Minggu, 24 September 2023

Jujur

 

J u j u r

 

Wajib bagi kamu yang berlaku benar, karena sesungguhnya kebenaran itu membawa kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke sorga. Seseorang tidak henti-hentinya berkata dan berlaku benar dan mengusahakan sungguh-sungguh akan kebenaran sehingga dicatat dia di sisi Allah sebagai seorang shidiq (ahli benar). (HR. Bukhari&Muslim)

Makna hadits di atas, secara dramatis melukiskan tema keharusan manusia untuk berbuat jujur dalam segala hal. Jujur atau benar merupakan sikap pribadi manusia yang lugas, apa adanya yang tidak dicampuri dengan kebohongan-kebohongan (dusta). Lawan dari jujur adalah dusta. Makna dusta dapat diartikan sebagai tindakan memberitahukan sesuatu yang berlainan dengan yang sebenarnya sehingga terjadi penyimpangan (anomali) dari idealitasnya. Dalam bahasa sehari-hari, jujur dapat diterjemahkan sebagai sikap yang terbuka, berbuat dan bertindak apa adanya, yakni tidak ada sesuatu yang harus dirahasiahkan atau ditutup-tutupi. Jujur berarti pula menempatkan sesuatu pada tempat yang selayaknya sesuai dengan tuntutan.

Kejujuran merupakan sifat yang terpuji dan kunci dari kesuksesan dalam pergaulan. Tidak diragukan lagi bahwa semua orang menuntut adanya sifat jujur, baik pada dirinya sendiri maupun kepada orang lain. Tidak terbatas, apakah dia seorang siswa atau guru, seorang pimpinan (penguasa) atau bawahan (rakyat), orang tua atau anak dan semua orang dalam segala lapisan masyarakat dimanapun mereka berada dituntut untuk berlaku jujur.

Jika disimak benar-benar makna hadits di atas tadi, maka jujur sebenarnya merupakan induk dari sifat terpuji lainnya. Apabila sifat jujur ini tidak diwujudkan pada diri seseorang, maka sulitlah sifat terpuji lainnya dapat dicapai. Allah telah berfirman dalam al-Quran;

Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. (QS. al-Ahzab; 70-71)

Di zaman yang penuh dengan godaan keduniawian, nilai kejujuran bila di umpakan sebagai barang, telah dianggap sebagai barang "mozaik" yang bernilai tinggi. Betapa tidak, kejujuran mudah diucapkan, tetapi sulit untuk ditemukan. Orang yang hendak menemukan kejujuran mesti susah payah menggali lebih dalam lagi untuk meraih nilai yang luhur itu. Isu Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di negeri ini, salah satunya akibat dari keterpurukan moral bangsa kita yang telah kehilangan sifat jujur dalam diri manusia. Menggunakan dan mengakui sesuatu yang bukan hak miliknya, kemudian tanpa sadar ia mengakui sebagai miliknya, itu sebuah penyimpangan (anomali) dan sekaligus sebagai pembunuh nilai kejujuran pada dirinya sendiri.

Sifat jujur bila tidak ditumbuhkembangkan dalam diri manusia sejak dini, niscaya akan melahirkan pribadi yang tidak amanah, pendusta, tamak, sombong, egois dan sifat-sifat yang tidak terpuji lainnya. Itulah sebabnya Rasulullah Saw bersabda dengan tegas:

“Barang siapa yang mengambil harta orang lain dengan maksud menunaikan hak harta itu, Allah akan menunaikannya dari dirinya. Dan barang siapa yang mengambil harta orang lain dengan maksud menghabiskannya, Allah akan memusnahkan harta itu” (H.R Bukhari).

Bagi orang-orang yang telah kehilangan sifat jujur dalam dirinya, maka kekuasaan, kedudukan, pangkat dan jabatan sering dijadikan sebagai sarana untuk memfasilitasi diri sendiri. Padahal tidak pada tempatnya seorang penguasa bertindak sesukanya dengan menyalahgunakan wewenang kekuasaannya untuk menghambur-hamburkan kekayaan negara apalagi untuk kepentingan memperkaya diri. Pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang sanggup memegang dan menjalankan amanah untuk kesejahteraan ummat. Ia tidak tergiur oleh iming-iming yang menjanjikan, walaupun sangat menguntungkan terhadap dirinya. Dalam hal ini Rasulullah Saw, bersabda:

   “Sesungguhnya aku ini  demi Allah tidak mampu memberi kepada seseorang dan tidak dapat (pula) menolak untuk memberi seseorang. Sesungguhnya aku ini adalah Qasim (pembagi) yang melakukan sebagaimana diperintahkan kepadaku” (HR.al-Bukhari).

Secara mikro (wilayah kecil), realitas menunjukkan ada banyak masalah-masalah yang muncul dalam diri kita yang terkadang mengabaikan kejujuran. Ungkapan pepatah "Semut di seberang lautan kelihatan, Gajah di pelumuk mata tidak tampak", mengandung makna bahwa betapa sulit untuk melihat kesalahan diri kita secara jujur, tetapi sangatlah mudah mengorek-ngorek dan menunjukkan kesalahan dan aib orang lain. Padahal, mengakui kesalahan sendiri adalah tindakan yang sangat mulia dan bijaksana. Karena disadari, mengakui kesalahan sendiri lebih sulit ketimbang menuduh salah terhadap orang lain.

Sebagai gambaran kejujuran, di zaman khalifah Umar Ibn Khatab, diceriterakan seorang budak (raqabah) sedang mengembalakan kambing-kambing milik tuanya, datanglah khalifah Umar membujuk untuk membeli salah seekor dari kambing itu. Budak itu tidak mau menjualnya, karena kambing itu bukan miliknya. Padalah jika budak itu mau menjual kambing seekor saja, tentu tuannya tidak akan mengetahuinya. Tetapi, ia tidak mau melakukan perbuatan yang tidak jujur karena Allah mengetahuinya. Melihat kejujurannya, Khalifah Umar sangat terharu menyaksikan budak itu. Maka beliau membebaskan budak tersebut, sebagai imbalan dari kejujurannya, ia menjadi bebas merdeka dan dicintai oleh orang banyak.

 Gambaran kisah tadi, menunjukkan kepada kita bahwa kejujuran akan sangat mudah ditegakkan apabila telah merasa bahwa Allah swt. mengetahui segala apa yang diperbuat oleh mahluk-Nya. Tetapi, bagi manusia yang tidak merasakan kehadiran Allah swt. dalam hidupnya niscaya akan sulit menanamkan sifat kejujuran dalam pribadinya. Itulah sebabnya nilai kejujuran mesti ditegakkan sekuat mungkin walaupun terasa pahit. Sehingga dengan membumikan nilai kejujuran diharapkan mampu menciptakan negeri yang ideal (masyarakat madani), yakni negeri yang harmonis, dinamis dan penuh limpahan Kasih Sayang dari Allah  swt.  Insya Allah!

Senin, 13 Februari 2023

Terapi Musik Sufi; Media Pembinaan Spiritualisme

 

Terapi Musik Sufi;

Media Pembinaan Spiritualisme

 

Pendukung utama bagi tercapainya sasaran pembangunan manusia seutuhnya Indonesia yang berkualitas adalah pendidikan bermutu. Pendidikan yang bermutu dalam penyelenggaraanya tidak cukup hanya dilakukan melalui transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi harus didukung oleh peningkatan profesionalisme dan sistem manajemen tenaga kependidikan serta pengembangan kemampuan peserta didik agar mampu menolong diri sendiri dalam memilih dan mengambil keputusan demi pencapaian cita-citanya.

Kemampuan seperti itu tidak hanya menyangkut aspek akademis, tetapi juga menyangkut perkembangan keagamaan pribadi, sosial, kematangan intelektual dan sistem nilai peserta didik. Berkenaan dengan pemikiran tersebut, tampak bahwa pendidikan yang bermutu di sebuah lembaga pendidikan adalah pendidikan yang menghantarkan peserta didik pada pencapaian standar akademis yang diharapkan dalam kondisi perkembangan diri yang sehat optimal. (Nurihsan, 2005: 1)

Selain dari tujuan untuk menghantarkan peserta didik memahami nilai dan sikap intelektual-akademis, ada hal yang sangat penting lagi yaitu pemahaman dan kesadaran (awareness) peserta didik terhadap penjiwaan keagamaan sehari-harinya. Akan tetapi karena sebagian besar peserta didik adalah remaja yang memiliki karakteristik, kebutuhan jiwanya yang masih dalam tahap pencarian, serta tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhinya. Maka untuk memberikan dorongan dan pemahaman sikap keberagamaannya penulis ingin menawarkan suatu pendekatan-praksis dalam memotivasi perubahan sikap melalui penanaman jiwa keagamaan, salah satunya adalah dengan pola pendekatan terapi musik sufi. Hal ini sesuai dengan amanat dan tugas-tugas perkembangan remaja, di antaranya adalah:

a.      Mencapai perkembangan diri sebagai remaja yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

b.      Memantapkan nilai dan cara bertingkah laku yang dapat diterima dalam kehidupan sosial yang lebih luas.

c.       Mengenal kemampuan, bakat. minat serta arah kecenderungan karier dan apresiasi seni.

d.      Mengenal gambaran dan mengembangakan sikap tentang kehidupan mandiri secara emosional, dan sosial keagamaan.

e.      Mengenal sistem etika dan nilai-nilai bagi pedoman hidup sebagai pribadi, anggota masyarakat dan minat manusia. (Nurihsan, 2005).

Terapi musik sufi, adalah sebuah pendekatan pembelajaran nilai-nilai keagamaan yang terangkum dalam bentuk syair (puisi Arab) dan dilagukan dengan irama musikalitas melankolik-sikronik. Pendekatan ini adalah salah satu dari model pendidikan keagamaan terhadap peserta didik, agar lebih cepat memahami serta mempraktekkan apa yang terkandung dari muatan pesan-pesan keagamaan di dalamnya, sehingga peserta didik merasa tersalurkan dan terarah (gerechtigkeit) dalam hal minat dan bakat, terlebih dalam mengapresiasi jiwa seninya.

Strategi berikutnya dalam melaksanakan program bimbingan dan pembinaan keagamaan. Pendidikan keagamaan merupakan upaya bantuan penanaman mentalitas kepada peserta didik dalam rangka memberikan pemahaman sikap keberagamaan dan perkembangan serta pertumbuhannya. Selain bersifat pencegahan dari sifat-sifat buruk peserta didik. Pendidikan keagamaan dapat pula bersifat penyembuhan. Teknik penyembuhan jiwa yang sedang galau, resah dan depresi, penulis mencoba mempraktekkan musikalitas syair-syair keagamaan dari kitab Islam klasik bernama "Qashidah al-Burdah" karya Imam al-Busyiri, Diwan (kumpulan syair-syair) Imam as-Syafii, dan para Penyair Mesir lainnya,  yang digunakan secara sederhana menggunakan alat petik gitar akustik dan harmonika serta diiringi oleh alat musik modern lainnya keyboard. Arransemens musiknya adalah perpaduan musikalitas arudly dengan musik slow country-syncronic, yaitu harmonisasi antara suara accordion yang bercirikan masa lalu dengan suara sayup harmonika blues-country yang menyentuh.

Pendekatan pendidikan keagamaan dengan pendekatan musikalitas-syair yang berisi pesan-pesan suri-tauladan keagamaan ini, diharapkan menjadi "supplement" kejiwaan bagi peserta didik dalam memahami dan mempraktekkan nilai-nilai religiusitas dan spiritualitas sehari-harinya. Pendekatan pendidikan keagamaan ini akan diselaraskan dengan dimensi spiritual manusia, dimana prosedurnya manusia selalu berusaha melakukan penyelarasan dengan alam semesta dan menjawab pertanyaan tentang keberadaan dirinya untuk berekspresi, serta mengembangkan  kemampuan musikalitas dirinya. Musik sebagai bagian hidup manusia yang mampu memberikan pengaruh baik dan buruk, meningkatkan kehormatan dan kemuliaan manusia dan disisi lain juga menurunkan harkat manusia. Setelah Plato, banyak pemikir yang menempatkan musik sebagai hal penting bagi manusia. Di abad ke-6 M, Boethius dalam karyanya De Institutione Musica, menuliskan, "Music is a part of us, and either ennobles or degrades our behaviour.".

Pengaruh musik ini bergantung dari jenis musik dan konteks yang ada saat orang mendengarkan musik. Lepas dari baik dan buruk pengaruhnya. Boethius jelas memandang musik sebagai hal yang mempengaruhi hidup manusia.

Berdasarkan beberapa penelitian tentang pengaruh musik terhadap para pendengar musik bertolak dari pertanyaan umum, misalnya emosi seperti apa yang dapat timbul saat seseorang mendengarkan musik? Teori kognitif menunjukkan bagaimana musik bisa dirasakan, bagaimana skema kognitif dapat aktif saat mendengar musik dan bagaimana reaksi otak terhadap musik. Adapun musik yang sengaja kami ketengahkan adalah musik sufi; dengan pendekatan terapi yang mampu membangkitkan nurani sebab musik sufi adalah laksana jemari halus yang mengetuk pintu kalbu membangunkan kehangatan dari tidurnya yang lelap. Ciri-ciri dari terapi musik sufi antara lain adalah alunan nada-nada musiknya yang melantunkan senandung lembut yang kerap hadir di lembaran-lembaran imajinasi pemusik maupun pecinta musik. Maka jika nada-nada itu dilantunkan dalam melodi melankoli, maka ia menghadirkan kenangan silam di saat gundah dan putus asa. Namun jika dilantunkan pada saat hati senang, maka musik menghadirkan kenangan silam disaat damai dan bahagia. Kahlil Gibran menggambarkan tentang musik, "adalah alunan nada-nada musik kumpulan suara kesedihan yang membuat segala kesedihan memenuhi tulang rusuk, lalu menghadirkan seribu duka. Tapi ia juga bisa berupa susunan kata-kata ceria yang segera menguasai kalbu kita, lalu menari riang di sela tulang rusuk, menghadirkan seribu bahagia." Lalu Kahlil juga memperkuat pernyataan sebelumnya, "alunan nada musik adalah nafas terakhir akalnya hati dan nafasnya jiwa". (Gibran, 2002: 73).

Kekuatan lain dari ciri musikalitas sufistik ini adalah, dalam setiap satu tarikan nafas khususnya, harus mampu untuk menyanyikan (tarannum) per tiga bait, kemudian di saat lantunan lagu dinyanyikan nafas masih ditahan di bawah pusar (nafas perut), pola nafasnya menarik dari hidung keluar (membuang nafas)  juga dari hidung, maka bila sang penyanyi mampu merefleksikan lagu seperti itu akan melahirkan daya kekuatan spiritual yang tinggi dan efek  positif bagi ketenangan dan kedamaian jiwa seseorang. Carlyle menempatkan musik sebagai medium yang membangkitkan perasaan religius yang menghubungkan manusia dengan Ilahy. Burton memandang musik memiliki daya penyembuh bagi gangguan emosional. (Rachmawati, 2005: xxxii).

Dalam prakteknya terapi musik ini akan dapat dirasakan pengaruhnya, manakala musiknya dapat dimainkan dan didengarkan dengan sepenuh jiwa, dengan  seluruh kekuatan batin. Karena pada hakikatnya musik akan hadir saat dimainkan, tidak hanya terampil dengan membaca nada, not atau imajinasi yang baik sakalipun, musik benar-benar hadir bila ia dimainkan dan dirasakan. Musik terapis jauh lebih efektif daripada musik relaksasi standar, dalam praktiknya musik terapi sufi adalah salah satu musik alternatif keagamaan dalam membina dan mendidik seseorang ke arah jalan yang lebih terarah; berjiwa benar (sidiq) cerdas SQ (fathanah), berani tampil dalam menyampaikan kebenaran (tabligh) dan dapat dipercaya (amanah).

Bunt (1995) seorang psikolog musik mengatakan bahwa dasar umum persinggungan antara psikologi musik dan terapi musik adalah pemahaman atas perkembangan musik. Untuk mengembangkan tujuan-tujuan terapi dan menemukan pelbagai cara penyesuaian diri pada anak misalnya, juga penting untuk mengetahui secara pasti kapasitas anak dalam mengerti dan merasakan musik. Salah satu metode berdasarkan penemuan dan yang banyak digunakan dalam psikologi musik adalah GIM (Guided Imagery and Music) dari Bonny (1996). Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa musik yang paling tepat dapat dipilih untuk tujuan penyembuhan. Sambil mendengarkan musik dalam kondisi rileks seorang klien bisa bercerita membagikan pengalamannya dengan terapis. Musik-musik yang digunakan, dipilih dengan tema khusus yang dikategorikan dapat memberikan "pengaruh positif". Maka terapi musik sufi adalah suatu upaya untuk mencari warna tersendiri dalam pendekatan religi bagi jiwa-jiwa para peserta didik.

Seorang terapis dapat menilai intensitas emosi seperti kegembiraan, kesedihan, kelembutan, marah dan rasa takut pada klien melalui aktivitas berimprovisasi musik sederhana dan pendek. Terapis yang ikut mendengarkan musik juga dapat menerangkan kurang lebih secara tepat emosi yang akan terjadi. Sebagaimana Confucius berkata:

"Musik seseorang yang berfikiran luhur bersifat lembut dan halus, menjaga keseimbangan perasaan,  membangkitkan semangat dan menggerakkan. Orang semacam itu tidak menyimpan rasa sakit atau sedih hatinya; kebrutalan dan tindakan yang gegabah tidak dikenalinya". Ungkapan Confucius di atas menggambarkan betapa musik dapat meluluhkan jiwa yang kasar dan brutal, menghilangkan rasa sakit.

Musik akan mempengaruhi jiwa seseorang yang berfikiran luhur, bersifat lembut dan halus, menjaga keseimbangan perasaan ('athifah), membangkitkan semangat (tasyji') dan menggerakkan (harakah). Orang yang telah merasakan indahnya musikalitas alam semesta ini tidak lagi menyimpan rasa sakit atau kesedihan di hatinya, kebrutalan dan tindakan yang gegabah tidak dikenalinya.

Seorang ahli psikoanalisa terkenal Carl Jung, mengakui kekuatan musik adalah sangat luar biasa atas jiwa manusia. Menurutnya musik haruslah menjadi bagian dari setiap kegiatan analisis, karena musik mampu menjangkau jauh ke dalam dan menyentuh inti setiap pribadi. Akar permasalahan manusia bisa dijangkau oleh musik, sementara metode-metode lain gagal melakukannya. (Kate & Mucci, 2002: 61)

Jika musik merupakan pembangkit emosi yang hebat bagi masing-masing pribadi, itu berarti bahwa emosi yang dibangkitkan oleh musik tersebut tidak hanya bisa mempengaruhi masing-masing pribadi dan masyarakat, melainkan juga jalannya sejarah. Perasaan yang dibangkitkan oleh musik berkelana ke seluruh bumi dan alam semesta.

Musik menenangkan kita,  membangkitkan hidup kita, memberikan perasaan yang baik di dalam diri kita, meluluhkan kita dalam air mata, tanpa kita tahu sebabnya, itulah rahasia gelora musik yang mampu menembus kerasnya dinding kehidupan.

Selasa, 06 September 2022

 

Menjadi Guru yang Digugu dan Ditiru

                                                                 

Fadlil Yani Ainusyamsi

 

Di dalam slogan bahasa sunda, guru adalah sosok pribadi nu kudu digugu jeung ditiru. Slogan ini menunjukkan bahwa kedudukan guru memiliki makna yang sarat dengan nilai-nilai filosofis dalam kehidupan. Ia memiliki peran ganda yang tidak terpisahkan yakni sebagai pengajar dan juga sebagai pendidik. Begitu besarnya peranan guru sebagai pengajar dan pendidik, kemajuan pendidikan ditentukan oleh peran guru itu sendiri. Fungsi guru dihadapan anak didik sebagai pengajar adalah membantu dalam peningkatan kecerdasan (intelegensi) anak didik. Sedangkan guru sebagai fungsi pendidik adalah kemampuan guru untuk mengarahkan anak didik agar memiliki nilai-nilai idealitas personal.

Menjadi guru yang digugu dan ditiru, syarat utama yang harus ada adalah menjadikan dirinya sebagai pribadi yang sehat. Ia sehat secara jasmani dan rohani. Ketika seorang guru memiliki kepribadian sehat, tentunya tidak hanya berfikir bagaimana pengajaran itu dilakukan, tetapi pesan ruh pendidikan itu sendiri akan dapat tersampaikan baik terhadap siswa maupun lingkungan sosial.

Di dalam konteks lingkungan sekolah, seorang guru harus mampu beperan dalam mentransfer ilmu pengetahuan yang sesuai dengan mata pelajaran untuk kepentingan siswa, baik secara pribadi maupun secara akademis. Dalam hal ini guru harus mampu menciptakan suatu tatanan kondisi siswa di mana sekolah adalah kumpulan siswa yang datang dari latar belakang keluarga yang berbeda. Tujuan utamanya adalah sekolah menjadi suatu lingkungan yang berdiri sendiri di atas nilai-nilai pendidikan yang komprehensif.

Rasulullah SAW. telah memberikan contoh yang nyata dalam menyampaikan wahyu kepada umat manusia. Beliau berdakwah ke setiap penjuru kota Makkah lebih mengedepankan nilai akhlak yang mulia (akhlakul karimah). Beliau tidak saja ramah dan hormat terhadap sahabat, tetapi juga terhadap musuhpun beliau tetap mengedepankan akhlak yang terpuji, karena tujuan utamanya adalah merubah perilaku manusia dari kerusakan akidah, akhlak dan perilaku manusia untuk menciptakan peradaban baru yang sesuai dengan sya’riat dan ajaran Islam.

Cara-cara yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. tersebut, tentunya dapat ditiru oleh seorang guru dalam proses pembelajaran. Maka untuk itu, pribadi guru harus memiliki rambu dan etika, antara lain; pertama; seorang guru dalam menghadapi anak didiknya harus memiliki sifat dan sikap keibuan atau kebapakan.

Kedua, memiliki pengetahuan mengenai isi dari ajaran yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah. Tujuannya adalah untuk membangun pribadi perserta didik menjadi insan yang suci sejak dini. Untuk membentuk pribadi yang suci maka perlu ditanamkan kalimah thayyibah (kata yang serba suci), sebagaimana firman Allah SWT;

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Allah” (Q.S. Ibrahim; 24-25)

 

Tanggungjawab Profesi

Ketika seseorang memutuskan untuk menjadi seorang guru, maka harus menyadari bahwa ia akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan yang akan didiknya. Tuntutan orang tua ketika menyerahkan anaknya untuk masuk sekolah, maka di sanalah guru harus berperan memberi warna dengan ilmu pengetahuan dan penanaman nilai-nilai kehidupan terhadap peserta didik. Guru harus mampu berkomunikasi dengan orang tua seputar perkembangan anak didiknya. Mereka sama-sama mendorong siswa agar mampu menjadi pribadi yang utuh.

Seorang guru memiliki tanggungjawab besar terhadap profesi yang lakukannya. Setidaknya ada tiga aspek yang tidak terpisahkan dari seorang guru. Pertama, seorang guru harus mampu menjadi pribadi pendidik, kedua, harus memiliki keterampilan dalam bidang mengajar, ketiga, memiliki kepribadian sehat yang dapat diguru dan ditiru baik oleh siswa maupun masyarat, sehingga ia menjadi sosok yang menularkan tauladan dan dihormati.

Di hadapan masyarakat, guru tidaklah dilihat ia sebagai pengajar pelajaran apa, di mana tempat tugasnya, tetapi dipandang sebagai sosok yang memiliki budi pekerti luhur dan wawasan yang luas. Permasalahannya, ketika ia dihadapkan dengan perilaku yang tidak sejalan dengan norma hukum maupun adat, maka risikonya adalah kecaman yang berat pasti diterima. Lebih parahnya lagi apabila seorang guru tidak memahami dirinya sebagai seorang guru. Oleh karenanya betapa pentingnya seorang guru selalu menampilkan peribadi yang menjadi panutan baik oleh siswa di sekolah maupun oleh masyarakat luas.

Karena tuntutan profesi, seorang guru harus lebih berperan sebagai pendidik multikultural. Pendidikan multikultural didasari asumsi, tiap manusia memiliki pengalaman hidup unik dan berbeda-beda. Kegiatan belajar-mengajar bukan ditujukan agar peserta didik menguasai sebanyak mungkin materi ilmu atau nilai, tetapi lebih hasil yang diharapkan mampu menjadi dirinya sendiri baik secara individu maupun sosial

Karena itu, pribadi guru benar-benar dipertaruhkan di lingkungan sosial. Slogan guru adalah pribadi yang harus diguru dan ditiru harus menjadi doktrin sendiri karena tuntutan profesi. Insya Allah !

 

Selasa, 12 April 2022

Adiwiyata; Mendidik Siswa Cinta Lingkungan

 


 

Sejak tahun 2022 MTs Al-Fadliliyah Darussalam Ciamis mengajukan calon sekolah Adiwiyata ke Dinas Perumahan Rakyat Kawasan Permukiman dan Lingkungan Hidup Kabupaten Ciamis . Sekolah Adiwiyata ini merupakan program pembentukan sikap peserta didik dan warga sekolah terhadap lingkungan, yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari di sekolah.

Saat ini, ajuan calon sekolah adiwiyata ini baru untuk tahap tingkat Kabupaten Ciamis. Jika saja lolos dari tingkat kabupaten, selanjutny akan mengikuti tingkat provinsi dan seterusnya. Ini merupakn program yang benar-benar mendidik peserta didik untuk mencitai lingkungan. Sikap cinta terhadap lingkungan diwujudkan dalam sikap dan perilaku sehari-hari, baik di sekolah, rumah atau lingkungan tempat tinggalnya. Termasuk di dalamnya program Kurikulum Berbasis Lingkungan, artinya kurikulum yang memperhatikan aspek-aspek lingkungan serta mengintegrasikan materi lingkungan ke dalam pembelajarannya yang sesuai dengan topik bahasannya.

Semenjak mencalonkan adiwiyata, kami bersama jajaran warga sekolah melakukan berbagai persiapan mulai sosialisasi di lingkungan sekolah, orang tua, para pedagang dan masyarakat sekitar.

Perihal penanganan sampah, kami telah mempersiapkan Bank Sampah yang berfungsi untuk mengelola dan memilah barang bekas yang layak digunakan kembali, dibuang, atau di manfaatkan untuk kerajinan lainnya. Saat ini sampah sudah mulai dipilah mana yang bisa bernilai ekonomis maupun sifatnya untuk kerajinan. Banyak cara yang bisa dilakukan dalam pemanfataan barang bekas yang bisa dimanfaatkan kembali tentunya akan kita olah dengan teknologi manual dengan memberdayakan kreatifitas siswa.

Lingkungan sekolah yang asri, hijau dan nyaman untuk ditempati tentunya akan menjadi kenyamanan sendiri bagi para siswa. Makanya, di setiap depan kelas haru ada taman kelas yang intinya bukan hanya sekedar memberikan kenyamanan dan keindahan semata, tetapi yang lebih penting lagi adalah memberikan nilai edukatif terhadap para siswa”.

MTs Al-Fadliliyah Darussalam berada di lingkungan pondok pesantren yang tidak hanya para santrinya anak-anak MTs, tetapi juga ada santri MAN, dan SMA Plus, tentunya ini menjadi tantangan sendiri untuk bisa memberikan edukasi bahwa menjaga lingkungan salah satunya adalah masalah sampah menjadi masalah yang paling serius.

Sampah terutama plastik ini harus segera menjadi ditangani secara khusus, karena setiap jajanan plastik selalu ada. Ke depan kami mempersiapkan rencana bahwa anak-anak tidak lagi menggunkan alas atau tempat makanan yang sekali pakai, tetapi anak memiliki sendiri tempat makan dan minum seperti misting tambler. Semua pihak tentunya berkeinginan baik itu makanan dan minuman yang sehat dan tidak mengganggu terhadap keseimbangan alam. Alam kita jaga insya Allah alam akan menjaga kita. Oleh karenanya dukungan semua pihak tentunya sangat diperlukan guna program adiwiyata di MTs Al-Fadliliyah Darussalam ini berjalan sesuai dengan rencara yang diprogramkan. Semoga!

Selasa, 08 Maret 2022

 

AJARAN ISLAM SEBAGAI TATA NILAI;

Membumikan Islam Rahmatan lil Alamin

 

 A.      Pengertian Islam

Islam adalah agama samawi (langit) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. sebagai agama terakhir dan sekaligus sebagai penyempurna agama-agama langit sebelumnya.  Banyak literatur yang memberikan pengertian tentang Istilah Islam. Dari literatur yang ada pada prinsipnya memberikan pengertian yang sama.

Razak (1989, hlm. 56-57) menyatakan secara etimologis bahwa kata “Islam” berasal dari bahasa Arab: salima yang artinya selamat. Dari kata itu terbentuk aslama yang artinya menyerahkan diri atau tunduk dan patuh. Dari kata aslama itulah terbentuk kata Islam. Pemeluknya disebut Muslim. Orang yang memeluk Islam berarti menyerahkan diri kepada Allah swt. dan siap patuh pada ajaran-Nya.

Pernyataan Razak ini selaras dengan Firman Allah swt, yang artinya;

“Bahkan, barang siapa aslama (menyerahkan diri) kepada Allah, sedang ia berbuat kebaikan, maka baginya pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula bersedih hati” (Q.S. Al-baqarah;112).

Umar bin Khatab dalam Munir (1996, hlm. 123) menyebutkan bahwa
Islam adalah agama yang diturunkan Allah swt. kepada Muhammad saw. Agama ini meliputi ajaran; Akidah, Syariat, dan Akhlak. Dari pengertian ini bahwa Islam itu adalah sebuah agama yang sumbernya ajarannya memiliki kandungan Akidah, Syariat dan Akhlak yang harus dijalankan oleh setiap pemeluknya.

Di lihat secara terminologi, Islam adalah agama wahyu yang datang dari Allah swt. yang berisikan ajaran tauhid (akidah). Agama ini disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. sebagai nabi terakhir dan menjadi penutup semua nabi. Malaikat Jibril sebagai pengantar wahyu dari Allah kepada Nabi Muhammad saw. berupa ajaran, yang lebih dikenal dengan sebutan Al-Qur’an. Ajaran pertama yang disampaikan adalah berupa ajaran tauhid yang mengharuskan setiap pemeluknya untuk meyakini akan keesaan Tuhan. Selain itu juga ajaran Islam ini menyangkut seluruh aspek-aspek kehidupan manusia baik urusan dunia maupun urusan akherat kelak (syariat dan akhlak).

Banyak ahli dan ulama yang memberikan definisi atau pengertian Islam secara terminologi. Anshari (1978, hlm. 46) mengemukakan; 

Agama Islam adalah wahyu yang diurunkan oleh Allah swt. kepada Rasul-Nya untuk disampaikan kepada segenap umat manusia sepanjang masa dan setiap persada.

Sementara itu, Darajat (1986, hlm. 32) menyebutkan bahwa Islam adalah suatu sistem keyakinan dan dan aturan kehidupan yang mengatur hubungan antara manusia dan manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhannya.

Pengertian keduanya sama-sama memberikan makna dan hakikat yang sama, bahwa agama Islam itu adalah ajaran yang diberikan Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw. untuk kemasalahatan dan kebaikan pagi pemeluknya. Islam lahir di Mekkah bukan hanya untuk kepentingan masyarakat Mekkah waktu itu, tetapi lebih jauh lagi menjadi rahmat di dunia ini.

Quthb dalam Muhammad (2004, hlm. 131) menyatakan Islam adalah deklarasi dalam bentuk ucapan dan tindakan guna merealisasikan uluhiyyah dan rububiyyah Allah di muka bumi, dan memberantas penyembahan dan penuhanan terhadap sesama mahluk-Nya.

Dengan demikian istilah Islam ini adalah pengikatan diri manusia kepada pencipta-Nya untuk berserah diri dengan mengikuti ajaran al-Qur’an dan Rasulullah saw. Dua ajaran ini menjadi mutlak untuk menuju kepada kedamaian dalam hidup di dunia dan akherat sebagaimana yang diartikan Islam adalah sebuah agama yang memberikan kedamaian kepada umatnya.

 

B.       Islam Sebagai Agama

Agama Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.. Allah swt. telah menutup semua ajaran-Nya dengan agama Islam. Allah swt. telah menyempurnakan agama ini bagi hamba-hambaNya. Dengan agama Islam ini pula Allah swt. menyempurnakan nikmat atas mereka. Agama yang diridhai oleh Allah swt. hanyalah agama Islam. Oleh sebab itu tidak ada suatu agama pun yang diterima selain Islam. Allah swt. berfirman, yang artinya;

“Muhammad itu bukanlah seorang ayah dari salah seorang lelaki di antara kalian, akan tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para Nabi.” (QS. Al Ahzab: 40)

Islam inti ajarannya adalah mengatur tata kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Inti ajaran Islam meliputi Akidah, Syariat dan Akhlak menjadi tata aturan untuk para pengikutnya. Oleh karenanya ajaran Islam mengatur agar ia bisa hidup damai di dunia dan sesudahnya. Ajaran Islam sangat kompleks di dalamnya. Tidak ada agama yang mengajarkan sekompleks agama Islam, mulai dari ajaran yang kecil sampai ajaran yang sifatnya besar.

Ajaran Islam menyakini bahwa Allah swt. sebagai Zat Maha Tinggi Yang Nyata dan Esa, Pencipta Yang Maha Kuat dan Maha Tahu, Yang Abadi, Penentu Takdir, dan Hakim bagi semesta alam.

Seorang Muslim atau pemeluk agama Islam diperintahkan untuk secara total menyerahkan seluruh jiwa dan raganya beserta seluruh harta yang dimiliki hanya kepada Allah swt. sebagaimana Firman Allah swt, yang artinya;

"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”  (QS. Al-Baqarah: 208).

Oleh karena itu, ajaran Islam menghendaki setiap orang yang masuk Islam secara keseluruhan berarti menyerahkan diri secara total kepada Allah swt. Bentuk penyerahan  diri ini adalah dengan melaksanakan segala yang diperintahkan dan dalam menjauhi segala yang dilarang-Nya.

Menurut Muhammad (2008, hlm. 4.) mendefinisikan bahwa Islam adalah agama yang diturunkan Allah swt. kepada manusia melalui rasul-rasul-Nya, berisi hukum-hukum yang mengatur hubungan segitiga antara manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan sesama manusia, dan hubungan manusia dengan alam semesta

Islam adalah sebuah agama yang memberikan kedamaian dan kepatuhan terhadap para pengikutnya.  Di tengah-tengah perkembangan globalisasi dunia, Islam berperan sebagai penunjuk jalan yang lurus di tengah sebuah persimpangan tantangan kehidupan. Kiprah Islam di era globalisasi sangat diperlukan. Toleransi ajaran Islam memiliki fleksibelitas dalam menanggapi suatu zaman global. Sikap fundamentalisme adalah penegakkan aktifitas agama secara mendasar. Islam tidak tinggal diam dalam menyikapi setiap perkembangan zaman. Islam yang toleran mendatangkan kebaikan dan kedamaian untuk semua.

Islam sebagai agama merupakan sebuah keteraturan hidup yang mengajak penganutnya menyebarkan misi perdamaian, penyerahan diri kepada Tuhan, agar hidup teratur, saling menghargai dan menciptakan kerukunan kepada manusia, serta adanya keseimbangan dalam menjalankan hidup.

Agama Islam telah merangkum semua bentuk ajaran yang telah diajarkan oleh agama-agama sebelumnya. Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhamamd saw. dipandang sebagai agama yang lebih istimewa dibandingkan agama-agama terdahulu karena Islam adalah ajaran yang bisa diterapkan di sepanjang masa, di setiap tempat dan di setiap kelompok masyarakat. Allah swt. berfirman;  

“Dan Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab dengan benar sebagai pembenar kitab-kitab yang terdahulu serta batu ujian atasnya.” (QS. Al Maa’idah: 48)

Pernyataan ayat di atas, menyatakan bahwa Islam bisa diterapkan di setiap masa, tempat dan masyarakat. Ajaran Islam mengharuskan setiap umatnya untuk berpegang teguh terhadap ajarannya. Ajaran Islam tidak akan pernah bertentangan dengan kebaikan umat di masa kapan pun dan di tempat manapun. Bahkan dengan Islamlah keadaan umat itu akan menjadi baik. Syari’at Islam cocok bagi setiap masa, tempat dan masyarakat adalah Islam tunduk kepada kemauan setiap masa, tempat dan masyarakat, sebagaimana yang diinginkan oleh sebagian orang.

Muhammad (2004, hlm. 131) menyebutkan bahwa Islam bertujuan merealisasikan syari’at Allah swt. di muka bumi, dan untuk terealisasikannya syari’at tersebut dibutuhkan suatu negara. Makanya negara yang memiliki uamt Islam akan bisa merealisikan ajaran agama Islam tersebut.

Agama Islam menjadi sumber syari’at untuk dijalankan oleh setiap pemeluknya. Masyarakat yang Islami adalah masyarakat yang menerapkan Islam dalam akidah, ibadah, syari’at dan akhlak dan setiap tingkah laku kehidupan sehari hari-harinya. Islam menghendaki setiap pemeluknya untuk selalu berpegang teguh terhadap ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an dan ajaran dari Rasulullah saw. Firman Allah swt.;

 “Dia lah Zat yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan di atas seluruh agama-agama yang ada, meskipun orang-orang musyrik tidak menyukainya.” (QS. Ash Shaff: 9)

Agama Islam adalah ajaran yang mencakup akidah/ketauhidan dan syariat/hukum. Islam adalah agama yang ajarannya sempurna, baik ditinjau dari sisi aqidah maupun syariat-syariat yang diajarkannya.

 

C.   Islam Sebagai Sistem Nilai

Islam sebagai dipandang sebagai suatu sistem hidup yang bersifat integratif dan komrehensif (menyeluruh). Ajaran Islam terintegrasi antara tata kehidupan di dunia dan  balasan-balasan di akhirat kelak. Kompleksifitas ajaran Islam yang menyatukan antara dunia dan akhirat mencerminkan satu sistem yang sempurna dalam ajaran Islam. Islam sebagai sebuah sistem yang mengatur konsep hidup manusia di dunia dan akhirat yang bersumberkan pada Al-qur’an dan Hadits.

Al-Banna (1997, hlm.116) menggambarkan bahwa Islam meliputi semua aspek kehidupan, di mana Islam mengatur negara dan tanah air, pemerintah dan ummat, moral dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu pengetahuan dan hukum, materi dan kekayaan alam, penghasilan dan kekayaan, jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran, serta mengatur dalam bidang akidah yang murni dan ibadah yang benar.

Aturan-aturan yang diterapkan dalam ajaran Islam ini mengadung nilai yang memberikan manfaat terhadap kehidupan manusia. Nila-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam didasarkan kepada ajaran al-Qur’an dan al-Hadits. Kedua ajaran ini memberikan dasar kepada masyarakat untuk menjadikan keduanya sebagai landasan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.

Sistem nilai dijadikan sebagai kerangka acuan dalam berprilaku lahiriah dan rohaniah manusia muslim. Nilai dan moralitas yang diajarkan oleh agama Islam didasarkan dari wahyu Allah swt., yang mengandung nilai-nilai normativ tentang baik dan buruk, benar, salah, haq, batal, diridhai dan dibenci oleh Allah swt.

Pola-pola perilaku manusia beriman tidaklah menyimpang dari ajaran Islam itu sendiri. Tingkah laku manusia diatur dari suatu sistem nilai agama untuk memelihara pola perilaku di masyarakat yang sesuai dengan tuntutan nilai yang islami.

Tak dipungkiri di tengah arus globalisasi yang tak memiliki  batas, menjadi sebuah tantangan yang berat rasakan oleh umat Islam. Tata nilai yang mulai bergeser dari jalurnya mengakibatkan bergeser pula terhadap penerapan syari’ah. Tantangan globalisasi berdampak pula terhadap kebutuhan masyarakat. Kebutuhan masyarakat utamanya masalah ekonomi, dihadapkan dengan tak terbatasnya kebutuhan manusia dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya.  

Ajaran Islam mengatur perihal bermualamah. Hubungan manusia dengan manusia dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya sudah diatur dalam syari’at Islam.    Al-Ghazali, (1990, hlm. 176) menyebutkan bahwa tujuan dari Syariah adalah meningkatkan kesejahteraan (welfare) seluruh manusia, melalui perlindungan agama (dien), diri manusia (nafs), akal (aql), keturunan (nasl) dan harta (maal).

Pandangan al-Ghazali terhadap menerapkan sistem syari’ah dalam masalah ekonomi ini bertujuan untuk mengatur kehidupan manusia dengan inti dari idiologi Islam secara utuh. Oleh karenanya manusia tidak hanya bertugas menyelesaikan kebutuhan jasmaniyahnya semata, tetapi juga memberikan kebutuhan terhadap ruhaniyahnya secara islami. Di sini al-Ghazali merasa bahwa ilmu ekonomi tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai spiritual idiologi Islam.

Selain masalah ekonomi tadi, juga sistem nilai yang terkandung dalam ajaran Islam menyentuh seluruh aspek kehidupan mulai dari tatakrama, sopan santun dan lainnya. Sauri, S. (2011, hlm. 7) menyatakan “adapun tatakrama dan sopan santun merupakan akhlaq dan karakter yang lebih teknis-praktis, seperti; tatakrama bertamu, sopan santun di jalan raya, tatakrama pergaulan muda-mudi atau laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim, dan lain-lain”.

Ini menunjukan bahwa tata nilai ajaran Islam dilalui dengan tahapan-tahapan pembiasaan yang baik, sehingga sesuai dengan yang diharapkan menjadi manusia yang berkepribadian sehat.

Tentang kepemilikian kepribadian sehat, Islam sangat menekankan terhadap umatnya. Umat yang sehat secara batiniyah akan melahirkan pribadi yang taat terhadap ajaran agama, bergaul dengan masyarakat secara baik, saling menghormati perbedaan dan tidak memaksakan pandangan beragama.

Mengenai hal ini Hurlock (1976, hlm. 423) memberikan penjelasan bahwa orang dengan kepribadian yang sehat adalah mereka yang dipandang mampu beradapatsi dengan baik. Mereka dipandang seperti itu karena kemampuannya untuk berfungsi secara efisien dalam dunia pergaulannya dengan masyarakat. Mereka memiliki sejenis pengalaman yang dapat disebut sebagai keserasian internal atau inner harmoni dalam konteks bahwa mereka ada dalam keadaan damai bersama orang lain serta dengan diri mereka sendiri.

Kepribadian sehat adalah sebuah hasil yang didapat dari sebuah nilai keberagamaan. Nilai kebergamaan tidak hanya didukung oleh sehat secara fisik dan keseimbangan mental semata. Unsur agama memiliki peran penting dalam pembentukan perilaku masyarakat yang islami, karena dalam agama tertera tata nilai yang dilandasi oleh wahyu. Wahyu sebagai sumber ajaran, menjadikan penganutnya akan meyakini sebagai sumber hukum yang harus ditaati. Untuk itu Zakiah Darajat (1970, hlm. 76) merumuskan bahwa kesehatan mental ialah “Terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya sendiri dan lingkungannya, berlandaskan keimanan dan ketaqwaan, serta bertujuan untuk mencapai hidup bermakna di dunia dan akherat”.

Tata nilai dalam ajaran Islam diidentikan dengan pola-pola perilaku umatnya yang sesuai dengan norma-norma dan nilai yang berlaku. Landasan nilai keagamaan menjadi sangat penting dalam membangun umat yang beriman dan bertaqwa. Ajaran Islam banyak mengajarkan bahwa peningkatan ketaqwaan kepada Allah swt. akan melahirkan pribadi yang tenang damai dan dekat dengan Allah swt.

Sukanto (1985, hlm. 105) menjelaskan beberap faktor yang mempengaruhi pribadi seseorang dalam menjalanan kehidupan beragama, antara lain:

a.      Qalb, adalah hati yang menurut istilah kata artinya sesuatu yang membolak-balikkan. Secara nafsiologis diartikan sebagai radar kehidupan. Dilihat dari sudut pandang teori Freud, bahwa id sama dengan karakter hati yang tidak dilengkai dengan keimanan, yaitu qalb yang menuruti segala keinginan, kepuasan, kesenangan yang tidak terarah. Hati yang menentukan kepribadian individu, hati yang sehat akan mempengaruhi kepada kepribadian yang sehat, begitu juga sebaliknya.

b.     Fuad, adalah perasaan terdalam dari hati yang sering disebut dengan nurani (cahaya mata hati). Fuad ini dipengaruhi oleh faktor hati. Kalau hati kufur, maka fuad pun ikut pula kufur. Kalau hati tenang dan sehat, maka fuad pun akan merasa tentram dan damai.

c.      Tingkah laku. Nafsiologi kepribadian berangkat dari kerangka acuan dan asumsi-asumsi subjektif tentang tingklah laku manusia, karena menyadari bahwa tidak seorang pun bisa bersikap objektif dalam mempelajari manusia. Artinya apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh manusia itu akan menentukan apa yang akan dikerjakan.

 Islam memandang bahwa pribadi yang taqwa adalah pribadi yang memiliki nurani dan akal yang berfungsi dengan baik dan seimbang, sehingga ia dapat mengendalikan nafsu dan segala yang dapat menjerumuskan terhadap kerusakan di dunia dan akherat. Pribadi yang taqwa akan melahirkan sifat dan perilaku yang mulia atau akhlak mulia.

Di tengah terpaan arus globalisasi, kencenderungan manusia akan kehilangan arah dan tujuan hidup. Aspek dunia selalu dijadikan sebagai dasar tuntutan hidup. Padahal ada yang paling penting dalam menentukan pribadi yang taqwa adalah bagaimana aspek-aspek kehidupan tidak jauh dari nilai-nilai agama.

Jalaludin (1997, hlm. 172) menjelaskan ‘tradisi keagamaan pada dasarnya merupakan pranata/nilai keagamaan yang sudah dianggap baku oleh masyarakat pendukungnya. Dengan demikian tradisi keagamaan sudah merupakan kerangka acuan nilai dalam kehidupan dan perilaku masyarakat’.

Al-Qur’an dan Sunnah merupakan sumber utama hukum Islam. Dalam pola pembentuk kepribadian yang bertaqwa, Islam telah mengajarkan bagaimana keharusan manusia untuk bersikap dan bertingkahlaku.

Untuk mencapai ketenangan hati, manusia selalu berusaha untuk mendekatkan diri dengan Tuhan. Akan tetapi cara yang dilakukan berbeda-beda sesuai dengan kepercayaannya masing-masing. Mendekatkan diri kepada Tuhan adalah jalan untuk menuju kepada pembentukan ketaqwaan.

Mengenai kecenderungan manusia untuk berbuat dan bersikap di dalam diri manusia terdapat dorongan pokok yang melatarbelakanginya. Menurut Suryabrata (1982, hlm. 186) menjelaskan bahwa dalam diri manusia terdapat dorongan pokok, antara lain: Pertama, dorongan kemasyarakatan mendorong manusia bertindak mengabdi kepada masyarakat. Kedua, dorongan keakuan, mendorong manusia bertindak yang mengabdi kepada aku sendiri.

Dari uraian ini dapat diartikan sebagai dasar ketaqwaan yaitu orang yang dalam rohani atau dalam hatinya selalu merasa tenang, aman, dan tentram. Islam memandang bahwa pribadi yang taqwa dapat melahirkan  sifat dan prilaku yang mulia atau al-akhlaq al-karimah seperti sabar, pemaaf, lapang hati, dan selalu bertawakal kepada Allah. Sifat-sifat ini dicapai dalam rangka menciptakan pribadi manusia yang berbudi luhur yang didasari oleh nilai-nilai agama sebagai petunjuk arah terhadap orang-orang yang mengharapkan keridhoan-Nya.

 

D.      Universalitas Islam

Islam adalah agama universal untuk seluruh umat di  muka bumi ini. Islam membuka hubungan yang harmonis  agar umatnya hidup dalam suasana persaudaraan dan toleransi tanpa memandang perbedaan ras, suku, bangsa dan agama. Islam memandang bahwa manusia pada awalnya berasal dari asal yang sama. Firman Allah swt;

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang sama” (QS an-Nisa; 1)

Islam mengharuskan para pengikutnya untuk bersikap tolerasi dengan pengikut agama lain. Arti toleransi itu membiarkan umat lain melaksanakan ritual kegamaannya tanpa harus ikut serta di dalamnya. Manusia dalam pandangan Islam menjadikan pribadinya sebagai khalifah yang mempunyai tanggung jawab membangun bumi ini. Islam adalah agama yang memberi keberkahan kepada pemeluknya dan non muslim sekalipun.

Sejak lahir ratusan tahun yang lalu, al-Qur’an telah menegaskan bahwa Islam adalah ajaran universal. Ajaran Islam melampaui batas-batas suku, etnis, bangsa, dan bahasa. Qardhawi dalam Lukman (200, hlm. 76) menegaskan bahwa risalah Islam meliputi seluruh dimensi waktu, tempat dan kemanusiaan, yang secara realitas mencakup tiga karakteristik yaitu; keabadian, internasionalitas dan aktualisasi. Keuniversalitasan ajaran Islam itu dilengakapi dengan ajaran yang konfrehensif dan lengkap, yang meliputi ajaran agama, Negara Hukum, Ideologi, Prinsip, Aplikasi, Teori dan Praktek serta selalu relevan untuk semua tempat dan zaman.

Universalitas ajaran Islam menyentuh sendi-sendi kehidupan manusia. Selain masalah Akidah, Akhlak dan Ibadah, Islam pun menyentuh masalah politik dan ekonomi. Islam memiliki konsep bermuamalah yang teratur dan sistematis. Firman Allah swt dalam dalam Al-Qur’an;

“Dan Kami (Allah) tidaklah mengutusmu (Muhammad), kecuali kepada manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (QS. As-saba; 28).

Islam sebagai ajaran yang haq dan sempurna hadir di bumi diperuntukkan untuk mengatur pola hidup manusia agar sesuai fitrah kemanusiaannya, yakni sebagai khalifah di muka bumi dengan kewajiban mangabdikan diri semata-mata ke hadirat-Nya. Ajaran Islam tidak hanya sekedar bebricara masalah ritual semata, tetapi merupakan suatu tata nilai yang mempunyai komunitas dengan kesadaran kolektif yang memuat pemahaman/kesadaran, struktur dan pola aksi bersama demi tujuan-tujuan politik.

Islam sebagai ajaran universal sangatlah menjunjung tinggi nilai kemasyarakatan, di mana Islam memiliki ajaran yang cocok untuk seluruh kalangan masyarakat dimanapun ia tinggal (tempat) dan sampai kapanpun (zaman).

       Islam tidak hanya diperuntukkan masyarakat Mekkah semata, tetapi ia diturunkan ke dunia untuk seluruh umat manusia di dunia ini. Nabi Muhammad saw. menyampaikan agama yang dibawanya tidak hanya kepada kaum Quraisy. Namun, juga kepada suku-suku Arab lainnya dan seluruh wilayah zazirah Arab lainnya. Sabagai agama universal, Islam mengandung ajaran-ajaran dasar yang berlaku untuk semua tempat dan zaman. Ajaran-ajaran dasar yang bersifat universal.

Di Indonesia, toleransi bermazhab kurang dijumpai hingga sering terjadi pertentangan antara masing-masing penganut mazhab. Sementara di Mesir pertentangan mazhab-mazhab tersebut tidaklah kelihatan. Umat Islam di Indonesia menekankah ibadah sehingga keislaman seseorang dinilai dari pelaksanaan ibadahnya. Sementara di Mesir yang ditekankan adalah iman, sehingga keislaman seeorang diukur dari keimanan melalui ucapan syahadat.

Nasution, (1996, hlm. 32) menjelaskan bahwa pengertian Islam adalah agama yang sesuai dengan semua tempat dan segala zaman diartikan bahwa ajaran dasar Islam bersifat universal, tetapi penafsiran dan cara pelaksanaannya bercorak lokal.

Perbedaan pandangan dalam persoalan keagamaan seyogianya dilakukan secara arif dan bijaksana. Kunci dialog untuk mencari jalan titik tengah dianggap lebih bijak dibandingkan dengan harus mempermasalahkan perbedaan-perbedaan yang ada. Tuntutan yang dicari adalah bagaimana membumikan ajaran Islam secara menyeluruh. Di samping itu juga, universalitas ajaran Islam terdapat dalam berbagai sejarah perkembangan Islam. Kisah Nabi Muhammad saw. telah mengirimkan surat dakwahnya kepada penguasa-penguasa dunia; Kaisar Romawi, raja-raja di Mesir, dan para pemimpin suku-suku Arab. Beliau juga mengutus utusan khusus kepada setiap penguasa itu untuk mengajak mereka kepada Islam. Tindakan Rasulullah saw. dengan cara dakwah seperti ini merupakan bukti bahwa Islam adalah agama universal. Keterpaduan antara iman dan  kebenaran Islam dan keharusan beramal sesuai dengan syariatnya, dengan tidak ada pengecualian bagi siapa pun untuk konsisten pada agama Allah swt. ini.

 

 

 

 

 


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Al Banna, Hasan, (1997) Risalah Pergerakan, Intermedia: -----

 

Al Ghazali, (1990) Ihya Ulumuddin: Jilid 2, Asy Syifa: Jakarta

 

Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI.

 

Darajat, Z. (1970). Peranan Agama dalam Kesehatan Mental. Gunung Agung: Jakarta

 

Hurlock, B. E (1976) Personality Development.: Tata Mc Graw Hill: New Delhi

 

Jalaludin. (1997). Psikologi Agama. Rajagrafindo: Jakarta

 

Lukman, A., (2000) Perjalanan Islam dari Masa ke Masa, Insan Cemerlang: Madiun.

 

Muhammad, S., (2004) Khazanah Islam di Dunia, Pena Illahi: Malang.

 

Munir, (1997) Islam dan Perkembangannya, Pustaka Ilmu: Surabaya

Anshari, E., S , (1978) Kuliah Al-Islam, Pustaka: Bandung

 

Nasution, H., (1996) Islam Rasional, Mizan: Bandung

 

Razak, N., (1989) Dienul Islam, Al-Ma’arif: Bandung

 

Sauri, S.. (2011). Filsafat dan Teosofat Akhlak; Kajian Filosofis dan Teosifis. Rizki Press: Bandung

 

Sukanto MN. (1985). Nafsiologi Suatu Pendekatan Alternatif Atas Psikologi, Intigrita Press:  Jakarta

 

 

Jujur

  J u j u r   Wajib bagi kamu yang berlaku benar, karena sesungguhnya kebenaran itu membawa kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke ...