Membangun wawasan kebangsaan dalam masyarakat merupakan
jalan untuk membangkitkan rasa mencintai tanah air. Dalam sejarah perjalanan
Islam, wawasan kebangsaan mendapat perhatian serius dari Rasulullah Saw. Hal
ini terlihat ketika beliau bahu-membahu dengan masyarakat Yatsrib untuk
menetapkan konstitusi bersama, yang disebut dengan Piagam Madinah (Watsiqah
Madinah, Shahifah Madinah atau Madinah Charter). Maka dengan landasan
Piagam Madinah tersebut, masyarakat Madinah yang pluralis itu diikat melalui
konsensus-konsensus bersama untuk mewujudkan masyarakat yang berperadaban.
Dari sisi pluralisme, masyarakat Yatsrib memiliki
kemiripan dengan masyarakat
Itulah sebabnya, bahwa tidak ada satupun dari konsep
atau nilai-nilai ajaran agama Islam yang bertentangan dengan semangat Wawasan
Kebangsaan
Apabila masyarakat kita
berhasil membangun Wawasan Kebangsaan
yang kokoh, maka Insya Allah akan lahir apa yang disebut dengan Rasa
Kebangsaan, yang tiada lain merupakan sublimasi (filter) dari jiwa,
nilai, dan semangat kejuangan'45 yang menyatukan tekad menjadi bangsa yang
mandiri, kuat dihormati, disegani di antara bangsa-bangsa di dunia. Kita tidak
akan menjadi negara yang mandiri, kuat hebat atau besar, apabila kita secara
individu maupun kolektif tidak merasa memiliki
bangsanya sendiri. Sebab rasa kebangsaan adalah suatu perasaan rakyat,
masyarakat dan bangsa terhadap kondisi bangsa
Mengungkap serta menyimak teks-teks
yang terdapat dalam Piagam Madinah, kita akan menemukan betapa pentingnya rasa
kebangsaan dimiliki oleh setiapindividu suatu komunitas bangsa. Dalam Piagam
Madinah disebutkan: "Mereka adalah satu masyarakat yang mandiri, yang
berbeda dengan yang lain" (Innahum ummah wahidah min duuni naas).
Lalu pada bagian lain disebutkan: : "dan diantara mereka [pihak-pihak yang
terikat dalam persetujuan ini], berkewajiban untuk saling membantu melawan
penyerangan terhadap Yatsrib ('ala
man hadama Yatsriba, wa inna bainahum an-Nashru). Kedua kutipan tersebut secara tegas
menyatakan betapa pentingnya rasa memiliki terhadap keamanan dan keutuhan
bangsa dan negaranya.
Masyarakat
madinah pada waktu itu bersedia menempatkan kepentingan bersama (bangsa) di
atas kepentingan golongan, ras dan agamanya. Padahal kita mengetahui bahwa
masyarakat Madinah pada saat itu terdiri dari berbagai klan, ras, suku dan
agama. Jadi, Rasa Kebangsaan kita mesti ditopang oleh kesediaan untuk saling
menghormati dan menerima perbedaan sebagai suatu kenyataan.
Perbedaan dan keragaman – baik yang
bersifat alami maupun yang tumbuh karena factor agama, sosial, ekonomi dan
politik – adalah suatu kenyataan yang tak bisa terbantahkan. Namun mesti kita
sadari bahwa perbedaan, keragaman, atau kemajemukan pada hakikatnya bukanlah
sesuatu yang unik dan khusus bagi masyarakat kita. Sebab tidak ada satu masyarakat
pun yang sama sekali terbebas dari kemajemukan dan benar-benar tunggal dan uniter.
Hal ini juga berakitan dengan ketentuan (takdir) dari Allah Swt bahwa Allah Swt tidak
menghendaki terjadinya susunan monolitik masyarakat manusia, karena diperlukan
kompetisi (fastabiqul khairat) yang sehat di antara mereka guna mencapai
kebaikan sebanyak-banyaknya.
Bahkan kita tindakan pernah mengenal kata
"persatuan" bila tidak ada "perbedaan". Mungkin
persatuan umat bisa saja terjadi dalam
keadaan berbeda-beda (unity in diversity), terutama bila masing-masing
dari kita bersedia untuk berdialog, bertukar fikiran dan pendapat, bersedia
mendengar dan terbuka terhadap orang lain, bersedia menerima kehadiran orang
lain, serta memiliki empati tinggi.
Itulah sebabnya kita mesti memiliki kemampuan (malakah)
yang memadai untuk "mengelola perbedaan pandangan" atau kalau dalam
teori manajemen strategi itu disebut manajemen konflik dengan cara yang
wajar namun elegan, sehat dan dinamis, sehingga "berbeda"
tidak untuk "berbeda"; melainkan setiap perbedaan tersebut
dapat dikelola sebagai faktor dinamika pertumbuhan dan perkembangan masyarakat
dalam sebuah kepemimpinan wilayah yang pluralis., jangan sampai kepemimpinan
seseorang menjadi "mainan" para mid-manager (mid-man),
dikarenakan sang Top-manager terbuai dalam mimpi sang "mid-man"
tadi. Jika hal itu terjadi maka tidak berapa lama lagi keutuhan
kepemimpinan tersebut akan runtuh ditelan rayap-rayap politik, yang siap
menggerogoti singgasana terindah kepemimpinan sang "top-manager"
tadi. Lalu anak cucu kita akan mengenang kepemimpinannya sebagai: "alkisah" atau "dahulu
kala" ada seorang raja atau pemimpin yang......dst…dst..!!.
Republik Indonesia kita tercinta
saat ini sudah memasuki usia "dewasa" dengan HUT-nya yang ke-61 tahun,
jika dilihat dari sudut pandang psikoanalisis usia tersebut adalah usia
yang sangat mapan, produktif, stabil walaupun agak sedikit
"berbahaya", bahayanya di usia tersebut seseorang akan menemukan
kembali "puber ketiga", agak "ngoboi" kendatipun sudah mulai
lemah, letih dan gampang sakit-sakitan. Tapi daya juang dan semangat (maaf)
"birahinya" sedang meledak-ledak. Jika disalurkan pada hal-hal yang
positif maka akan lahir pulalah produk yang positif, namun, bila ternyata tidak
mampu menciptakan hal positif malah sebaliknya, maka yang didapat hanyalah
cacian, gunjingan, hinaan hingga batas kendalinya masuk kea lam sadar kembali.
Begitu pula Bangsa kita yang sedang
"puber ketiga" ini, jangan gegabah, serampangan dalam melakukan
hal-hal yang asal jadi, asal bunyi dan asal-asalan lainnya. Selamat
Tinggal Puber Kedua dan Selamat
Datang Puber Ketiga, duhai Negeriku tercinta.
Mewujudkan persatuan dan kesatuan,
adalah melalui perilaku toleran, karena hal itu merupakan khas dari sifat
budaya kita. Sifat itu amat dibutuhkan di tengah-tengah masyarakat majemuk,
seperti bangsa
Mencermati pluralisme dan kemajemukan masyarakat kita,
maka sikap toleran (tasamuh) adalah suatu pilihan budaya yang cerdas,
karena dengan sikap tersebut sekurang-kurangnya dimungkinkan melahirkan suatu peaceful
co-existence (hidup berdampingan secara damai). Atau jika kita beruntung,
dapat tercipta suatu fertilisasi-silang dari berbagai pandangan, kebiasaan dan
nilai-nilai budaya dalam komunikasi peradaban antara berbagai kelompok yang
ada.
Sebaliknya, intoleransi akan menjadi pilihan yang
merugikan dan menampakkan kepandiran diri, karena tanpa toleransi maka akan
mudah sekali timbul berbagai konflik antarbudaya, kesalahfahaman antarbahasa,
perselisihan antaragama, dan mungkin lebih tajam lagi kebencian antaretnis,
seperti yang sering terjadi di Negara kita sebelum atau setelah reformasi.
Peringatan Hari Kemerdekaan RI ke 61, di tahun 2006
ini, hendaknya dijadikan sebagai momentum untuk memerangi kemiskinan dan
kebodohan, sebagai jiwa dan semangat kejuangan 1945 dengan tubuh sejati serta
spiritualisme di tahun 2006. Semoga bangsa kita saat ini menjadi lebih dewasa
dalam segala bidang kehidupannya, baik dari segi politik, ekonomi, sosial, dan
budaya serta menjadi uswah (teladan) bagi bangsa-bangsa lainnya dalam
mempertahankan Kedaulatan Negara dan Wawasan Kebangsaan yang kian hari mulai
menipis di dalam jiwa masyarakat kita.