Rabu, 10 Januari 2018

Budaya dan Nilai Religi; Sebuah Terapi Sufistik Kontemporer


 

ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَمَا ثُقِفُوا إِلا بِحَبْلٍ مِنَ اللَّهِ وَحَبْلٍ مِنَ النَّاسِ وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الْمَسْكَنَةُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ الْأَنْبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ  (ال عمران:112)

"Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada (berbudaya), kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas" (QS. Ali Imran: 112).

Ayat suci di atas telah mengilhami kita akan sebuah konstatasi-faktual (isyarah waqi'iyyah) terhadap keberadaan manusia sebagai makhluk berbudaya, isyarat kemanusiaan digambarkan bahwa dimanapun manusia berada tidak akan terlepas dari "kehinaan", apakah kehinaan yang berbentuk moralitas ataupun kehinaan secara materi, sehingga jika seorang manusia ingin terlepas dari sifat-sifat hina dalam kehidupan ini, ia hanya dapat selamat dari  norma kemanusiaan tersebut dengan menggantungkan segala sesuatu kepada Allah SWT secara vertikal (hablum minallah), dan hubungan horizontal antar sesama manusia (hablum minannaas).

Menurut KH. Dr. Agoes Salim kata budaya berasal dari "Bud" berarti  cahaya atau Iman, dan "Daya" yang memiliki makna amal saleh jadi budaya adalah  "Iman yang dilandasi amal saleh" harus tertanam dimana saja, kapan saja, dalam keadaan apa saja, sedari itu siapapun yang ingin selamat di alam semesta ini, sebagai pelintas ke kebahagiaan nanti di alam yang langgeng, haruslah berbudaya atau dengan kata lain "beriman dan beramal saleh". Tanpa keimanan dan amal saleh tersebut, dalam mengarungi dinamika kehidupan ini, akan menjadi hampa dan kering tak bermakna,seperti  dapat terlihat dimana-mana sebagai akibat penistaan terhadap "nilai-nilai keimanan dan kesalehan" (budaya) tadi, segalanya menjadi serampangan dan "budaya" tersebut sudah terlalu lama dipelihara oleh kita, setiap orang selalu ingin "menguasai" apa yang belum dimilikinya walaupun dengan cara-cara tidak elegan, pendangkalan nilai-nilai akhlak dan akidah sebagai fondamen seorang muslim, telah banyak diabaikan bahkan ditinggalkan, pemusnahan hakikat keyakinan terhadap nilai keberagamaan semakin hari bertambah menipis bahkan habis sama sekali dari fitrah kemanusiaan. Oleh karena itu Allah SWT selalu menurunkan bencana serta ujian-ujian dahsyat lainnya kepada makhluk di alam jagat raya ini, karena manusia sebagai khalifah fil ardli (pemimpin di muka bumi) ini sudah tidak "amanah" lagi terhadap titah ilahiyah baik yang berupa amanah khilafah (amanat kepemimpinan/kekuasaan) maupun  amanah ibadah (amanat peribadatan) kita kepada Allah SWT.

Dalam amanah khilafah setiap orang dapat berfikir dengan tegas bahwa amanah terberat dari Allah yang dipikul manusia adalah "amanah khilafah" karena amanah ini menyangkut hajat, kebaikan dan kesejahteraan banyak orang. Tidak sedikit manusia begitu sungguh-sungguh memberikan janji-janji kepada yang akan dipimpinnya ketika mangawali kepemimpinannya. Sungguh ironis tatakala semua sudah berjalan, ternyata para pemikul amanah itu, ingkar dari apa yang mereka janjikan sebelumnya. Jadi tidaklah semudah mengucapkan dengan lisan dalam memimpin manusia di bumi ini, akan tetapi memerlukan ketulusan, kecerdasan fikiran dan sikap serta bagaimana berjiwa empatik terhadap kenyataan orang-orang yang dipimpinnya.

  Amanah ibadah, adalah amanah kedua bagi seluruh ummat Islam, termasuk kita. Bagaimana memelihara agar praktek peribadahan kita kepada Allah Azza Wajalla, tidak bercampur aduk dengan keyakinan kepada selain-Nya, tidak menyekutukan-Nya, senantiasa memegang teguh semua perintah-Nya, menjauhi setiap apa yang dilarang-Nya. Lalu semua pengharapan kita berpangkal atas Ridha-Nya.

Adapun budaya yang dilandasi dengan nuansa sufistik, ibarat tanaman, pohon sebagai Syari'at. Thariqatnya adalah menyiram, memupuk dan memeliharanya dari benalu dan berbagai macam gangguan, agar menghasilkan buah Hakikat. Berhasilnya orang yang menanam "tanaman budaya" itu dapat mencicipi dan menikmati buah tanamannya tersebut, itulah yang dinamakan "Ma'rifat Kebudayaan".

Di zaman yang serba hedonis dan serba halal saat ini, maka ada beberapa solusi kebudayaan religi yang bermuara kepada keimanan dan amal saleh dan hidayah-Nya: Pertama, Kita hendaknya senantiasa menciptakan suatu bentuk hubungan komunikasi yang intim dan mesra penuh cinta dan sakral antar makhluk dengan Sang Khaliq Allah Swt, disertai sikap Ta'zhim (penuh rasa hormat), Tawadlu (penuh rasa kerendahan diri) dan Tadlarru (penuh rasa rendah hati), Ikhlas (penuh rasa ketulusan hati), Khusyu' (penuh rasa takut yang mendalam), Taslim (penuh rasa ketundukan) dan Tawakkal (penuh dosa berserah diri) yang kesemuanya itu untuk mendapatkan ridha-Nya.

Kedua, meningkatkan kualitas budaya religi masyarakat kita, kualitas budaya religi ditentukan oleh kemampuan dan kesempatan seseorang untuk mengembangkan dirinya dalam sebuah pengamalan agama,  agar lebih baik dari kondisinya sekarang. Kualitas budaya religi juga sangat erat hubungannya dengan kualitas lingkungan (bii-ah). Secara fitrah manusia mempunyai potensi-potensi untuk selalu berkembang meningkatkan kualitas hidupnya, keyakinan beragamanya secara terus menerus. Aktualisasi potensi-potensi itu membentuk kebudayaan lalu membentuk manusia menjadi makhluk budaya.

Kapan nilai-nilai religi tertanam dalam sebuah kebudayaan? Yaitu pada saat gerak budaya itu dipraktekkan atau dilakukan baik secara individu (fardli) maupun secara kelompok (jamma'i). Budaya religi atau budaya profetik yang berasal dari hubungan transenden antara manusia sebagai pelaku budaya itu dengan Allah Swt. sebagai Sang Maha Transenden, yang membimbing manusia pada dimensi transendental dalam kebudayaan, sebagai sumber inspirasi religi dalam berbudaya "di mana pun manusia itu berada".

Ketiga, memperbanyak tukar fikiran (mudzakarah), diskusi dari hati ke hati tentang persoalan normatif maupun aksiologis mengenai budaya religi, atau budaya profetik yaitu dengan munadlarah tsaqafiyah (diskusi budaya). Salah satu langkah kongkrit yang harus segera dilaksanakan setelah pertemuan sekarang ini, para tokoh budayawan, seniman, pemerhati seni dari berbagai kalangan, lintas budaya dan agama menciptakan sebuah lingkungan masyarakat budaya religi dengan suatu kegiatan "Daurah Kebudayaan".

            Keempat, rida terhadap keuntungan atau kerugian yang diberikan pada kita, berjuang seperti pahlawan, melakukan amal orang-orang saleh, rida atas nikmat yang diberikan oleh Allah Swt., tidak mau menentang atas "ujian-ujian maupun semua cobaan" yang diterima oleh kita selama ini dan senantiasa tawakal kepada Allah Swt., maka jiwa seperti ini akan diridai oleh Allah Swt., sehingga menjadi jiwa yang sangat dicintai dan dikehendaki-Nya, yang memperoleh kesempurnaan akhlak dan mencapai berbagai maqam luhur yang diraih orang-orang mukmin.

Kelima, lebih mengedepankan sikap rendah hati dalam kehidupan sehari-hari, karena sikap ini memunculkan semangat egalitarian, yang akan mengantarkan masyarakat budaya kepada pola hidup demokratis sejati yang religi. Sikap rendah hati juga melahirkan kesediaan mendengarkan pendapat orang lain yang tak lain adalah akar dari tradisi masyarakat, sehingga masyarakat bisa berjalan dengan adil dan berimbang bila di antara berbagai pihak tidak ada prasangka. Oleh sebab itu, dalam prinsip hidup budaya rabbani setiap orang menumbuhsuburkan sikap baik sangka (husnudzhan).

Membudayakan rasa cinta antar sesama, saling menghormati hak-hak hidup setiap warga negara, dengan tidak saling menghina saling menyalahkan atau membantai orang lain, karena fahamilah dengan segenap keberadaan kita selama ini, bahwa cara mengubah kehidupan kita serta orang-orang disekitar kita adalah dengan al hubb (cinta).

Hidup ini laksana ensemble musik-orkestra, yang saling memadu dan menyatukan rangkaian irama menjadi indah dan nyata, menciptakan semangat cinta kasih dan mampu memancarkan energi positif pada alam semesta kehidupan ini dan manusia sebagai penghuninya. Damai, penuh harapan, dan kebahagiaan merupakan dasar perasaan cinta. Oleh sebab itu, perbedaan sudut pandang agama, budaya, dan sosial politik di negeri ini, sangatlah naif bila kita harus saling menumpahkan darah. Dengan budaya religi, kita bisa menangkal ketakutan, kebencian, dan paranoia dengan mengirimkan getaran-getaran cinta kasih melalui sentuhan dan nafas terapi musikalitas sufistik dengan bingkai religiusitas pada setiap gerak nafas kehidupan kita. Dengan gerakan seni budaya religi seseorang akan berfikiran luhur dan memiliki sifat kelembutan nan halus (rifqan waliinan), mampu menjaga keseimbangan (tawazun) perasaan, membangkitkan semangat (tasyji') dan menggerakkan jiwa yang kering kerontang, dan pembudaya jahat serta kebrutalan dan tindakan gegabah lainnya akan sirna ditelah masa. Betapa banyak orang yang mempunyai rasa tanggung jawab moral yang besar, hanya sayangnya mereka tidak didukung oleh seni memimpin yang baik (the art of leadership) atau  juga rasa musikal yang hebat, dan sebaliknya betapa banyak yang ahli dalam musik dan nilai-nilai seni budaya namun tidak didukung oleh rasa tanggung jawab moral, sehingga akibat dari kesalahan ekspresi tersebut maka terjadilah kontroversi pendangkalan sistematis nilai-nilai moral agama maupun bangsa yang hingga saat ini belum ada kata sepakat, karena mengusung keyakinan mereka masing-masing. Bangsa yang masih berpegang pada tali kebenaran dan mempertahankan budaya religi (budaya yang berdampak baik), dialah bangsa yang arif dan akan berjaya di masa sekarang dan masa yang akan datang.

Senin, 01 Januari 2018

Terapi Musik Sufi;Media Pembinaan Spiritualisme

 


Pendukung utama bagi tercapainya sasaran pembangunan manusia seutuhnya Indonesia yang berkualitas adalah pendidikan bermutu. Pendidikan yang bermutu dalam penyelenggaraanya tidak cukup hanya dilakukan melalui transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi harus didukung oleh peningkatan profesionalisme dan sistem manajemen tenaga kependidikan serta pengembangan kemampuan peserta didik agar mampu menolong diri sendiri dalam memilih dan mengambil keputusan demi pencapaian cita-citanya.

Kemampuan seperti itu tidak hanya menyangkut aspek akademis, tetapi juga menyangkut perkembangan keagamaan pribadi, sosial, kematangan intelektual dan sistem nilai peserta didik. Berkenaan dengan pemikiran tersebut, tampak bahwa pendidikan yang bermutu di sebuah lembaga pendidikan adalah pendidikan yang menghantarkan peserta didik pada pencapaian standar akademis yang diharapkan dalam kondisi perkembangan diri yang sehat optimal. (Nurihsan, 2005: 1)

Selain dari tujuan untuk menghantarkan peserta didik memahami nilai dan sikap intelektual-akademis, ada hal yang sangat penting lagi yaitu pemahaman dan kesadaran (awareness) peserta didik terhadap penjiwaan keagamaan sehari-harinya. Akan tetapi karena sebagian besar peserta didik adalah remaja yang memiliki karakteristik, kebutuhan jiwanya yang masih dalam tahap pencarian, serta tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhinya. Maka untuk memberikan dorongan dan pemahaman sikap keberagamaannya penulis ingin menawarkan suatu pendekatan-praksis dalam memotivasi perubahan sikap melalui penanaman jiwa keagamaan, salah satunya adalah dengan pola pendekatan terapi musik sufi. Hal ini sesuai dengan amanat dan tugas-tugas perkembangan remaja, di antaranya adalah:

a.      Mencapai perkembangan diri sebagai remaja yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

b.      Memantapkan nilai dan cara bertingkah laku yang dapat diterima dalam kehidupan sosial yang lebih luas.

c.       Mengenal kemampuan, bakat. minat serta arah kecenderungan karier dan apresiasi seni.

d.      Mengenal gambaran dan mengembangakan sikap tentang kehidupan mandiri secara emosional, dan sosial keagamaan.

e.      Mengenal sistem etika dan nilai-nilai bagi pedoman hidup sebagai pribadi, anggota masyarakat dan minat manusia. (Nurihsan, 2005).

Terapi musik sufi, adalah sebuah pendekatan pembelajaran nilai-nilai keagamaan yang terangkum dalam bentuk syair (puisi Arab) dan dilagukan dengan irama musikalitas melankolik-sikronik. Pendekatan ini adalah salah satu dari model pendidikan keagamaan terhadap peserta didik, agar lebih cepat memahami serta mempraktekkan apa yang terkandung dari muatan pesan-pesan keagamaan di dalamnya, sehingga peserta didik merasa tersalurkan dan terarah (gerechtigkeit) dalam hal minat dan bakat, terlebih dalam mengapresiasi jiwa seninya.

Strategi berikutnya dalam melaksanakan program bimbingan dan pembinaan keagamaan. Pendidikan keagamaan merupakan upaya bantuan penanaman mentalitas kepada peserta didik dalam rangka memberikan pemahaman sikap keberagamaan dan perkembangan serta pertumbuhannya. Selain bersifat pencegahan dari sifat-sifat buruk peserta didik. Pendidikan keagamaan dapat pula bersifat penyembuhan. Teknik penyembuhan jiwa yang sedang galau, resah dan depresi, penulis mencoba mempraktekkan musikalitas syair-syair keagamaan dari kitab Islam klasik bernama "Qashidah al-Burdah" karya Imam al-Busyiri, Diwan (kumpulan syair-syair) Imam as-Syafii, dan para Penyair Mesir lainnya,  yang digunakan secara sederhana menggunakan alat petik gitar akustik dan harmonika serta diiringi oleh alat musik modern lainnya keyboard. Arransemens musiknya adalah perpaduan musikalitas arudly dengan musik slow country-syncronic, yaitu harmonisasi antara suara accordion yang bercirikan masa lalu dengan suara sayup harmonika blues-country yang menyentuh.

Pendekatan pendidikan keagamaan dengan pendekatan musikalitas-syair yang berisi pesan-pesan suri-tauladan keagamaan ini, diharapkan menjadi "supplement" kejiwaan bagi peserta didik dalam memahami dan mempraktekkan nilai-nilai religiusitas dan spiritualitas sehari-harinya. Pendekatan pendidikan keagamaan ini akan diselaraskan dengan dimensi spiritual manusia, dimana prosedurnya manusia selalu berusaha melakukan penyelarasan dengan alam semesta dan menjawab pertanyaan tentang keberadaan dirinya untuk berekspresi, serta mengembangkan  kemampuan musikalitas dirinya. Musik sebagai bagian hidup manusia yang mampu memberikan pengaruh baik dan buruk, meningkatkan kehormatan dan kemuliaan manusia dan disisi lain juga menurunkan harkat manusia. Setelah Plato, banyak pemikir yang menempatkan musik sebagai hal penting bagi manusia. Di abad ke-6 M, Boethius dalam karyanya De Institutione Musica, menuliskan, "Music is a part of us, and either ennobles or degrades our behaviour.".

Pengaruh musik ini bergantung dari jenis musik dan konteks yang ada saat orang mendengarkan musik. Lepas dari baik dan buruk pengaruhnya. Boethius jelas memandang musik sebagai hal yang mempengaruhi hidup manusia.

Berdasarkan beberapa penelitian tentang pengaruh musik terhadap para pendengar musik bertolak dari pertanyaan umum, misalnya emosi seperti apa yang dapat timbul saat seseorang mendengarkan musik? Teori kognitif menunjukkan bagaimana musik bisa dirasakan, bagaimana skema kognitif dapat aktif saat mendengar musik dan bagaimana reaksi otak terhadap musik. Adapun musik yang sengaja kami ketengahkan adalah musik sufi; dengan pendekatan terapi yang mampu membangkitkan nurani sebab musik sufi adalah laksana jemari halus yang mengetuk pintu kalbu membangunkan kehangatan dari tidurnya yang lelap. Ciri-ciri dari terapi musik sufi antara lain adalah alunan nada-nada musiknya yang melantunkan senandung lembut yang kerap hadir di lembaran-lembaran imajinasi pemusik maupun pecinta musik. Maka jika nada-nada itu dilantunkan dalam melodi melankoli, maka ia menghadirkan kenangan silam di saat gundah dan putus asa. Namun jika dilantunkan pada saat hati senang, maka musik menghadirkan kenangan silam disaat damai dan bahagia. Kahlil Gibran menggambarkan tentang musik, "adalah alunan nada-nada musik kumpulan suara kesedihan yang membuat segala kesedihan memenuhi tulang rusuk, lalu menghadirkan seribu duka. Tapi ia juga bisa berupa susunan kata-kata ceria yang segera menguasai kalbu kita, lalu menari riang di sela tulang rusuk, menghadirkan seribu bahagia." Lalu Kahlil juga memperkuat pernyataan sebelumnya, "alunan nada musik adalah nafas terakhir akalnya hati dan nafasnya jiwa". (Gibran, 2002: 73).

Kekuatan lain dari ciri musikalitas sufistik ini adalah, dalam setiap satu tarikan nafas khususnya, harus mampu untuk menyanyikan (tarannum) per tiga bait, kemudian di saat lantunan lagu dinyanyikan nafas masih ditahan di bawah pusar (nafas perut), pola nafasnya menarik dari hidung keluar (membuang nafas)  juga dari hidung, maka bila sang penyanyi mampu merefleksikan lagu seperti itu akan melahirkan daya kekuatan spiritual yang tinggi dan efek  positif bagi ketenangan dan kedamaian jiwa seseorang. Carlyle menempatkan musik sebagai medium yang membangkitkan perasaan religius yang menghubungkan manusia dengan Ilahy. Burton memandang musik memiliki daya penyembuh bagi gangguan emosional. (Rachmawati, 2005: xxxii).

Dalam prakteknya terapi musik ini akan dapat dirasakan pengaruhnya, manakala musiknya dapat dimainkan dan didengarkan dengan sepenuh jiwa, dengan  seluruh kekuatan batin. Karena pada hakikatnya musik akan hadir saat dimainkan, tidak hanya terampil dengan membaca nada, not atau imajinasi yang baik sakalipun, musik benar-benar hadir bila ia dimainkan dan dirasakan. Musik terapis jauh lebih efektif daripada musik relaksasi standar, dalam praktiknya musik terapi sufi adalah salah satu musik alternatif keagamaan dalam membina dan mendidik seseorang ke arah jalan yang lebih terarah; berjiwa benar (sidiq) cerdas SQ (fathanah), berani tampil dalam menyampaikan kebenaran (tabligh) dan dapat dipercaya (amanah).

Bunt (1995) seorang psikolog musik mengatakan bahwa dasar umum persinggungan antara psikologi musik dan terapi musik adalah pemahaman atas perkembangan musik. Untuk mengembangkan tujuan-tujuan terapi dan menemukan pelbagai cara penyesuaian diri pada anak misalnya, juga penting untuk mengetahui secara pasti kapasitas anak dalam mengerti dan merasakan musik. Salah satu metode berdasarkan penemuan dan yang banyak digunakan dalam psikologi musik adalah GIM (Guided Imagery and Music) dari Bonny (1996). Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa musik yang paling tepat dapat dipilih untuk tujuan penyembuhan. Sambil mendengarkan musik dalam kondisi rileks seorang klien bisa bercerita membagikan pengalamannya dengan terapis. Musik-musik yang digunakan, dipilih dengan tema khusus yang dikategorikan dapat memberikan "pengaruh positif". Maka terapi musik sufi adalah suatu upaya untuk mencari warna tersendiri dalam pendekatan religi bagi jiwa-jiwa para peserta didik.

Seorang terapis dapat menilai intensitas emosi seperti kegembiraan, kesedihan, kelembutan, marah dan rasa takut pada klien melalui aktivitas berimprovisasi musik sederhana dan pendek. Terapis yang ikut mendengarkan musik juga dapat menerangkan kurang lebih secara tepat emosi yang akan terjadi. Sebagaimana Confucius berkata:

"Musik seseorang yang berfikiran luhur bersifat lembut dan halus, menjaga keseimbangan perasaan,  membangkitkan semangat dan menggerakkan. Orang semacam itu tidak menyimpan rasa sakit atau sedih hatinya; kebrutalan dan tindakan yang gegabah tidak dikenalinya". Ungkapan Confucius di atas menggambarkan betapa musik dapat meluluhkan jiwa yang kasar dan brutal, menghilangkan rasa sakit.

Musik akan mempengaruhi jiwa seseorang yang berfikiran luhur, bersifat lembut dan halus, menjaga keseimbangan perasaan ('athifah), membangkitkan semangat (tasyji') dan menggerakkan (harakah). Orang yang telah merasakan indahnya musikalitas alam semesta ini tidak lagi menyimpan rasa sakit atau kesedihan di hatinya, kebrutalan dan tindakan yang gegabah tidak dikenalinya.

Seorang ahli psikoanalisa terkenal Carl Jung, mengakui kekuatan musik adalah sangat luar biasa atas jiwa manusia. Menurutnya musik haruslah menjadi bagian dari setiap kegiatan analisis, karena musik mampu menjangkau jauh ke dalam dan menyentuh inti setiap pribadi. Akar permasalahan manusia bisa dijangkau oleh musik, sementara metode-metode lain gagal melakukannya. (Kate & Mucci, 2002: 61)

Jika musik merupakan pembangkit emosi yang hebat bagi masing-masing pribadi, itu berarti bahwa emosi yang dibangkitkan oleh musik tersebut tidak hanya bisa mempengaruhi masing-masing pribadi dan masyarakat, melainkan juga jalannya sejarah. Perasaan yang dibangkitkan oleh musik berkelana ke seluruh bumi dan alam semesta.

Musik menenangkan kita,  membangkitkan hidup kita, memberikan perasaan yang baik di dalam diri kita, meluluhkan kita dalam air mata, tanpa kita tahu sebabnya, itulah rahasia gelora musik yang mampu menembus kerasnya dinding kehidupan.

 

Jujur

  J u j u r   Wajib bagi kamu yang berlaku benar, karena sesungguhnya kebenaran itu membawa kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke ...