Ungkapan “menolong Allah” (atau “membantu Allah”) tentu saja
terdengar ganjil di telinga kebanyakan orang. Sebab bagaimana mungkin kita sebagai manusia bisa
menolong Allah, padahal Dia-lah Tuhan Yang Maha Kuasa?
Bukankah dalam do’a-do’a justru kita yang memohon pertolongan kepada-Nya? Bukankah kita
diciptakan oleh Allah? Bukankan Allah swt. tidak membutuhkan pertolongan
mahluknya?
Dalam firman Allah swt. (al-Qur'an), ungkapan “menolong
Allah” dapat kita baca:
“Wahai sekalian
orang-orang yang beriman, jika kamu menolong Allah, maka Dia akan menolong kamu
dan akan mengukuhkan pijakan-pijakan” (Q.S. Muhammad; 7).
Makna ayat di atas,
bahwasanya, manusia diharapkan dapat menolong Allah, dengan balasan bahwa Allah akan menolong kita dan
mengukuhkan posisi kita.
Artinya di sini adanya timbal balik antara perilaku manusia dengan kasih sayang
dari Allah swt. Namun demikian, tentu saja pertanyaan
selanjutnya ialah, apa dan bagaimana yang dimaksud dengan “menolong Allah” itu.
Dalam konteks firman tersebut, yang dimaksud dengan “menolong Allah” itu
ialah berusaha dengan penuh kesungguhan untuk melaksanakan ajaran-ajaran-Nya,
sebagai bagian dari iman atau sikap manusia menerima dan
mempercayai kemudian menjalankan segala apa yang telah
digariskan dalam ajaran agama itu sendiri. Dan yang
dimaksud bahwa "Allah menolong" kita bahwa Dia akan membuat usaha
kita melaksanakan perintah agama itu mudah dan lancar, dengan dampak kebaikan
yang nyata dalam hidup kita. Hal ini membawa akibat adanya sikap percaya diri
dan teguh pendirian dalam hidup, yakni bahwasanya Allah akan
meneguhkan pijakan-pijakan kita. Balasan kebaikan karena “menolong Allah” itu
dikontraskan dengan balasan keburukan
karena menolak kebenaran.
Firman Allah swt.
dalam al-Qur'an;
“Adapun
mereka yang menolak (kafir), maka celakalah bagi mereka, dan Allah akan
menghapus amal perbuatan mereka. Hal itu demikian karena mereka benci kepada
ajaran yang diturunkan Allah (al-Qur'an), maka Dia menghapuskan (pahala-pahala)
amal-amal mereka” (Q.S. Muhammad; 8-9)
Tentang mengapa ungkapan “menolong Allah” digunakan, secara sederhana dapat
dibuat keterangan linear; Pertama, Allah menurunkan ajaran kepada umat
manusia demi kebahagiaan mereka baik di dunia ataupun di akherat, Kedua,
dengan sendirinya Allah “ingin” ajaran itu dilaksanakan; tapi, Ketiga,
hal itu terserah manusia, apakah mereka mau menerima atau tidak.
Firman Allah swt
dalam al-Qur'an;
"Dan katakan
bahwa kebenaran itu datang dari Tuhanmu, barang siapa yang ingin beriman,
berimanlah dan barang siapa yang ingin kafir, berkafirlah. (Q.S.
Al-Kahfi: 29).
Dalam konteks ini,
manusia memiliki otoritas yang penuh untuk menentukan pilihannya sendiri. Sehingga manusia tidak boleh berharap kepada Allah akan “turun” melaksanakan ajaran-Nya itu untuk manusia, karena manusia mesti berusaha sendiri untuk menentukan nasibnya melalui jalan (syari'at)
yang telah diturunkan kepada manusia melalui Rasul-Nya.
Keempat, ajaran Allah itu adalah sesuatu yang alami (fitri, natural).
Manusia tidak mampu untuk merekayasanya apalagi membuatnya sendiri.
Keempat hal di atas, memberi makna bahwa, menjalankan agama yang benar itu
bukanlah suatu beban, melainkan kewajaran yang mudah, karena merealisasikan
ajaran agama adalah mengikuti ketentuan-ketentuan “alami” dari Allah yang
berlaku untuk manusia. Karena, menjalankan agama itu
tidak lain berarti mengikuti garis-garis kewajaran manusia sendiri yang telah diatur
oleh syari'at, maka salah satu hasilnya ialah munculnya rasa tentram
di hati dan mantap dalam jiwa.
Berkenaan dengan ini, ada sebuah anekdot mengenai Malcolm X setelah memeluk agama Islam, dan
untuk pertama kali melakukan shalat. Katanya kurang lebih ia mengungkapkan,
“Sungguh aneh, aku rasakan kesulitan luar biasa ketika menekuk lututku, padahal
menekuk lutut adalah bagian dari anatomi tubuh kita.”
Dalam shalat, kita diajari menekuk lutut (attahiyyat) di hadapan Allah adalah
bagian dari rancangan anatomis tubuh kita, yang jika kita ingkari akan menjadi
sumber masalah bagi kita sendiri.
Oleh karena itu shalatlah sebelum
kita dishalatkan orang (mati), shalat yang baik adalah bersatunya hati dan apa
yang menjadi bacaan dalam shalat itu, lalu direfleksikan dalam gerak anatomi
tubuh kita secara konstan, tumaninah/khusyu’. Sedangkan khusyu’ tempatnya di
hati. Karena yang paling menakjubkan dalam diri manusia adalah hatinya, karena
ia merupakan sumber hikmah sekaligus lawannya.
Tuntutan yang harus
dicapai dalam shalat adalah lahirnya perilaku manusia dalam kehidupan sehari-harinya
yang memiliki nilai-nilai hakiki dari shalat itu sendiri. Amalan shalih,
menjauhi kemunkaran dan merefleksikan ajaran agama, adalah tujuan dari shalat.
Karena dengan shalat itulah sebagai pembeda antara orang yang mukmin atau
kafir.
Sebagai komulatif
perilaku manusia menjalankan syari'at, ia akan menemukan tujuan kehidupan yang
sebenarnya. Tujuan hidup ini tiada lain adalah mengharap keridhaan Allah swt.
dari segala apa yang kita perbuat, sehingga kita bisa disejajarkan dengan
orang-orang yang terdahulu, yakni orang-orang yang diridhai oleh Allah swt.
Dalam hal ini,
manusia telah berusaha "menolong" segala apa yang telah diturunkan
Allah (agama), untuk direfleksikan dalam kehidupannya. Ketika manusia itu telah
sepenuh hati merefleksikan ajaran agama, tentunya Allah swt. akan
"menolong" manusia dengan rahmat-Nya. Dan tentunya, manusia tersebut
akan berada pada posisi sebagai orang-orang yang mendapat kemenangan dari Allah
swt. berupa pahala, rahmat dan terhindar dari segala yang dapat merugikan
dirinya.
Di sisi lain, sikap
dan perilaku manusia yang apatis dan enggan untuk "menolong" agama
Allah swt. dapat tercermin dalam sikap dan perilakunya dalam kehidupan
sehari-hari. Ia akan lahir sebagai manusia yang keras harinya. Jika timbul harapan, ketamakan akan menundukkannya. Jika ketamakan telah
berkobar, ia akan dibinasakan oleh kekikiran. Jika ia telah dikuasai oleh
keputusasaan, penyesalan akan membunuhnya. Jika ditimpa kemarahan,
menjadi-jadilah kemarahannya. Jika sedang puas (berhasil) ia lupa menjaganya.
Jika
dilanda ketakutan, dia disibukkan oleh kehati-hatian.
Jika sedang dalam keadaan lapang (kaya), bangkitlah kesombongannya. Jika
mendapatkan harta, kekayaannya menjadikannya berbuat sewenang-wenang. Jika
ditimpa kefakiran, ia tenggelam dalam kesusahan. Jika laparnya menguat,
kelemahan menjadikannya tidak mampu berdiri tegak. Dan jika terlampau kenyang,
perutnya akan mengganggu kenyamanannya. Sesungguhnya setiap kekurangan akan
membahayakan, dan setiap hal yang
melampaui batas akan merusak dan membinasakan dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar