Selasa, 06 September 2022

 

Menjadi Guru yang Digugu dan Ditiru

                                                                 

Fadlil Yani Ainusyamsi

 

Di dalam slogan bahasa sunda, guru adalah sosok pribadi nu kudu digugu jeung ditiru. Slogan ini menunjukkan bahwa kedudukan guru memiliki makna yang sarat dengan nilai-nilai filosofis dalam kehidupan. Ia memiliki peran ganda yang tidak terpisahkan yakni sebagai pengajar dan juga sebagai pendidik. Begitu besarnya peranan guru sebagai pengajar dan pendidik, kemajuan pendidikan ditentukan oleh peran guru itu sendiri. Fungsi guru dihadapan anak didik sebagai pengajar adalah membantu dalam peningkatan kecerdasan (intelegensi) anak didik. Sedangkan guru sebagai fungsi pendidik adalah kemampuan guru untuk mengarahkan anak didik agar memiliki nilai-nilai idealitas personal.

Menjadi guru yang digugu dan ditiru, syarat utama yang harus ada adalah menjadikan dirinya sebagai pribadi yang sehat. Ia sehat secara jasmani dan rohani. Ketika seorang guru memiliki kepribadian sehat, tentunya tidak hanya berfikir bagaimana pengajaran itu dilakukan, tetapi pesan ruh pendidikan itu sendiri akan dapat tersampaikan baik terhadap siswa maupun lingkungan sosial.

Di dalam konteks lingkungan sekolah, seorang guru harus mampu beperan dalam mentransfer ilmu pengetahuan yang sesuai dengan mata pelajaran untuk kepentingan siswa, baik secara pribadi maupun secara akademis. Dalam hal ini guru harus mampu menciptakan suatu tatanan kondisi siswa di mana sekolah adalah kumpulan siswa yang datang dari latar belakang keluarga yang berbeda. Tujuan utamanya adalah sekolah menjadi suatu lingkungan yang berdiri sendiri di atas nilai-nilai pendidikan yang komprehensif.

Rasulullah SAW. telah memberikan contoh yang nyata dalam menyampaikan wahyu kepada umat manusia. Beliau berdakwah ke setiap penjuru kota Makkah lebih mengedepankan nilai akhlak yang mulia (akhlakul karimah). Beliau tidak saja ramah dan hormat terhadap sahabat, tetapi juga terhadap musuhpun beliau tetap mengedepankan akhlak yang terpuji, karena tujuan utamanya adalah merubah perilaku manusia dari kerusakan akidah, akhlak dan perilaku manusia untuk menciptakan peradaban baru yang sesuai dengan sya’riat dan ajaran Islam.

Cara-cara yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. tersebut, tentunya dapat ditiru oleh seorang guru dalam proses pembelajaran. Maka untuk itu, pribadi guru harus memiliki rambu dan etika, antara lain; pertama; seorang guru dalam menghadapi anak didiknya harus memiliki sifat dan sikap keibuan atau kebapakan.

Kedua, memiliki pengetahuan mengenai isi dari ajaran yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah. Tujuannya adalah untuk membangun pribadi perserta didik menjadi insan yang suci sejak dini. Untuk membentuk pribadi yang suci maka perlu ditanamkan kalimah thayyibah (kata yang serba suci), sebagaimana firman Allah SWT;

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Allah” (Q.S. Ibrahim; 24-25)

 

Tanggungjawab Profesi

Ketika seseorang memutuskan untuk menjadi seorang guru, maka harus menyadari bahwa ia akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan yang akan didiknya. Tuntutan orang tua ketika menyerahkan anaknya untuk masuk sekolah, maka di sanalah guru harus berperan memberi warna dengan ilmu pengetahuan dan penanaman nilai-nilai kehidupan terhadap peserta didik. Guru harus mampu berkomunikasi dengan orang tua seputar perkembangan anak didiknya. Mereka sama-sama mendorong siswa agar mampu menjadi pribadi yang utuh.

Seorang guru memiliki tanggungjawab besar terhadap profesi yang lakukannya. Setidaknya ada tiga aspek yang tidak terpisahkan dari seorang guru. Pertama, seorang guru harus mampu menjadi pribadi pendidik, kedua, harus memiliki keterampilan dalam bidang mengajar, ketiga, memiliki kepribadian sehat yang dapat diguru dan ditiru baik oleh siswa maupun masyarat, sehingga ia menjadi sosok yang menularkan tauladan dan dihormati.

Di hadapan masyarakat, guru tidaklah dilihat ia sebagai pengajar pelajaran apa, di mana tempat tugasnya, tetapi dipandang sebagai sosok yang memiliki budi pekerti luhur dan wawasan yang luas. Permasalahannya, ketika ia dihadapkan dengan perilaku yang tidak sejalan dengan norma hukum maupun adat, maka risikonya adalah kecaman yang berat pasti diterima. Lebih parahnya lagi apabila seorang guru tidak memahami dirinya sebagai seorang guru. Oleh karenanya betapa pentingnya seorang guru selalu menampilkan peribadi yang menjadi panutan baik oleh siswa di sekolah maupun oleh masyarakat luas.

Karena tuntutan profesi, seorang guru harus lebih berperan sebagai pendidik multikultural. Pendidikan multikultural didasari asumsi, tiap manusia memiliki pengalaman hidup unik dan berbeda-beda. Kegiatan belajar-mengajar bukan ditujukan agar peserta didik menguasai sebanyak mungkin materi ilmu atau nilai, tetapi lebih hasil yang diharapkan mampu menjadi dirinya sendiri baik secara individu maupun sosial

Karena itu, pribadi guru benar-benar dipertaruhkan di lingkungan sosial. Slogan guru adalah pribadi yang harus diguru dan ditiru harus menjadi doktrin sendiri karena tuntutan profesi. Insya Allah !

 

Selasa, 08 Maret 2022

 

AJARAN ISLAM SEBAGAI TATA NILAI;

Membumikan Islam Rahmatan lil Alamin

 

 A.      Pengertian Islam

Islam adalah agama samawi (langit) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. sebagai agama terakhir dan sekaligus sebagai penyempurna agama-agama langit sebelumnya.  Banyak literatur yang memberikan pengertian tentang Istilah Islam. Dari literatur yang ada pada prinsipnya memberikan pengertian yang sama.

Razak (1989, hlm. 56-57) menyatakan secara etimologis bahwa kata “Islam” berasal dari bahasa Arab: salima yang artinya selamat. Dari kata itu terbentuk aslama yang artinya menyerahkan diri atau tunduk dan patuh. Dari kata aslama itulah terbentuk kata Islam. Pemeluknya disebut Muslim. Orang yang memeluk Islam berarti menyerahkan diri kepada Allah swt. dan siap patuh pada ajaran-Nya.

Pernyataan Razak ini selaras dengan Firman Allah swt, yang artinya;

“Bahkan, barang siapa aslama (menyerahkan diri) kepada Allah, sedang ia berbuat kebaikan, maka baginya pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula bersedih hati” (Q.S. Al-baqarah;112).

Umar bin Khatab dalam Munir (1996, hlm. 123) menyebutkan bahwa
Islam adalah agama yang diturunkan Allah swt. kepada Muhammad saw. Agama ini meliputi ajaran; Akidah, Syariat, dan Akhlak. Dari pengertian ini bahwa Islam itu adalah sebuah agama yang sumbernya ajarannya memiliki kandungan Akidah, Syariat dan Akhlak yang harus dijalankan oleh setiap pemeluknya.

Di lihat secara terminologi, Islam adalah agama wahyu yang datang dari Allah swt. yang berisikan ajaran tauhid (akidah). Agama ini disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. sebagai nabi terakhir dan menjadi penutup semua nabi. Malaikat Jibril sebagai pengantar wahyu dari Allah kepada Nabi Muhammad saw. berupa ajaran, yang lebih dikenal dengan sebutan Al-Qur’an. Ajaran pertama yang disampaikan adalah berupa ajaran tauhid yang mengharuskan setiap pemeluknya untuk meyakini akan keesaan Tuhan. Selain itu juga ajaran Islam ini menyangkut seluruh aspek-aspek kehidupan manusia baik urusan dunia maupun urusan akherat kelak (syariat dan akhlak).

Banyak ahli dan ulama yang memberikan definisi atau pengertian Islam secara terminologi. Anshari (1978, hlm. 46) mengemukakan; 

Agama Islam adalah wahyu yang diurunkan oleh Allah swt. kepada Rasul-Nya untuk disampaikan kepada segenap umat manusia sepanjang masa dan setiap persada.

Sementara itu, Darajat (1986, hlm. 32) menyebutkan bahwa Islam adalah suatu sistem keyakinan dan dan aturan kehidupan yang mengatur hubungan antara manusia dan manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhannya.

Pengertian keduanya sama-sama memberikan makna dan hakikat yang sama, bahwa agama Islam itu adalah ajaran yang diberikan Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw. untuk kemasalahatan dan kebaikan pagi pemeluknya. Islam lahir di Mekkah bukan hanya untuk kepentingan masyarakat Mekkah waktu itu, tetapi lebih jauh lagi menjadi rahmat di dunia ini.

Quthb dalam Muhammad (2004, hlm. 131) menyatakan Islam adalah deklarasi dalam bentuk ucapan dan tindakan guna merealisasikan uluhiyyah dan rububiyyah Allah di muka bumi, dan memberantas penyembahan dan penuhanan terhadap sesama mahluk-Nya.

Dengan demikian istilah Islam ini adalah pengikatan diri manusia kepada pencipta-Nya untuk berserah diri dengan mengikuti ajaran al-Qur’an dan Rasulullah saw. Dua ajaran ini menjadi mutlak untuk menuju kepada kedamaian dalam hidup di dunia dan akherat sebagaimana yang diartikan Islam adalah sebuah agama yang memberikan kedamaian kepada umatnya.

 

B.       Islam Sebagai Agama

Agama Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.. Allah swt. telah menutup semua ajaran-Nya dengan agama Islam. Allah swt. telah menyempurnakan agama ini bagi hamba-hambaNya. Dengan agama Islam ini pula Allah swt. menyempurnakan nikmat atas mereka. Agama yang diridhai oleh Allah swt. hanyalah agama Islam. Oleh sebab itu tidak ada suatu agama pun yang diterima selain Islam. Allah swt. berfirman, yang artinya;

“Muhammad itu bukanlah seorang ayah dari salah seorang lelaki di antara kalian, akan tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para Nabi.” (QS. Al Ahzab: 40)

Islam inti ajarannya adalah mengatur tata kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Inti ajaran Islam meliputi Akidah, Syariat dan Akhlak menjadi tata aturan untuk para pengikutnya. Oleh karenanya ajaran Islam mengatur agar ia bisa hidup damai di dunia dan sesudahnya. Ajaran Islam sangat kompleks di dalamnya. Tidak ada agama yang mengajarkan sekompleks agama Islam, mulai dari ajaran yang kecil sampai ajaran yang sifatnya besar.

Ajaran Islam menyakini bahwa Allah swt. sebagai Zat Maha Tinggi Yang Nyata dan Esa, Pencipta Yang Maha Kuat dan Maha Tahu, Yang Abadi, Penentu Takdir, dan Hakim bagi semesta alam.

Seorang Muslim atau pemeluk agama Islam diperintahkan untuk secara total menyerahkan seluruh jiwa dan raganya beserta seluruh harta yang dimiliki hanya kepada Allah swt. sebagaimana Firman Allah swt, yang artinya;

"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”  (QS. Al-Baqarah: 208).

Oleh karena itu, ajaran Islam menghendaki setiap orang yang masuk Islam secara keseluruhan berarti menyerahkan diri secara total kepada Allah swt. Bentuk penyerahan  diri ini adalah dengan melaksanakan segala yang diperintahkan dan dalam menjauhi segala yang dilarang-Nya.

Menurut Muhammad (2008, hlm. 4.) mendefinisikan bahwa Islam adalah agama yang diturunkan Allah swt. kepada manusia melalui rasul-rasul-Nya, berisi hukum-hukum yang mengatur hubungan segitiga antara manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan sesama manusia, dan hubungan manusia dengan alam semesta

Islam adalah sebuah agama yang memberikan kedamaian dan kepatuhan terhadap para pengikutnya.  Di tengah-tengah perkembangan globalisasi dunia, Islam berperan sebagai penunjuk jalan yang lurus di tengah sebuah persimpangan tantangan kehidupan. Kiprah Islam di era globalisasi sangat diperlukan. Toleransi ajaran Islam memiliki fleksibelitas dalam menanggapi suatu zaman global. Sikap fundamentalisme adalah penegakkan aktifitas agama secara mendasar. Islam tidak tinggal diam dalam menyikapi setiap perkembangan zaman. Islam yang toleran mendatangkan kebaikan dan kedamaian untuk semua.

Islam sebagai agama merupakan sebuah keteraturan hidup yang mengajak penganutnya menyebarkan misi perdamaian, penyerahan diri kepada Tuhan, agar hidup teratur, saling menghargai dan menciptakan kerukunan kepada manusia, serta adanya keseimbangan dalam menjalankan hidup.

Agama Islam telah merangkum semua bentuk ajaran yang telah diajarkan oleh agama-agama sebelumnya. Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhamamd saw. dipandang sebagai agama yang lebih istimewa dibandingkan agama-agama terdahulu karena Islam adalah ajaran yang bisa diterapkan di sepanjang masa, di setiap tempat dan di setiap kelompok masyarakat. Allah swt. berfirman;  

“Dan Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab dengan benar sebagai pembenar kitab-kitab yang terdahulu serta batu ujian atasnya.” (QS. Al Maa’idah: 48)

Pernyataan ayat di atas, menyatakan bahwa Islam bisa diterapkan di setiap masa, tempat dan masyarakat. Ajaran Islam mengharuskan setiap umatnya untuk berpegang teguh terhadap ajarannya. Ajaran Islam tidak akan pernah bertentangan dengan kebaikan umat di masa kapan pun dan di tempat manapun. Bahkan dengan Islamlah keadaan umat itu akan menjadi baik. Syari’at Islam cocok bagi setiap masa, tempat dan masyarakat adalah Islam tunduk kepada kemauan setiap masa, tempat dan masyarakat, sebagaimana yang diinginkan oleh sebagian orang.

Muhammad (2004, hlm. 131) menyebutkan bahwa Islam bertujuan merealisasikan syari’at Allah swt. di muka bumi, dan untuk terealisasikannya syari’at tersebut dibutuhkan suatu negara. Makanya negara yang memiliki uamt Islam akan bisa merealisikan ajaran agama Islam tersebut.

Agama Islam menjadi sumber syari’at untuk dijalankan oleh setiap pemeluknya. Masyarakat yang Islami adalah masyarakat yang menerapkan Islam dalam akidah, ibadah, syari’at dan akhlak dan setiap tingkah laku kehidupan sehari hari-harinya. Islam menghendaki setiap pemeluknya untuk selalu berpegang teguh terhadap ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an dan ajaran dari Rasulullah saw. Firman Allah swt.;

 “Dia lah Zat yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan di atas seluruh agama-agama yang ada, meskipun orang-orang musyrik tidak menyukainya.” (QS. Ash Shaff: 9)

Agama Islam adalah ajaran yang mencakup akidah/ketauhidan dan syariat/hukum. Islam adalah agama yang ajarannya sempurna, baik ditinjau dari sisi aqidah maupun syariat-syariat yang diajarkannya.

 

C.   Islam Sebagai Sistem Nilai

Islam sebagai dipandang sebagai suatu sistem hidup yang bersifat integratif dan komrehensif (menyeluruh). Ajaran Islam terintegrasi antara tata kehidupan di dunia dan  balasan-balasan di akhirat kelak. Kompleksifitas ajaran Islam yang menyatukan antara dunia dan akhirat mencerminkan satu sistem yang sempurna dalam ajaran Islam. Islam sebagai sebuah sistem yang mengatur konsep hidup manusia di dunia dan akhirat yang bersumberkan pada Al-qur’an dan Hadits.

Al-Banna (1997, hlm.116) menggambarkan bahwa Islam meliputi semua aspek kehidupan, di mana Islam mengatur negara dan tanah air, pemerintah dan ummat, moral dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu pengetahuan dan hukum, materi dan kekayaan alam, penghasilan dan kekayaan, jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran, serta mengatur dalam bidang akidah yang murni dan ibadah yang benar.

Aturan-aturan yang diterapkan dalam ajaran Islam ini mengadung nilai yang memberikan manfaat terhadap kehidupan manusia. Nila-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam didasarkan kepada ajaran al-Qur’an dan al-Hadits. Kedua ajaran ini memberikan dasar kepada masyarakat untuk menjadikan keduanya sebagai landasan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.

Sistem nilai dijadikan sebagai kerangka acuan dalam berprilaku lahiriah dan rohaniah manusia muslim. Nilai dan moralitas yang diajarkan oleh agama Islam didasarkan dari wahyu Allah swt., yang mengandung nilai-nilai normativ tentang baik dan buruk, benar, salah, haq, batal, diridhai dan dibenci oleh Allah swt.

Pola-pola perilaku manusia beriman tidaklah menyimpang dari ajaran Islam itu sendiri. Tingkah laku manusia diatur dari suatu sistem nilai agama untuk memelihara pola perilaku di masyarakat yang sesuai dengan tuntutan nilai yang islami.

Tak dipungkiri di tengah arus globalisasi yang tak memiliki  batas, menjadi sebuah tantangan yang berat rasakan oleh umat Islam. Tata nilai yang mulai bergeser dari jalurnya mengakibatkan bergeser pula terhadap penerapan syari’ah. Tantangan globalisasi berdampak pula terhadap kebutuhan masyarakat. Kebutuhan masyarakat utamanya masalah ekonomi, dihadapkan dengan tak terbatasnya kebutuhan manusia dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya.  

Ajaran Islam mengatur perihal bermualamah. Hubungan manusia dengan manusia dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya sudah diatur dalam syari’at Islam.    Al-Ghazali, (1990, hlm. 176) menyebutkan bahwa tujuan dari Syariah adalah meningkatkan kesejahteraan (welfare) seluruh manusia, melalui perlindungan agama (dien), diri manusia (nafs), akal (aql), keturunan (nasl) dan harta (maal).

Pandangan al-Ghazali terhadap menerapkan sistem syari’ah dalam masalah ekonomi ini bertujuan untuk mengatur kehidupan manusia dengan inti dari idiologi Islam secara utuh. Oleh karenanya manusia tidak hanya bertugas menyelesaikan kebutuhan jasmaniyahnya semata, tetapi juga memberikan kebutuhan terhadap ruhaniyahnya secara islami. Di sini al-Ghazali merasa bahwa ilmu ekonomi tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai spiritual idiologi Islam.

Selain masalah ekonomi tadi, juga sistem nilai yang terkandung dalam ajaran Islam menyentuh seluruh aspek kehidupan mulai dari tatakrama, sopan santun dan lainnya. Sauri, S. (2011, hlm. 7) menyatakan “adapun tatakrama dan sopan santun merupakan akhlaq dan karakter yang lebih teknis-praktis, seperti; tatakrama bertamu, sopan santun di jalan raya, tatakrama pergaulan muda-mudi atau laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim, dan lain-lain”.

Ini menunjukan bahwa tata nilai ajaran Islam dilalui dengan tahapan-tahapan pembiasaan yang baik, sehingga sesuai dengan yang diharapkan menjadi manusia yang berkepribadian sehat.

Tentang kepemilikian kepribadian sehat, Islam sangat menekankan terhadap umatnya. Umat yang sehat secara batiniyah akan melahirkan pribadi yang taat terhadap ajaran agama, bergaul dengan masyarakat secara baik, saling menghormati perbedaan dan tidak memaksakan pandangan beragama.

Mengenai hal ini Hurlock (1976, hlm. 423) memberikan penjelasan bahwa orang dengan kepribadian yang sehat adalah mereka yang dipandang mampu beradapatsi dengan baik. Mereka dipandang seperti itu karena kemampuannya untuk berfungsi secara efisien dalam dunia pergaulannya dengan masyarakat. Mereka memiliki sejenis pengalaman yang dapat disebut sebagai keserasian internal atau inner harmoni dalam konteks bahwa mereka ada dalam keadaan damai bersama orang lain serta dengan diri mereka sendiri.

Kepribadian sehat adalah sebuah hasil yang didapat dari sebuah nilai keberagamaan. Nilai kebergamaan tidak hanya didukung oleh sehat secara fisik dan keseimbangan mental semata. Unsur agama memiliki peran penting dalam pembentukan perilaku masyarakat yang islami, karena dalam agama tertera tata nilai yang dilandasi oleh wahyu. Wahyu sebagai sumber ajaran, menjadikan penganutnya akan meyakini sebagai sumber hukum yang harus ditaati. Untuk itu Zakiah Darajat (1970, hlm. 76) merumuskan bahwa kesehatan mental ialah “Terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya sendiri dan lingkungannya, berlandaskan keimanan dan ketaqwaan, serta bertujuan untuk mencapai hidup bermakna di dunia dan akherat”.

Tata nilai dalam ajaran Islam diidentikan dengan pola-pola perilaku umatnya yang sesuai dengan norma-norma dan nilai yang berlaku. Landasan nilai keagamaan menjadi sangat penting dalam membangun umat yang beriman dan bertaqwa. Ajaran Islam banyak mengajarkan bahwa peningkatan ketaqwaan kepada Allah swt. akan melahirkan pribadi yang tenang damai dan dekat dengan Allah swt.

Sukanto (1985, hlm. 105) menjelaskan beberap faktor yang mempengaruhi pribadi seseorang dalam menjalanan kehidupan beragama, antara lain:

a.      Qalb, adalah hati yang menurut istilah kata artinya sesuatu yang membolak-balikkan. Secara nafsiologis diartikan sebagai radar kehidupan. Dilihat dari sudut pandang teori Freud, bahwa id sama dengan karakter hati yang tidak dilengkai dengan keimanan, yaitu qalb yang menuruti segala keinginan, kepuasan, kesenangan yang tidak terarah. Hati yang menentukan kepribadian individu, hati yang sehat akan mempengaruhi kepada kepribadian yang sehat, begitu juga sebaliknya.

b.     Fuad, adalah perasaan terdalam dari hati yang sering disebut dengan nurani (cahaya mata hati). Fuad ini dipengaruhi oleh faktor hati. Kalau hati kufur, maka fuad pun ikut pula kufur. Kalau hati tenang dan sehat, maka fuad pun akan merasa tentram dan damai.

c.      Tingkah laku. Nafsiologi kepribadian berangkat dari kerangka acuan dan asumsi-asumsi subjektif tentang tingklah laku manusia, karena menyadari bahwa tidak seorang pun bisa bersikap objektif dalam mempelajari manusia. Artinya apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh manusia itu akan menentukan apa yang akan dikerjakan.

 Islam memandang bahwa pribadi yang taqwa adalah pribadi yang memiliki nurani dan akal yang berfungsi dengan baik dan seimbang, sehingga ia dapat mengendalikan nafsu dan segala yang dapat menjerumuskan terhadap kerusakan di dunia dan akherat. Pribadi yang taqwa akan melahirkan sifat dan perilaku yang mulia atau akhlak mulia.

Di tengah terpaan arus globalisasi, kencenderungan manusia akan kehilangan arah dan tujuan hidup. Aspek dunia selalu dijadikan sebagai dasar tuntutan hidup. Padahal ada yang paling penting dalam menentukan pribadi yang taqwa adalah bagaimana aspek-aspek kehidupan tidak jauh dari nilai-nilai agama.

Jalaludin (1997, hlm. 172) menjelaskan ‘tradisi keagamaan pada dasarnya merupakan pranata/nilai keagamaan yang sudah dianggap baku oleh masyarakat pendukungnya. Dengan demikian tradisi keagamaan sudah merupakan kerangka acuan nilai dalam kehidupan dan perilaku masyarakat’.

Al-Qur’an dan Sunnah merupakan sumber utama hukum Islam. Dalam pola pembentuk kepribadian yang bertaqwa, Islam telah mengajarkan bagaimana keharusan manusia untuk bersikap dan bertingkahlaku.

Untuk mencapai ketenangan hati, manusia selalu berusaha untuk mendekatkan diri dengan Tuhan. Akan tetapi cara yang dilakukan berbeda-beda sesuai dengan kepercayaannya masing-masing. Mendekatkan diri kepada Tuhan adalah jalan untuk menuju kepada pembentukan ketaqwaan.

Mengenai kecenderungan manusia untuk berbuat dan bersikap di dalam diri manusia terdapat dorongan pokok yang melatarbelakanginya. Menurut Suryabrata (1982, hlm. 186) menjelaskan bahwa dalam diri manusia terdapat dorongan pokok, antara lain: Pertama, dorongan kemasyarakatan mendorong manusia bertindak mengabdi kepada masyarakat. Kedua, dorongan keakuan, mendorong manusia bertindak yang mengabdi kepada aku sendiri.

Dari uraian ini dapat diartikan sebagai dasar ketaqwaan yaitu orang yang dalam rohani atau dalam hatinya selalu merasa tenang, aman, dan tentram. Islam memandang bahwa pribadi yang taqwa dapat melahirkan  sifat dan prilaku yang mulia atau al-akhlaq al-karimah seperti sabar, pemaaf, lapang hati, dan selalu bertawakal kepada Allah. Sifat-sifat ini dicapai dalam rangka menciptakan pribadi manusia yang berbudi luhur yang didasari oleh nilai-nilai agama sebagai petunjuk arah terhadap orang-orang yang mengharapkan keridhoan-Nya.

 

D.      Universalitas Islam

Islam adalah agama universal untuk seluruh umat di  muka bumi ini. Islam membuka hubungan yang harmonis  agar umatnya hidup dalam suasana persaudaraan dan toleransi tanpa memandang perbedaan ras, suku, bangsa dan agama. Islam memandang bahwa manusia pada awalnya berasal dari asal yang sama. Firman Allah swt;

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang sama” (QS an-Nisa; 1)

Islam mengharuskan para pengikutnya untuk bersikap tolerasi dengan pengikut agama lain. Arti toleransi itu membiarkan umat lain melaksanakan ritual kegamaannya tanpa harus ikut serta di dalamnya. Manusia dalam pandangan Islam menjadikan pribadinya sebagai khalifah yang mempunyai tanggung jawab membangun bumi ini. Islam adalah agama yang memberi keberkahan kepada pemeluknya dan non muslim sekalipun.

Sejak lahir ratusan tahun yang lalu, al-Qur’an telah menegaskan bahwa Islam adalah ajaran universal. Ajaran Islam melampaui batas-batas suku, etnis, bangsa, dan bahasa. Qardhawi dalam Lukman (200, hlm. 76) menegaskan bahwa risalah Islam meliputi seluruh dimensi waktu, tempat dan kemanusiaan, yang secara realitas mencakup tiga karakteristik yaitu; keabadian, internasionalitas dan aktualisasi. Keuniversalitasan ajaran Islam itu dilengakapi dengan ajaran yang konfrehensif dan lengkap, yang meliputi ajaran agama, Negara Hukum, Ideologi, Prinsip, Aplikasi, Teori dan Praktek serta selalu relevan untuk semua tempat dan zaman.

Universalitas ajaran Islam menyentuh sendi-sendi kehidupan manusia. Selain masalah Akidah, Akhlak dan Ibadah, Islam pun menyentuh masalah politik dan ekonomi. Islam memiliki konsep bermuamalah yang teratur dan sistematis. Firman Allah swt dalam dalam Al-Qur’an;

“Dan Kami (Allah) tidaklah mengutusmu (Muhammad), kecuali kepada manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (QS. As-saba; 28).

Islam sebagai ajaran yang haq dan sempurna hadir di bumi diperuntukkan untuk mengatur pola hidup manusia agar sesuai fitrah kemanusiaannya, yakni sebagai khalifah di muka bumi dengan kewajiban mangabdikan diri semata-mata ke hadirat-Nya. Ajaran Islam tidak hanya sekedar bebricara masalah ritual semata, tetapi merupakan suatu tata nilai yang mempunyai komunitas dengan kesadaran kolektif yang memuat pemahaman/kesadaran, struktur dan pola aksi bersama demi tujuan-tujuan politik.

Islam sebagai ajaran universal sangatlah menjunjung tinggi nilai kemasyarakatan, di mana Islam memiliki ajaran yang cocok untuk seluruh kalangan masyarakat dimanapun ia tinggal (tempat) dan sampai kapanpun (zaman).

       Islam tidak hanya diperuntukkan masyarakat Mekkah semata, tetapi ia diturunkan ke dunia untuk seluruh umat manusia di dunia ini. Nabi Muhammad saw. menyampaikan agama yang dibawanya tidak hanya kepada kaum Quraisy. Namun, juga kepada suku-suku Arab lainnya dan seluruh wilayah zazirah Arab lainnya. Sabagai agama universal, Islam mengandung ajaran-ajaran dasar yang berlaku untuk semua tempat dan zaman. Ajaran-ajaran dasar yang bersifat universal.

Di Indonesia, toleransi bermazhab kurang dijumpai hingga sering terjadi pertentangan antara masing-masing penganut mazhab. Sementara di Mesir pertentangan mazhab-mazhab tersebut tidaklah kelihatan. Umat Islam di Indonesia menekankah ibadah sehingga keislaman seseorang dinilai dari pelaksanaan ibadahnya. Sementara di Mesir yang ditekankan adalah iman, sehingga keislaman seeorang diukur dari keimanan melalui ucapan syahadat.

Nasution, (1996, hlm. 32) menjelaskan bahwa pengertian Islam adalah agama yang sesuai dengan semua tempat dan segala zaman diartikan bahwa ajaran dasar Islam bersifat universal, tetapi penafsiran dan cara pelaksanaannya bercorak lokal.

Perbedaan pandangan dalam persoalan keagamaan seyogianya dilakukan secara arif dan bijaksana. Kunci dialog untuk mencari jalan titik tengah dianggap lebih bijak dibandingkan dengan harus mempermasalahkan perbedaan-perbedaan yang ada. Tuntutan yang dicari adalah bagaimana membumikan ajaran Islam secara menyeluruh. Di samping itu juga, universalitas ajaran Islam terdapat dalam berbagai sejarah perkembangan Islam. Kisah Nabi Muhammad saw. telah mengirimkan surat dakwahnya kepada penguasa-penguasa dunia; Kaisar Romawi, raja-raja di Mesir, dan para pemimpin suku-suku Arab. Beliau juga mengutus utusan khusus kepada setiap penguasa itu untuk mengajak mereka kepada Islam. Tindakan Rasulullah saw. dengan cara dakwah seperti ini merupakan bukti bahwa Islam adalah agama universal. Keterpaduan antara iman dan  kebenaran Islam dan keharusan beramal sesuai dengan syariatnya, dengan tidak ada pengecualian bagi siapa pun untuk konsisten pada agama Allah swt. ini.

 

 

 

 

 


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Al Banna, Hasan, (1997) Risalah Pergerakan, Intermedia: -----

 

Al Ghazali, (1990) Ihya Ulumuddin: Jilid 2, Asy Syifa: Jakarta

 

Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI.

 

Darajat, Z. (1970). Peranan Agama dalam Kesehatan Mental. Gunung Agung: Jakarta

 

Hurlock, B. E (1976) Personality Development.: Tata Mc Graw Hill: New Delhi

 

Jalaludin. (1997). Psikologi Agama. Rajagrafindo: Jakarta

 

Lukman, A., (2000) Perjalanan Islam dari Masa ke Masa, Insan Cemerlang: Madiun.

 

Muhammad, S., (2004) Khazanah Islam di Dunia, Pena Illahi: Malang.

 

Munir, (1997) Islam dan Perkembangannya, Pustaka Ilmu: Surabaya

Anshari, E., S , (1978) Kuliah Al-Islam, Pustaka: Bandung

 

Nasution, H., (1996) Islam Rasional, Mizan: Bandung

 

Razak, N., (1989) Dienul Islam, Al-Ma’arif: Bandung

 

Sauri, S.. (2011). Filsafat dan Teosofat Akhlak; Kajian Filosofis dan Teosifis. Rizki Press: Bandung

 

Sukanto MN. (1985). Nafsiologi Suatu Pendekatan Alternatif Atas Psikologi, Intigrita Press:  Jakarta

 

 

 

Puasa Sarana Pengendalian Hawa nafsu  

KH Dr. Fadlil Yani Ainusyamsi, M.Ag.

(Pengasuh Pesantren Darussalam Ciamis)


"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada umat-umat sebelum kamu, agar kamu dapat bertaqwa" (QS. al-Baqarah; 183).

Puasa seperti yang tertulis dalam ayat di atas, adalah puasa wajib yang perintahkan Allah swt. bagi umat Islam yang dilaksanakan setiap bulan Ramadhan. Kewajiban puasa, dikhususkan bagi umat Islam yang mampu menjalaninya. Bagi anak-anak kecil yang belum baligh, orang yang dalam perjalanan, orang yang sedang sakit, tidaklah diharuskan untuk melaksanakannya, bahkan bagi wanita yang haid dilarang untuk mengerjakan puasa, tetapi harus diganti (qadha) pada bulan berikutnya (sesudah bulan Ramadhan).

Disaat menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan, tentunya tidak hanya menahan lapar dan dahaga serta beberapa hal yang membatalkan puasa, tetapi ada beberapa amalan yang memiliki arti penting untuk dikerjakan. Amalan-amalan yang memiliki nilai (value) positif bagi orang yang mengerjakan puasa antara lain; membaca al-Qur'an (tadarus), qiyam Ramadhan(shalat tarawih), menyantuni fakir miskin dan beberapa amalan yang sangat bermanfaat lainnya. Bahkan bagi orang yang sedang berpuasa tidur di siang hari sekalipun itu akan menjadi ibadah.

Di dalam mengerjakan ibadah puasa, dituntut untuk selalu kontrol diri (self control) dari perbuatan yang dapat mengurangi keutamaan dan nilai puasa. Bergunjing, marah-marah, berkata kotor, menghina, serta perilaku yang dapat mendatangkan madharat harus sejauh mungkin dihindari. Artinya seorang yang sedang melaksanakan puasa wajib untuk selalu menahan diri (self filter) dari nafsu yang berakibat merugikan terhadap diri sendiri.

Allah swt. telah jelas menyatakan dalam firman-Nya;

“Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia sebagai musuhmu. Karena sesungguhnya, setan itu hanya mengajak golongannya, supaya mereka juga menjadi penghuni neraka yang apinya menyala-nyala” (Q.S. Fathir; 6)

Berkenaan dengan kewajiban memerangi hawa nafsu, Rasulullah saw. pernah berkata kepada sababatnya "Kita sekarang telah selesai menjalankan perang kecil dan di hadapan kita ada musuh besar yang datangnya secara tiba-tiba, mari kita siap untuk berperang yang lebih besar". Sahabatpun bertanya; "Ya Rasulullah, musuh apa yang besar itu dan datangnya secara tiba-tiba?". Beliau menjawab; "Musuh yang besar itu adalah hawa nafsu".

Hawa nafsu yang disebut sebagai musuh yang sangat besar, bagi orang yang beriman tentu diperlukan senjata yang sangat kuat dalam memeranginya. Alat yang diperlukan tentunya bukanlah senjata yang digunakan dalam pertempuran biasa, atau tombak dan pedang, tetapi senjata yang muktahir itu adalah keimanan kuat yang tertanam dalam hati. Itulah senjata otomatis yang harus dimiliki oleh umat muslim. Karena dengan senjata itulah segala ancaman yang dapat meluluhlantahkan keimanan seseorang dapat diperanginya.

Dalam pengendalian hawa nafsu, tentunya harus dibarengi dengan niat yang kuat untuk tidak mengikutinya. Karena, hawa nafsu yang dibiarkan begitu saja tanpa ada niat untuk memeranginya, niscaya sulit sekali untuk melepaskannya. Imam Muhammad bin Sa'id al-Bushairi; dalam karya besarnya "Qasidah al-Burdah" mengatakan;

"Nafsu itu ibarat bayi, bila anda membiarkan bayi itu begitu saja, niscaya sampai  dewasa ia tetap menetek pada ibunya. Tetapi bila anda menyapinya, niscaya bayi itu berhenti pula dari menetek kepada ibunya"

Perjuangan dalam memerangi hawa nafsu, bukanlah perjuangan yang harus mengumpulkan pasukan sebanyak mungkin, tetapi perjuangan yang dilaksanakan hanya dengan berpedang teguh terhadap nilai-nilai Illahy. Hanya dengan berpegang teguh terhadap ajaran Allah dan Rasul-Nya, itu adalah bentuk kendali, strategi dan teknik dalam upaya pengendalian hawa nafsunya. Dengan demikian, prasyarat utama yang harus dipenuhi oleh manusia untuk mencari dan menemukan kemenangan dalam hidupnya, adalah dengan mengekang hawa nafsunya, menentang hawa nafsu orang lain dan memerangi pengikut-pengikut syetan, serta tetap berpenag tegung pada ajaran al-Qur'an dan Sunnah. Bila manusia telah mampu memenuhi prasyarat ini, adalah sebuah perjuangan atau jihad dalam arti yang sesungguhnya.

Memerangi hawa nafsu, tentunya sebuah pekerjaan yang dianggap mudah apabila selalu berpegang teguh terhadap tali (agama) Allah, juga bisa dianggap berat apabila kita tidak mau melepaskan diri dari cengkraman nafsu itu sendiri. Semoga di bulan Ramadhan ini, kita semua senantiasa mampu menjalankan ibadah puasa dengan khusu, sabar, dan selalu menjaga diri dari segala perbuatan yang dapat mengurangi nilai puasa kita. Pada akhirnya kita dapat disejajarkan dengan orang-orang terdahulu; orang-orang yang mendapat kemenangan dari Allah swt. Insya Allah

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Minggu, 14 November 2021

 

Saatnya Ki Sunda Jadi Pemimpin Bangsa

 

Pemilihan presiden Indonesia telah masuk periode kedepalan, tepatnya periode 2019-2024. Dari sejumlah nama mulai dari Soekarno presiden pertama sampai pada Joko Widodo, saat ini mencalonan kembali, tak satupun ada nama yang berasal dari tatar sunda (Jawa Barat). Mengapa orang sunda belum pernah ada yang menjadi presiden?. Pertanyaan ini dirasa sederhana, dan bukan pertanyaan yang pertama kalinya. Pertanyaan seperti ini hampir di setiap waktu pemilihan presiden terlontar, mulai dari obrolan di warung kopi sampai pada ruang seminar sekalipun. Tapi tak satupun tokoh yang ditawarkan untuk ditampilkan di arena tertinggi kancah politik Indonesia. Padahal bila ditelisik lebih jauh lagi, pasti banyak tokoh orang sunda yang memiliki kemampuan untuk tampil sebagai presiden atau wakil presiden. Tuntutan untuk jadi pemimpin bangsa ini, tentunya bukan hanya untuk memikirkan tanah sunda semata, tetapi lebih jauhnya lagi untuk kemaslahatan dan kesejahteraan bangsa Indonesia.  

Untuk pemilihan presiden dan wakil presiden saat ini memang sudah tertutup. Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan dua calon pasangan presiden dan wakil presiden. Artinya untuk saat ini tertutup sudah orang sunda untuk ikut memperebutkan suara masyarakat Indonesia dalam rangka “merebut istana”. Akan tetapi hal ini untuk bahan pemikiran dan disiapkan di periode selanjutnya.

Kontribusi urang sunda dalam level tertinggi eksekutif baru sebatas di era Soeharto. Nama Umar Wirahadikusumah pernah menjabat sebagai wakil presiden. Setelah itu tak ada nama lagi yang datang dari tatar sunda, apalagi menduduki jabatan presiden maupun wakil presiden. Padahal, dari sejumlah nama yang memiliki peran dalam kancah politik Indonesia, banyak urang Sunda yang eksis di lingkungan legislatif. Sebut saja, Ginandjar Kartasasmina, Popong Otje Djundjunan. Kedua tokoh ini sampai sekarang masih eksis dalam percaturan politik tanah air dan tentunya ia memiliki pengaruh dari ketokohannya. Sudah barang tentu sebagai keturunan sunda dan nyunda bisa menjadi jadi wakil dari urang sunda.  Bahkan Ginandjar Kartasasmita sendiri sangat berpengaruh di Paguyuban Pasundan tempat berkumpulnya Urang Sunda untuk mikirkeun nasib urang sunda mulai dari budaya, ekonomi bahkan bisa jadi pembahasan politik pun ada di ruang ini. Keberadaan paguyuban ini bukan hanya untuk orang sunda semata, tetapi juga bagi mereka yang memiliki kepedulian terhadap masyarakat sunda.

Ada beberapa alasan mengapa orang sunda sudah selayaknya jadi peminmin bangsa. Pertama, secara geografis, Jawa Barat jelas menopang untuk pembangunan Ibu Kota Jakarta. Pembangunan di beberapa kota penyangga Jakarta; Bekasi, Bogor, Depok,  memberi dampak signifikan dalam tata kelola kota perluasan dari ibu kota Jakarta. Sudah barang tentu akan sangat paham terhadap apa yang diharapkan dalam rangka pembangunan Jakarta dan wilayah sekitarnya. Kedua, dilihat dari sisi kebudayaan, orang sunda memiliki karakteristik manusia yang lemah lembut, tidak ngotot, tidak keras. Mereka bersikap baik kepada para pendatang. Dalam istilah sunda disebutkan ‘someah hade kasemah’. Karena sifat seperti ini orang sunda akan mudah diterima oleh suku-suku yang ada di Indonesia. Politik identitas akan mudah hilang, karena orang sunda sendiri tidak pernah membeda-bedakan kelompok maupun golongan. Bahkan terbuka untuk siapapun, di manapun dan kapanpun untuk bisa diajak bicara. Ketiga, dilihat dari aspek ilmu geografi, istilah sunda sangat mendominasi nama wilayah yang ada d Indonesia. Wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Tanah Jawa adalah gugusan yang biasa disebut dengan istilah sunda besar.  Sementara untuk wilayah kepulauan kecil di wilayah Indonesia timur disebut dengan gugusan kepulauan sunda kecil. Dilihat dari istilah ‘sunda’ dari sejumlah nama untuk gugusan kepulauan di Indonesia menjadi bukti bahwa ‘sunda’ bukanlah istilah untuk lokal semata, tetapi sudah menjadi nama yang besar untuk Indonesia.

 

Lahan Kaum Muda

Ke depan, harus sudah saatnya warga sunda (warga Jawa Barat) memiliki keinginan yang kuat menyodorkan putra terbaiknya untuk menjadi pemimpin bangsa. Saat ini orang sunda yang bisa dipersiapkan di masa mendatang untuk jadi pemimpin bangsa sebut saja nama Yuddi Chrisnandi. Pria kelahiran Bandung 29 Mei 1968 ini adalah sosok yang patut diperhitungkan ke depan. Bermula dari kiprahnya di legislatif pusat, kemudian menjadi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi  Birokrasi di era Jokowi, dan saat ini sebagai Duta Besar Indonesia untuk Ukraina Armenia dan Geogia, tentunya sudah banyak pengalaman yang ia peroleh dalam mengurus kepemerintahan. Selain aktif di lingkungan kepemerintahan, ia juga dibesarkan di lingkungan kampus dan aktif dalam organisasi kemahasiswaan. Sebelum terjun ke dunia politik Yuddy Chrisnandi lebih dikenal sebagai seorang akademisi. Ia pernah mengajar pada beberapa perguruan tinggi di Indonesia. Dengan segudang pengalaman baik politik, kepemerintahan, lingkungan kampus dan organisasi kemasyarakatan, ini menjadi bekal yang kuat dalam rangka mempersiapkan pertarungan politik ke depannya.

Nama Yuddy Chrisnandi sendiri pernah mencuat dalam pilpres beberapa waktu lalu. Komunitas Paguyuban Pasundan menilai figur warga sunda ini dianggap sudah waktunya untuk ikut terjun dalam pilres. Di mata Paguyuban Pasundan, sosok Yuddy Chrisnandi sangat cocok untuk ditawarkan untuk jadi pemimpin bangsa. Walaupun pada kenyataanya saat ini dua calon pasangan presiden dan wakil presiden tidak ada dari tanah pasundan.

Melihat potensi urang sunda ikut andil dalam memimpin bangsa, sudah seyogianya para elit, tokoh, mulai mempersiapkan lahan bagi muda untuk melanjutkan cita-cita orang sunda menjadi pemimpin bangsa. Sebagai entitas terbesar kedua di Indonesia dan menyumbang 20 persen suara nasional, inilah saatnya warga sunda mendikte perpolitikan nasional. Orang sunda bukan hanya duduk sebagai penonton, tetapi lebih jauhnya lagi berperan sebagai pemain dan bisa memenangkan pertandingan. Di sini, ‘Ki sunda’ harus benar-benar menjadi sosok yang diperhitungkan dalam percaturan politik tanah air. Semoga.

Senin, 22 Februari 2021

Menolong Allah


Ungkapan “menolong Allah” (atau “membantu Allah”) tentu saja terdengar ganjil di telinga kebanyakan orang. Sebab bagaimana mungkin kita sebagai manusia bisa menolong Allah, padahal Dia-lah Tuhan Yang Maha Kuasa? Bukankah dalam do’a-do’a justru kita yang memohon pertolongan kepada-Nya? Bukankah kita diciptakan oleh Allah? Bukankan Allah swt. tidak membutuhkan pertolongan mahluknya?

Dalam firman Allah swt. (al-Qur'an), ungkapan “menolong Allah” dapat kita baca:

“Wahai sekalian orang-orang yang beriman, jika kamu menolong Allah, maka Dia akan menolong kamu dan akan mengukuhkan pijakan-pijakan” (Q.S. Muhammad; 7).

Makna ayat di atas, bahwasanya, manusia diharapkan dapat menolong Allah, dengan balasan bahwa Allah akan menolong kita dan mengukuhkan posisi kita. Artinya di sini adanya timbal balik antara perilaku manusia dengan kasih sayang dari Allah swt. Namun demikian, tentu saja pertanyaan selanjutnya ialah, apa dan bagaimana yang dimaksud dengan “menolong Allah” itu.

Dalam konteks firman tersebut, yang dimaksud dengan “menolong Allah” itu ialah berusaha dengan penuh kesungguhan untuk melaksanakan ajaran-ajaran-Nya, sebagai bagian dari iman atau sikap manusia menerima dan mempercayai kemudian menjalankan segala apa yang telah digariskan dalam ajaran agama itu sendiri. Dan yang dimaksud bahwa "Allah menolong" kita bahwa Dia akan membuat usaha kita melaksanakan perintah agama itu mudah dan lancar, dengan dampak kebaikan yang nyata dalam hidup kita. Hal ini membawa akibat adanya sikap percaya diri dan teguh pendirian dalam hidup, yakni bahwasanya Allah akan meneguhkan pijakan-pijakan kita. Balasan kebaikan karena “menolong Allah” itu dikontraskan dengan balasan keburukan karena menolak kebenaran.

Firman Allah swt. dalam al-Qur'an;

   “Adapun mereka yang menolak (kafir), maka celakalah bagi mereka, dan Allah akan menghapus amal perbuatan mereka. Hal itu demikian karena mereka benci kepada ajaran yang diturunkan Allah (al-Qur'an), maka Dia menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka” (Q.S. Muhammad; 8-9)

Tentang mengapa ungkapan “menolong Allah” digunakan, secara sederhana dapat dibuat keterangan linear; Pertama, Allah menurunkan ajaran kepada umat manusia demi kebahagiaan mereka baik di dunia ataupun di akherat, Kedua, dengan sendirinya Allah “ingin” ajaran itu dilaksanakan; tapi, Ketiga, hal itu terserah manusia, apakah mereka mau menerima  atau tidak.

Firman Allah swt dalam al-Qur'an;

"Dan katakan bahwa kebenaran itu datang dari Tuhanmu, barang siapa yang ingin beriman, berimanlah dan barang siapa yang ingin kafir, berkafirlah. (Q.S. Al-Kahfi: 29).

Dalam konteks ini, manusia memiliki otoritas yang penuh untuk menentukan pilihannya sendiri. Sehingga manusia tidak boleh berharap kepada Allah akan “turun” melaksanakan ajaran-Nya itu untuk manusia, karena manusia mesti berusaha sendiri untuk menentukan nasibnya melalui jalan (syari'at) yang telah diturunkan kepada manusia melalui Rasul-Nya.

Keempat, ajaran Allah itu adalah sesuatu yang alami (fitri, natural). Manusia tidak mampu untuk merekayasanya apalagi membuatnya sendiri.   

Keempat hal di atas, memberi makna bahwa, menjalankan agama yang benar itu bukanlah suatu beban, melainkan kewajaran yang mudah, karena merealisasikan ajaran agama adalah mengikuti ketentuan-ketentuan “alami” dari Allah yang berlaku untuk manusia. Karena, menjalankan agama itu tidak lain berarti mengikuti garis-garis kewajaran manusia sendiri yang telah diatur oleh syari'at, maka salah satu hasilnya ialah munculnya rasa tentram di hati dan mantap dalam jiwa.

Berkenaan dengan ini, ada sebuah anekdot mengenai Malcolm X setelah memeluk agama Islam, dan untuk pertama kali melakukan shalat. Katanya kurang lebih ia mengungkapkan, “Sungguh aneh, aku rasakan kesulitan luar biasa ketika menekuk lututku, padahal menekuk lutut adalah bagian dari anatomi tubuh kita.”

Dalam shalat, kita diajari menekuk lutut (attahiyyat) di hadapan Allah adalah bagian dari rancangan anatomis tubuh kita, yang jika kita ingkari akan menjadi sumber masalah bagi kita sendiri.

   Oleh karena itu shalatlah sebelum kita dishalatkan orang (mati), shalat yang baik adalah bersatunya hati dan apa yang menjadi bacaan dalam shalat itu, lalu direfleksikan dalam gerak anatomi tubuh kita secara konstan, tumaninah/khusyu’. Sedangkan khusyu’ tempatnya di hati. Karena yang paling menakjubkan dalam diri manusia adalah hatinya, karena ia merupakan sumber hikmah sekaligus lawannya.

Tuntutan yang harus dicapai dalam shalat adalah lahirnya perilaku manusia dalam kehidupan sehari-harinya yang memiliki nilai-nilai hakiki dari shalat itu sendiri. Amalan shalih, menjauhi kemunkaran dan merefleksikan ajaran agama, adalah tujuan dari shalat. Karena dengan shalat itulah sebagai pembeda antara orang yang mukmin atau kafir.

Sebagai komulatif perilaku manusia menjalankan syari'at, ia akan menemukan tujuan kehidupan yang sebenarnya. Tujuan hidup ini tiada lain adalah mengharap keridhaan Allah swt. dari segala apa yang kita perbuat, sehingga kita bisa disejajarkan dengan orang-orang yang terdahulu, yakni orang-orang yang diridhai oleh Allah swt.

Dalam hal ini, manusia telah berusaha "menolong" segala apa yang telah diturunkan Allah (agama), untuk direfleksikan dalam kehidupannya. Ketika manusia itu telah sepenuh hati merefleksikan ajaran agama, tentunya Allah swt. akan "menolong" manusia dengan rahmat-Nya. Dan tentunya, manusia tersebut akan berada pada posisi sebagai orang-orang yang mendapat kemenangan dari Allah swt. berupa pahala, rahmat dan terhindar dari segala yang dapat merugikan dirinya.

Di sisi lain, sikap dan perilaku manusia yang apatis dan enggan untuk "menolong" agama Allah swt. dapat tercermin dalam sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Ia akan lahir sebagai manusia yang keras harinya. Jika timbul harapan, ketamakan akan menundukkannya. Jika ketamakan telah berkobar, ia akan dibinasakan oleh kekikiran. Jika ia telah dikuasai oleh keputusasaan, penyesalan akan membunuhnya. Jika ditimpa kemarahan, menjadi-jadilah kemarahannya. Jika sedang puas (berhasil) ia lupa menjaganya. Jika dilanda ketakutan, dia disibukkan oleh kehati-hatian. Jika sedang dalam keadaan lapang (kaya), bangkitlah kesombongannya. Jika mendapatkan harta, kekayaannya menjadikannya berbuat sewenang-wenang. Jika ditimpa kefakiran, ia tenggelam dalam kesusahan. Jika laparnya menguat, kelemahan menjadikannya tidak mampu berdiri tegak. Dan jika terlampau kenyang, perutnya akan mengganggu kenyamanannya. Sesungguhnya setiap kekurangan akan membahayakan, dan setiap hal yang  melampaui batas akan merusak dan membinasakan dirinya.

Sebagai penutup tulisan ini, marilah kita bersama untuk lebih mempererat tali pegangan kita terhadap ajaran Allah (agama), sehingga kita tidak lagi dikatakan orang-orang yang lalai, sementara kita banyak berharap untuk mendapat rahmat dan maghfirah Allah swt. Hanya orang-orang yang berimanlah yang mampu "menolong Allah" untuk mendapat "pertolongan Allah" dalam hidupnya. Insya Allah

  Menjadi Guru yang Digugu dan Ditiru                                                                   Fadlil Yani Ainusyamsi   Di ...