslinya;

b.      aspek pengetahuan sastra tidak terabaikan;

c.       subjek didik dapat memetik nilai-nilai dari karya sastra yang dibacannya;

d.      pengetahuan sastra subjek didik akan makin kaya;

e.      pengetahuan subjek didik mengenai hasil budaya bangsanya makin banyak;

f.        kecintaan subjek didik terhadap hasil-hasil karya bangsanya makin tebal, dan kemampuan berbahasa subjek didik akan meningkat.

Purnakata, penulis menyadari, apa yang penulis sampaikan di atas hanyalah salah satu kemungkinan dari beberapa kemungkinan yang ada dalam pengajaran sastra secara apresiatif. Oleh karena itu, tepat kiranya apabila uraian ini dipandang sekedar sebagai alat untuk memkbangkitkan persoalan, dan tidak layak bila dipandang sebagai usaha pemecahan persoalan. Wallahu a'lam bishshawab!

Jujur

  J u j u r   Wajib bagi kamu yang berlaku benar, karena sesungguhnya kebenaran itu membawa kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke ...