Kamis, 24 September 2020

Wawasan Kebangsaan dalam Islam

 

Membangun wawasan kebangsaan dalam masyarakat merupakan jalan untuk membangkitkan rasa mencintai tanah air. Dalam sejarah perjalanan Islam, wawasan kebangsaan mendapat perhatian serius dari Rasulullah Saw. Hal ini terlihat ketika beliau bahu-membahu dengan masyarakat Yatsrib untuk menetapkan konstitusi bersama, yang disebut dengan Piagam Madinah (Watsiqah Madinah, Shahifah Madinah atau Madinah Charter). Maka dengan landasan Piagam Madinah tersebut, masyarakat Madinah yang pluralis itu diikat melalui konsensus-konsensus bersama untuk mewujudkan masyarakat yang berperadaban.

Dari sisi pluralisme, masyarakat Yatsrib memiliki kemiripan dengan masyarakat Indonesia. Keduanya terdiri dari berbagai macam suku dan agama, kalau di Arab semacam klan atau kabilah, suku yang beraneka ragam pula. Bahkan di Indonesia sebagai negeri dengan tingkat heterogenitas tertinggi di dunia tidak hanya terdiri dari pelbagai suku dan agama, melainkan juga bermacam-macam bahasa (lahjah, dialek), adat istiadat, kesenian, budaya dan juga tersebar ribuan pulau. Oleh sebab itu, tantangan terbesar masyarakat Indonesia adalah bagaimana menjadikan keragaman, pluralisme dan heterogenitas masyarakatnya menjadi sebuah bangsa kokoh, maju, toleran dan memiliki jiwa solidaritas yang tinggi serta menjadi terhormat di mata dunia Internasional.

Itulah sebabnya, bahwa tidak ada satupun dari konsep atau nilai-nilai ajaran agama Islam yang bertentangan dengan semangat Wawasan Kebangsaan Indonesia. Ajaran Islam justru mempertebal konsep Wawasan Kebangsaan. Dalam konsepsi kontemporer, faktor perekat  Wawasan Kebangsaan didasarkan pada kesamaan ras dan etnis, wilayah atau pulau, cita-cita atau tekad untuk  bersatu dan memiliki ideologi yang jelas; maka ajaran Islam memperkokohnya dengan faktor-faktor hukum-hukum Ilahiyah, yang menakdirkan suatu masyarakat mendiami suatu wilayah (territory) tertentu di dunia ini.

            Apabila masyarakat kita berhasil  membangun Wawasan Kebangsaan yang kokoh, maka Insya Allah akan lahir apa yang disebut dengan Rasa Kebangsaan, yang tiada lain merupakan sublimasi (filter) dari jiwa, nilai, dan semangat kejuangan'45 yang menyatukan tekad menjadi bangsa yang mandiri, kuat dihormati, disegani di antara bangsa-bangsa di dunia. Kita tidak akan menjadi negara yang mandiri, kuat hebat atau besar, apabila kita secara individu maupun kolektif  tidak merasa memiliki bangsanya sendiri. Sebab rasa kebangsaan adalah suatu perasaan rakyat, masyarakat dan bangsa terhadap kondisi bangsa Indonesia dalam perjalanan hidupnya menuju cita-cita bangsa yaitu masyarakat adil dan makmur, Insya Allah.

            Mengungkap serta menyimak teks-teks yang terdapat dalam Piagam Madinah, kita akan menemukan betapa pentingnya rasa kebangsaan dimiliki oleh setiapindividu suatu komunitas bangsa. Dalam Piagam Madinah disebutkan: "Mereka adalah satu masyarakat yang mandiri, yang berbeda dengan yang lain" (Innahum ummah wahidah min duuni naas). Lalu pada bagian lain disebutkan: : "dan diantara mereka [pihak-pihak yang terikat dalam persetujuan ini], berkewajiban untuk saling membantu melawan penyerangan  terhadap Yatsrib ('ala man hadama Yatsriba, wa inna bainahum an-Nashru).  Kedua kutipan tersebut secara tegas menyatakan betapa pentingnya rasa memiliki terhadap keamanan dan keutuhan bangsa dan negaranya.

Masyarakat madinah pada waktu itu bersedia menempatkan kepentingan bersama (bangsa) di atas kepentingan golongan, ras dan agamanya. Padahal kita mengetahui bahwa masyarakat Madinah pada saat itu terdiri dari berbagai klan, ras, suku dan agama. Jadi, Rasa Kebangsaan kita mesti ditopang oleh kesediaan untuk saling menghormati dan menerima perbedaan sebagai suatu kenyataan.

            Perbedaan dan keragaman – baik yang bersifat alami maupun yang tumbuh karena factor agama, sosial, ekonomi dan politik – adalah suatu kenyataan yang tak bisa terbantahkan. Namun mesti kita sadari bahwa perbedaan, keragaman, atau kemajemukan pada hakikatnya bukanlah sesuatu yang unik dan khusus bagi masyarakat kita. Sebab tidak ada satu masyarakat pun yang sama sekali terbebas dari kemajemukan dan benar-benar tunggal dan uniter. Hal ini juga berakitan dengan ketentuan (takdir)  dari Allah Swt bahwa Allah Swt tidak menghendaki terjadinya susunan monolitik masyarakat manusia, karena diperlukan kompetisi (fastabiqul khairat) yang sehat di antara mereka guna mencapai kebaikan sebanyak-banyaknya.

Bahkan kita tindakan pernah mengenal kata "persatuan" bila tidak ada "perbedaan". Mungkin persatuan umat bisa saja terjadi  dalam keadaan berbeda-beda (unity in diversity), terutama bila masing-masing dari kita bersedia untuk berdialog, bertukar fikiran dan pendapat, bersedia mendengar dan terbuka terhadap orang lain, bersedia menerima kehadiran orang lain, serta memiliki empati tinggi.

Itulah sebabnya kita mesti memiliki kemampuan (malakah) yang memadai untuk "mengelola perbedaan pandangan" atau kalau dalam teori manajemen strategi itu disebut manajemen konflik dengan cara yang wajar namun elegan, sehat dan dinamis, sehingga "berbeda" tidak untuk "berbeda"; melainkan setiap perbedaan tersebut dapat dikelola sebagai faktor dinamika pertumbuhan dan perkembangan masyarakat dalam sebuah kepemimpinan wilayah yang pluralis., jangan sampai kepemimpinan seseorang menjadi "mainan" para mid-manager (mid-man), dikarenakan sang Top-manager terbuai dalam mimpi sang "mid-man" tadi. Jika hal itu terjadi maka tidak berapa lama lagi keutuhan kepemimpinan tersebut akan runtuh ditelan rayap-rayap politik, yang siap menggerogoti singgasana terindah kepemimpinan sang "top-manager" tadi. Lalu anak cucu kita akan mengenang kepemimpinannya sebagai:  "alkisah" atau "dahulu kala" ada seorang raja atau pemimpin yang......dst…dst..!!.

            Republik Indonesia kita tercinta saat ini sudah memasuki usia "dewasa" dengan HUT-nya yang ke-61 tahun, jika dilihat dari sudut pandang psikoanalisis usia tersebut adalah usia yang sangat mapan, produktif, stabil walaupun agak sedikit "berbahaya", bahayanya di usia tersebut seseorang akan menemukan kembali "puber ketiga", agak "ngoboi" kendatipun sudah mulai lemah, letih dan gampang sakit-sakitan. Tapi daya juang dan semangat (maaf) "birahinya" sedang meledak-ledak. Jika disalurkan pada hal-hal yang positif maka akan lahir pulalah produk yang positif, namun, bila ternyata tidak mampu menciptakan hal positif malah sebaliknya, maka yang didapat hanyalah cacian, gunjingan, hinaan hingga batas kendalinya masuk kea lam sadar kembali.

            Begitu pula Bangsa kita yang sedang "puber ketiga" ini, jangan gegabah, serampangan dalam melakukan hal-hal yang asal jadi, asal bunyi dan asal-asalan lainnya. Selamat Tinggal  Puber Kedua dan Selamat Datang Puber Ketiga, duhai Negeriku tercinta.

            Mewujudkan persatuan dan kesatuan, adalah melalui perilaku toleran, karena hal itu merupakan khas dari sifat budaya kita. Sifat itu amat dibutuhkan di tengah-tengah masyarakat majemuk, seperti bangsa Indonesia. Kemajemukan tersebut terlihat dari betapa banyaknya kelompok etnis yang hidup berdampingan serta asimilasi budaya baik melalui pernikahan ataupun melalui kontrak budaya dan sosial.

Mencermati pluralisme dan kemajemukan masyarakat kita, maka sikap toleran (tasamuh) adalah suatu pilihan budaya yang cerdas, karena dengan sikap tersebut sekurang-kurangnya dimungkinkan melahirkan suatu peaceful co-existence (hidup berdampingan secara damai). Atau jika kita beruntung, dapat tercipta suatu fertilisasi-silang dari berbagai pandangan, kebiasaan dan nilai-nilai budaya dalam komunikasi peradaban antara berbagai kelompok yang ada.

Sebaliknya, intoleransi akan menjadi pilihan yang merugikan dan menampakkan kepandiran diri, karena tanpa toleransi maka akan mudah sekali timbul berbagai konflik antarbudaya, kesalahfahaman antarbahasa, perselisihan antaragama, dan mungkin lebih tajam lagi kebencian antaretnis, seperti yang sering terjadi di Negara kita sebelum atau setelah reformasi.

Peringatan Hari Kemerdekaan RI ke 61, di tahun 2006 ini, hendaknya dijadikan sebagai momentum untuk memerangi kemiskinan dan kebodohan, sebagai jiwa dan semangat kejuangan 1945 dengan tubuh sejati serta spiritualisme di tahun 2006. Semoga bangsa kita saat ini menjadi lebih dewasa dalam segala bidang kehidupannya, baik dari segi politik, ekonomi, sosial, dan budaya serta menjadi uswah (teladan)  bagi bangsa-bangsa lainnya dalam mempertahankan Kedaulatan Negara dan Wawasan Kebangsaan yang kian hari mulai menipis di dalam jiwa masyarakat kita.

Jujur

  J u j u r   Wajib bagi kamu yang berlaku benar, karena sesungguhnya kebenaran itu membawa kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke ...