Senin, 22 Februari 2021

Menolong Allah


Ungkapan “menolong Allah” (atau “membantu Allah”) tentu saja terdengar ganjil di telinga kebanyakan orang. Sebab bagaimana mungkin kita sebagai manusia bisa menolong Allah, padahal Dia-lah Tuhan Yang Maha Kuasa? Bukankah dalam do’a-do’a justru kita yang memohon pertolongan kepada-Nya? Bukankah kita diciptakan oleh Allah? Bukankan Allah swt. tidak membutuhkan pertolongan mahluknya?

Dalam firman Allah swt. (al-Qur'an), ungkapan “menolong Allah” dapat kita baca:

“Wahai sekalian orang-orang yang beriman, jika kamu menolong Allah, maka Dia akan menolong kamu dan akan mengukuhkan pijakan-pijakan” (Q.S. Muhammad; 7).

Makna ayat di atas, bahwasanya, manusia diharapkan dapat menolong Allah, dengan balasan bahwa Allah akan menolong kita dan mengukuhkan posisi kita. Artinya di sini adanya timbal balik antara perilaku manusia dengan kasih sayang dari Allah swt. Namun demikian, tentu saja pertanyaan selanjutnya ialah, apa dan bagaimana yang dimaksud dengan “menolong Allah” itu.

Dalam konteks firman tersebut, yang dimaksud dengan “menolong Allah” itu ialah berusaha dengan penuh kesungguhan untuk melaksanakan ajaran-ajaran-Nya, sebagai bagian dari iman atau sikap manusia menerima dan mempercayai kemudian menjalankan segala apa yang telah digariskan dalam ajaran agama itu sendiri. Dan yang dimaksud bahwa "Allah menolong" kita bahwa Dia akan membuat usaha kita melaksanakan perintah agama itu mudah dan lancar, dengan dampak kebaikan yang nyata dalam hidup kita. Hal ini membawa akibat adanya sikap percaya diri dan teguh pendirian dalam hidup, yakni bahwasanya Allah akan meneguhkan pijakan-pijakan kita. Balasan kebaikan karena “menolong Allah” itu dikontraskan dengan balasan keburukan karena menolak kebenaran.

Firman Allah swt. dalam al-Qur'an;

   “Adapun mereka yang menolak (kafir), maka celakalah bagi mereka, dan Allah akan menghapus amal perbuatan mereka. Hal itu demikian karena mereka benci kepada ajaran yang diturunkan Allah (al-Qur'an), maka Dia menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka” (Q.S. Muhammad; 8-9)

Tentang mengapa ungkapan “menolong Allah” digunakan, secara sederhana dapat dibuat keterangan linear; Pertama, Allah menurunkan ajaran kepada umat manusia demi kebahagiaan mereka baik di dunia ataupun di akherat, Kedua, dengan sendirinya Allah “ingin” ajaran itu dilaksanakan; tapi, Ketiga, hal itu terserah manusia, apakah mereka mau menerima  atau tidak.

Firman Allah swt dalam al-Qur'an;

"Dan katakan bahwa kebenaran itu datang dari Tuhanmu, barang siapa yang ingin beriman, berimanlah dan barang siapa yang ingin kafir, berkafirlah. (Q.S. Al-Kahfi: 29).

Dalam konteks ini, manusia memiliki otoritas yang penuh untuk menentukan pilihannya sendiri. Sehingga manusia tidak boleh berharap kepada Allah akan “turun” melaksanakan ajaran-Nya itu untuk manusia, karena manusia mesti berusaha sendiri untuk menentukan nasibnya melalui jalan (syari'at) yang telah diturunkan kepada manusia melalui Rasul-Nya.

Keempat, ajaran Allah itu adalah sesuatu yang alami (fitri, natural). Manusia tidak mampu untuk merekayasanya apalagi membuatnya sendiri.   

Keempat hal di atas, memberi makna bahwa, menjalankan agama yang benar itu bukanlah suatu beban, melainkan kewajaran yang mudah, karena merealisasikan ajaran agama adalah mengikuti ketentuan-ketentuan “alami” dari Allah yang berlaku untuk manusia. Karena, menjalankan agama itu tidak lain berarti mengikuti garis-garis kewajaran manusia sendiri yang telah diatur oleh syari'at, maka salah satu hasilnya ialah munculnya rasa tentram di hati dan mantap dalam jiwa.

Berkenaan dengan ini, ada sebuah anekdot mengenai Malcolm X setelah memeluk agama Islam, dan untuk pertama kali melakukan shalat. Katanya kurang lebih ia mengungkapkan, “Sungguh aneh, aku rasakan kesulitan luar biasa ketika menekuk lututku, padahal menekuk lutut adalah bagian dari anatomi tubuh kita.”

Dalam shalat, kita diajari menekuk lutut (attahiyyat) di hadapan Allah adalah bagian dari rancangan anatomis tubuh kita, yang jika kita ingkari akan menjadi sumber masalah bagi kita sendiri.

   Oleh karena itu shalatlah sebelum kita dishalatkan orang (mati), shalat yang baik adalah bersatunya hati dan apa yang menjadi bacaan dalam shalat itu, lalu direfleksikan dalam gerak anatomi tubuh kita secara konstan, tumaninah/khusyu’. Sedangkan khusyu’ tempatnya di hati. Karena yang paling menakjubkan dalam diri manusia adalah hatinya, karena ia merupakan sumber hikmah sekaligus lawannya.

Tuntutan yang harus dicapai dalam shalat adalah lahirnya perilaku manusia dalam kehidupan sehari-harinya yang memiliki nilai-nilai hakiki dari shalat itu sendiri. Amalan shalih, menjauhi kemunkaran dan merefleksikan ajaran agama, adalah tujuan dari shalat. Karena dengan shalat itulah sebagai pembeda antara orang yang mukmin atau kafir.

Sebagai komulatif perilaku manusia menjalankan syari'at, ia akan menemukan tujuan kehidupan yang sebenarnya. Tujuan hidup ini tiada lain adalah mengharap keridhaan Allah swt. dari segala apa yang kita perbuat, sehingga kita bisa disejajarkan dengan orang-orang yang terdahulu, yakni orang-orang yang diridhai oleh Allah swt.

Dalam hal ini, manusia telah berusaha "menolong" segala apa yang telah diturunkan Allah (agama), untuk direfleksikan dalam kehidupannya. Ketika manusia itu telah sepenuh hati merefleksikan ajaran agama, tentunya Allah swt. akan "menolong" manusia dengan rahmat-Nya. Dan tentunya, manusia tersebut akan berada pada posisi sebagai orang-orang yang mendapat kemenangan dari Allah swt. berupa pahala, rahmat dan terhindar dari segala yang dapat merugikan dirinya.

Di sisi lain, sikap dan perilaku manusia yang apatis dan enggan untuk "menolong" agama Allah swt. dapat tercermin dalam sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Ia akan lahir sebagai manusia yang keras harinya. Jika timbul harapan, ketamakan akan menundukkannya. Jika ketamakan telah berkobar, ia akan dibinasakan oleh kekikiran. Jika ia telah dikuasai oleh keputusasaan, penyesalan akan membunuhnya. Jika ditimpa kemarahan, menjadi-jadilah kemarahannya. Jika sedang puas (berhasil) ia lupa menjaganya. Jika dilanda ketakutan, dia disibukkan oleh kehati-hatian. Jika sedang dalam keadaan lapang (kaya), bangkitlah kesombongannya. Jika mendapatkan harta, kekayaannya menjadikannya berbuat sewenang-wenang. Jika ditimpa kefakiran, ia tenggelam dalam kesusahan. Jika laparnya menguat, kelemahan menjadikannya tidak mampu berdiri tegak. Dan jika terlampau kenyang, perutnya akan mengganggu kenyamanannya. Sesungguhnya setiap kekurangan akan membahayakan, dan setiap hal yang  melampaui batas akan merusak dan membinasakan dirinya.

Sebagai penutup tulisan ini, marilah kita bersama untuk lebih mempererat tali pegangan kita terhadap ajaran Allah (agama), sehingga kita tidak lagi dikatakan orang-orang yang lalai, sementara kita banyak berharap untuk mendapat rahmat dan maghfirah Allah swt. Hanya orang-orang yang berimanlah yang mampu "menolong Allah" untuk mendapat "pertolongan Allah" dalam hidupnya. Insya Allah

Jujur

  J u j u r   Wajib bagi kamu yang berlaku benar, karena sesungguhnya kebenaran itu membawa kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke ...