ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَمَا ثُقِفُوا
إِلا بِحَبْلٍ مِنَ اللَّهِ وَحَبْلٍ مِنَ النَّاسِ وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنَ
اللَّهِ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الْمَسْكَنَةُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا
يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ الْأَنْبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ ذَلِكَ
بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ (ال
عمران:112)
"Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada (berbudaya),
kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian)
dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka
diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat
Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu
disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas" (QS. Ali Imran: 112).
Ayat suci di atas telah mengilhami kita akan sebuah konstatasi-faktual (isyarah
waqi'iyyah) terhadap keberadaan manusia sebagai makhluk berbudaya, isyarat
kemanusiaan digambarkan bahwa dimanapun manusia berada tidak akan terlepas dari
"kehinaan", apakah kehinaan yang berbentuk moralitas ataupun kehinaan
secara materi, sehingga jika seorang manusia ingin terlepas dari sifat-sifat
hina dalam kehidupan ini, ia hanya dapat selamat dari norma kemanusiaan tersebut dengan menggantungkan
segala sesuatu kepada Allah SWT secara vertikal (hablum minallah), dan
hubungan horizontal antar sesama manusia (hablum minannaas).
Menurut KH. Dr. Agoes Salim kata budaya berasal dari "Bud"
berarti cahaya atau Iman, dan "Daya"
yang memiliki makna amal saleh jadi budaya adalah "Iman yang dilandasi amal saleh"
harus tertanam dimana saja, kapan saja, dalam keadaan apa saja, sedari itu
siapapun yang ingin selamat di alam semesta ini, sebagai pelintas ke
kebahagiaan nanti di alam yang langgeng, haruslah berbudaya atau dengan kata
lain "beriman dan beramal saleh". Tanpa keimanan dan amal
saleh tersebut, dalam mengarungi dinamika kehidupan ini, akan menjadi hampa dan
kering tak bermakna,seperti dapat
terlihat dimana-mana sebagai akibat penistaan terhadap "nilai-nilai
keimanan dan kesalehan" (budaya) tadi, segalanya menjadi serampangan
dan "budaya" tersebut sudah terlalu lama dipelihara oleh kita,
setiap orang selalu ingin "menguasai" apa yang belum
dimilikinya walaupun dengan cara-cara tidak elegan, pendangkalan nilai-nilai
akhlak dan akidah sebagai fondamen seorang muslim, telah banyak diabaikan
bahkan ditinggalkan, pemusnahan hakikat keyakinan terhadap nilai keberagamaan
semakin hari bertambah menipis bahkan habis sama sekali dari fitrah
kemanusiaan. Oleh karena itu Allah SWT selalu menurunkan bencana serta
ujian-ujian dahsyat lainnya kepada makhluk di alam jagat raya ini, karena
manusia sebagai khalifah fil ardli (pemimpin di muka bumi) ini sudah
tidak "amanah" lagi terhadap titah ilahiyah baik yang berupa amanah
khilafah (amanat kepemimpinan/kekuasaan) maupun amanah ibadah (amanat peribadatan)
kita kepada Allah SWT.
Dalam amanah khilafah setiap orang dapat berfikir dengan tegas bahwa amanah
terberat dari Allah yang dipikul manusia adalah "amanah khilafah"
karena amanah ini menyangkut hajat, kebaikan dan kesejahteraan banyak orang.
Tidak sedikit manusia begitu sungguh-sungguh memberikan janji-janji kepada yang
akan dipimpinnya ketika mangawali kepemimpinannya. Sungguh ironis tatakala
semua sudah berjalan, ternyata para pemikul amanah itu, ingkar dari apa yang
mereka janjikan sebelumnya. Jadi tidaklah semudah mengucapkan dengan lisan
dalam memimpin manusia di bumi ini, akan tetapi memerlukan ketulusan,
kecerdasan fikiran dan sikap serta bagaimana berjiwa empatik terhadap kenyataan
orang-orang yang dipimpinnya.
Amanah ibadah, adalah amanah kedua bagi seluruh ummat Islam, termasuk kita.
Bagaimana memelihara agar praktek peribadahan kita kepada Allah Azza Wajalla,
tidak bercampur aduk dengan keyakinan kepada selain-Nya, tidak
menyekutukan-Nya, senantiasa memegang teguh semua perintah-Nya, menjauhi setiap
apa yang dilarang-Nya. Lalu semua pengharapan kita berpangkal atas Ridha-Nya.
Adapun budaya yang dilandasi dengan nuansa sufistik, ibarat tanaman, pohon
sebagai Syari'at. Thariqatnya adalah menyiram, memupuk dan memeliharanya dari
benalu dan berbagai macam gangguan, agar menghasilkan buah Hakikat. Berhasilnya
orang yang menanam "tanaman budaya" itu dapat mencicipi dan menikmati
buah tanamannya tersebut, itulah yang dinamakan "Ma'rifat Kebudayaan".
Di zaman yang serba hedonis dan serba halal saat ini, maka ada beberapa
solusi kebudayaan religi yang bermuara kepada keimanan dan amal saleh dan
hidayah-Nya: Pertama, Kita hendaknya senantiasa menciptakan suatu bentuk
hubungan komunikasi yang intim dan mesra penuh cinta dan sakral antar makhluk
dengan Sang Khaliq Allah Swt, disertai sikap Ta'zhim (penuh rasa
hormat), Tawadlu (penuh rasa kerendahan diri) dan Tadlarru (penuh
rasa rendah hati), Ikhlas (penuh rasa ketulusan hati), Khusyu' (penuh
rasa takut yang mendalam), Taslim (penuh rasa ketundukan) dan Tawakkal
(penuh dosa berserah diri) yang kesemuanya itu untuk mendapatkan ridha-Nya.
Kedua, meningkatkan kualitas budaya religi masyarakat kita,
kualitas budaya religi ditentukan oleh kemampuan dan kesempatan seseorang untuk
mengembangkan dirinya dalam sebuah pengamalan agama, agar lebih baik dari kondisinya sekarang.
Kualitas budaya religi juga sangat erat hubungannya dengan kualitas lingkungan (bii-ah).
Secara fitrah manusia mempunyai potensi-potensi untuk selalu berkembang
meningkatkan kualitas hidupnya, keyakinan beragamanya secara terus menerus.
Aktualisasi potensi-potensi itu membentuk kebudayaan lalu membentuk manusia
menjadi makhluk budaya.
Kapan nilai-nilai religi tertanam dalam sebuah kebudayaan? Yaitu pada saat
gerak budaya itu dipraktekkan atau dilakukan baik secara individu (fardli)
maupun secara kelompok (jamma'i). Budaya religi atau budaya profetik
yang berasal dari hubungan transenden antara manusia sebagai pelaku budaya itu
dengan Allah Swt. sebagai Sang Maha Transenden, yang membimbing manusia pada dimensi transendental dalam kebudayaan, sebagai
sumber inspirasi religi dalam berbudaya "di mana pun manusia itu
berada".
Ketiga, memperbanyak tukar fikiran (mudzakarah), diskusi
dari hati ke hati tentang persoalan normatif maupun aksiologis mengenai budaya
religi, atau budaya profetik yaitu dengan munadlarah tsaqafiyah (diskusi
budaya). Salah satu langkah kongkrit yang harus segera dilaksanakan setelah
pertemuan sekarang ini, para tokoh budayawan, seniman, pemerhati seni dari
berbagai kalangan, lintas budaya dan agama menciptakan sebuah lingkungan
masyarakat budaya religi dengan suatu kegiatan "Daurah
Kebudayaan".
Keempat, rida terhadap
keuntungan atau kerugian yang diberikan pada kita, berjuang seperti pahlawan,
melakukan amal orang-orang saleh, rida atas nikmat yang diberikan oleh Allah
Swt., tidak mau menentang atas "ujian-ujian maupun semua cobaan" yang
diterima oleh kita selama ini dan senantiasa tawakal kepada Allah Swt., maka
jiwa seperti ini akan diridai oleh Allah Swt., sehingga menjadi jiwa yang
sangat dicintai dan dikehendaki-Nya, yang memperoleh kesempurnaan akhlak dan
mencapai berbagai maqam luhur yang diraih orang-orang mukmin.
Kelima, lebih mengedepankan sikap rendah hati dalam kehidupan
sehari-hari, karena sikap ini memunculkan semangat egalitarian, yang akan
mengantarkan masyarakat budaya kepada pola hidup demokratis sejati yang religi.
Sikap rendah hati juga melahirkan kesediaan mendengarkan pendapat orang lain
yang tak lain adalah akar dari tradisi masyarakat, sehingga masyarakat bisa
berjalan dengan adil dan berimbang bila di antara berbagai pihak tidak ada
prasangka. Oleh sebab itu, dalam prinsip hidup budaya rabbani setiap orang
menumbuhsuburkan sikap baik sangka (husnudzhan).
Membudayakan rasa cinta antar sesama, saling menghormati hak-hak hidup
setiap warga negara, dengan tidak saling menghina saling menyalahkan atau
membantai orang lain, karena fahamilah dengan segenap keberadaan kita selama
ini, bahwa cara mengubah kehidupan kita serta orang-orang disekitar kita adalah
dengan al hubb (cinta).
Hidup ini laksana ensemble musik-orkestra, yang saling memadu dan menyatukan rangkaian irama
menjadi indah dan nyata, menciptakan semangat cinta kasih dan mampu memancarkan
energi positif pada alam semesta kehidupan ini dan manusia sebagai penghuninya.
Damai, penuh harapan, dan kebahagiaan merupakan dasar perasaan cinta. Oleh
sebab itu, perbedaan sudut pandang agama, budaya, dan sosial politik di negeri
ini, sangatlah naif bila kita harus saling menumpahkan darah. Dengan budaya
religi, kita bisa menangkal ketakutan, kebencian, dan paranoia dengan
mengirimkan getaran-getaran cinta kasih melalui sentuhan dan nafas terapi
musikalitas sufistik dengan bingkai religiusitas pada setiap gerak nafas kehidupan
kita. Dengan gerakan seni budaya religi seseorang akan berfikiran luhur dan
memiliki sifat kelembutan nan halus (rifqan waliinan), mampu menjaga
keseimbangan (tawazun)
perasaan, membangkitkan semangat (tasyji') dan menggerakkan jiwa yang kering kerontang, dan
pembudaya jahat serta kebrutalan dan tindakan gegabah lainnya akan sirna
ditelah masa. Betapa banyak orang yang mempunyai rasa tanggung jawab moral yang
besar, hanya sayangnya mereka tidak didukung oleh seni memimpin yang baik (the art of leadership) atau juga rasa musikal yang hebat, dan sebaliknya
betapa banyak yang ahli dalam musik dan nilai-nilai seni budaya namun tidak
didukung oleh rasa tanggung jawab moral, sehingga akibat dari kesalahan
ekspresi tersebut maka terjadilah kontroversi pendangkalan sistematis
nilai-nilai moral agama maupun bangsa yang hingga saat ini belum ada kata
sepakat, karena mengusung keyakinan mereka masing-masing. Bangsa yang masih
berpegang pada tali kebenaran dan mempertahankan budaya religi (budaya yang
berdampak baik), dialah bangsa yang arif dan akan berjaya di masa sekarang dan
masa yang akan datang.