Menciptakan motto atau semboyan sebuah daerah atau
wilayah, harus memiliki nilai kesejarahan yang mengakar dalam karakter atau
budaya dan nilai filosofis masyarakat setempat. Tidak serta merta asal istilah
belaka, setiap tema, motto atau semboyan betapa pun diperdebatkan dan
mengandung banyak 'makna' namun yang
terlihat adalah aspek politisnya dibanding dengan aspek nilai moralnya.
Ciamis adalah kota asri indah dan nyaman untuk dinikmati
suasana dan keindahan alamnya oleh setiap orang, sebuah kota manis dan
"campernik" yang menggugah setiap insan; baik insan yang benar-benar
ingin membangun kelangsungan masa depan kota ini, atau insan yang hanya ingin
sekedar "transit" sementara, demi mencapai kedudukan yang lebih
'layak' di tempat lain. Secara geo-politis Kabupaten Ciamis adalah "L'avant
Garde du Ville" yakni
"garda depan sebuah
Ciamis yang memiliki semboyan "Manis", dari
segi etimologis kata Manis, sering identik dengan rasa, terutama rasa
yang serupa dengan gula, kecantikan, kemolekan. Semua itu hanya bernilai
lahiriah semata, namun ada 'makna' lebih dalam. kata "Manis itu terdiri
dari akronim 'manjing dinamis' yang selama ini sering dinyanyikan bahkan
digelorakan, namun secara tidak sadar makna 'manjing' sebenarnya berkonotasi
'setengah matang', belum matang sesungguhnya, oleh karena itu pada masa
pemerintahan Bupati Kol. (Kav) Taufik Hidayat, kata "Manis" sempat
dimaknai akronim dari "Manusia Istiqamah". Namun sayang, karena
kurangnya sosialisasi hingga pergantian kepemimpinan kepada Kol. (Kav) Dedem
Ruhlia, kata "Manis" berubah lagi menjadi "manjing
dinamis", dari sudut estetika makna tersebut cukup relevan untuk saat itu,
namun untuk keadaan sekarang ini perlu adanya revivalisasi makna nilai
dari kata "Manis" tersebut. Misalnya menjadi "Manusia
Istiqamah Sejati" sebab makna dari istiqamah adalah konsistensi
sikap dan perilaku atau kokohnya jiwa dari setiap godaan, sedangkan sejati
adalah nilai moral yang tinggi sebagai refleksi dari kemendalaman fikiran dan
kearifan jiwa seseorang dalam hidupnya.
Kemudian dari segi teritorial Ciamis boleh saja
kehilangan satu wilayah pemerintahannya dengan terpisahnya Kota Banjar menjadi
Pemkot, dari segi ekonomis dan geografis Ciamis memang 'terlihat' semakin
lemah. Akan tetapi, sebuah nilai sejarah ideologis yang melekat pada masyarakat
Ciamis tidak akan luntur atau hilang dengan keterpisahan Banjar dari Wilayah
Kabupaten Ciamis, dan ini harus disadari oleh semua pihak dan komponen
masyarakat Ciamis. Kita tidak perlu 'gusar' kalau suatu saat beberapa wilayah
Ciamis lainnya juga ingin 'memisahkan diri' dari Kabupaten Ciamis, bila langkah
itu dapat memberikan kemaslahatan bagi masyarakatnya, dengan sebenar-benarnya, mengapa
tidak?
Tetapi, ada hal yang perlu dicermati juga dihayati oleh
kita semua, cita-cita reformasi adalah menjadi harapan rakyat bangsa ini yang
mendambakan perubahan dalam segala bidang, janganlah arah reformasi saat ini
hanya dijadikan sarana untuk melakukan perbuatan apa saja dengan sebebas-bebasnya,
tidak hanya berfikir 'balas dendam' karena masa lalu juga pernah berbuat seperti
itu. Banyaknya daerah ingin memisahkan diri dari Propinsi, ataupun Kabupaten
asalnya, hingga keterpisahan wilayah-wilayah lain untuk lepas dari NKRI (Negara
Kesatuan Republik
Sehingga siapapun Pemimpin yang dipercaya oleh masyarakat
Kabupaten Ciamis nanti antara lain mampu meningkatkan kesejahteraan
rakyat/masyarakat yang ditandai dengan meningkatnya kualitas hidup dan
kehidupan tertama dari segi kecukupan kebutuhan dasar; pangan, sandang,
papan/perumahan, kesehatan, dan perhatian terhadap dunia pendidikan tidak pilih
kasih apakah itu pendidikan 'agama atau umum'. Dalam karakter kepemimpinan,
setiap aparatur Negara/pemkab harus menjadi "pelayan masyarakat"
bukan dilayani oleh masyarakat, dalam melayani masyarakat manapun pemimpin
harus jujur, bersih hati dan berwibawa serta professional.
Untuk wilayah sosio-politik, pemimpin harus mampu menata
keamanan secara kondusif dan demokratis serta bertanggung jawab (responsible),
karena tanpa adanya rasa aman dan suasana kondusif, seorang pemimpin akan sulit
membangun daerahnya tersebut, maka di situlah pemimpin dituntut untuk bersikap
bijaksana bila tidak ingin "diganggu" dalam perjalanan
kepemimpinannya.
Ibnu Athaillah berkata :
"Jika engkau tak
ingin dilengserkan, maka janganlah menguasai jabatan yang tidak kau kenal"
(in aradta an ta'zula falaa tatawalla wilaayatan la taduumu laka).
Secara
duniawi, jabatan atau kedudukan memang diminati banyak orang. Karena kedudukan itu
menyenangkan buat hawa nafsu. Jabatan membuat orang jadi terpandang, terhormat
dan disegani. Bahkan dari kedudukan itu, seseorang bisa mengeruk harta untuk
memperkaya diri. Namun secara makrifat, jabatan itu justru dapat
membahayakan bagi kehidupan spiritual. Karena,
dibalik jabatan terkandung tanggungjawab besar. Kelak seseorang yang
memangku jabatan akan dimintai pertanggungjawaban di depan pengadilan Allah.
Semakin tinggi jabatan seseorang, semakin besar pula tanggungjawab, dan semakin
terbuka peluang untuk berbuat maksiat. Apalagi bila apa yang kita 'jabat'
sekarang tidak kita kenal (tidak menguasainya), berarti kalau seseorang
menjabat suatu jabatan penting tapi bukan sebagai ahli di bidangnya, atau
karena ketidaktahuan dan ketidak mampuan dalam hal memimpin, bisa berakibat
fatal terhadap keberlangsungan pemerintahannya.
Oleh
sebab itu, sebagai cermin dan kriteria khusus kepemimpinan yang akan bertandang
di Kabupaten Ciamis ini, harus Smart (cerdas, pintar, bijak), dan
memiliki Courage (keberanian)
dan politeness (kesantunan, keadaban).
Karena dengan tiga hal tersebut di atas Insya Allah kita tidak hanya berpolemik
dengan sosok pemimpin secara 'politis' semata, akan tetapi lebih jauh lagi
"sudah saatnya Kabupaten Ciamis memiliki pemimpin seperti Khalifah Abu
Bakar dalam kebijaksanaannya, Umar ibn Al-Khaththab dalam
keberaniannya, Sayidina Utsman dalam kedermawanannya, seperti Sayidina
Ali dalam kecerdasannya, dan seperti Umar bin Abdul Aziz dalam
kesantunannya". Sekarang pertanyaannya adalah sudah siapkah Sumber Daya
Insani seperti tersebut di atas? Jawabannya tentu hanya masyarakat
Kabupaten Ciamis-lah yang bisa lebih "teliti sebelum membeli" dan
lebih arif, bijak dalam menerawang jauh ke depan, karena saya yakin tipikal
orang seperti tadi, nampaknya tidak akan mudah didapatkan sebab manusia yang
memiliki tipe "tiga dimensi; kemampuan khusus" tersebut ada di dasar
samudera, ia adalah "mutiara" yang sangat mahal nilainya, harus
selalu dicari dan dicari pada tumpukan 'kerang-kerang' lautan nan dalam.
Masyarakat Ciamis
harus mampu 'menyelami' dasar samudera yang begitu dalam untuk mendapatkan 'kerang'
yang berisikan mutiara tersebut. Baru setelah itu, kerang tersebut dibuka lalu
diambil mutiaranya kemudian dibersihkan, digosok dengan teliti, maka lambat
laun akan timbullah 'cahaya cemerlang indah dan mempesona' dan jadillah sebuah perhiasan
mahal terindah yang mampu membahagiakan siapapun yang memilikinya.
Begitulah tipikal atau sifat kepemimpinan kelak di Negara
kita secara Nasional, maupun lokal, sehingga dengan sendirinya kecarut-marutan
suasana kebangsaan kita yang semakin tak tentu arah, akan bangkit kembali oleh
'kesatuan sikap' antara pemimpin dengan yang dipimpim sesuai dengan semangat
'demokrasi bermoral' yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia di mata dunia
secara kosmopolitan. Insya Allah bangsa ini; terutama Kabupaten kita tercinta
Ciamis akan kembali menjadi wilayah ujung timur penyangga Propinsi Jawa Barat
yang kuat wilayahnya, cerdas pemimpinnya serta tetap
menjaga nilai-nilai moralitas secara menyeluruh yang dimiliki
oleh setiap individu masyarakat dan komponen bangsa.
Dua tahun kurang masa pemerintahan di Kabupaten Ciamis
ini, janganlah terlalu diributkan akan siapa-siapa yang akan
"ngageuegeuh" nya nanti, berilah kesempatan kepada periode
kepemimpinan yang sekarang masih berjalan untuk menyelesaikan tugas dan
tanggungjawabnya dengan 'cantik' 'dewasa, arif dan bijak'. Karena dalam sejarah
moralitas masyarakat Ciamis tidak ada 'budaya premanisme dan barbarisme' untuk
menunjukkan ketidaksukaannya dengan cara-cara ā€¯membelah karakter manusia",
Perlu dipegang teguh dan disadari, hal-hal buruk 'saling jatuhkan dan saling
bermusuhan' tidak boleh terjadi di Kabupaten Ciamis tercinta ini.
Jadi, jika masih ada hal-hal tadi, maka diyakini sikap
semacam itu bukan untuk memperbaiki pembangunan Kabupaten Ciamis, namun
sebaliknya langkah-langkah kurang bijak itu malah bisa jadi untuk menghancurkan
suasana damai Ciamis, sebagai wilayah religius yang tinggi selama ini.
Menurut pandangan penulis, suara masyarakat atau rakyat
adalah suara nurani yang sejati, bukan "suara Tuhan" yang sering
disalah artikan selama ini. Sehingga rakyat menjadi anarkis, karena merasa
dirinya sebagai "Tuhan-Tuhan Kecil" dan sang penguasa sebagai "Tuhan-Tuhan
Setengah Besar". Maka dengan sendirinya bangsa ini pun menjadi bangsa
"Takabbur dan Musyrik" karena antara rakyat dan penguasa sudah
menjelma jadi "Tuhan-Tuhanan". Padahal kita ini hanyalah hamba Allah
Tuhan Seru Sekalian Alam, yang sangat kecil dan tak berdaya bila disandarkan
dengan "kekuasaaan" manusia selama ini.
Dengan demikian, Ciamis masa depan adalah tergantung pada
kesatuan cita-cita dan harapan antara pemimpin dan masyarakat yang dipimpinnya
kelak, sesuai dengan motto yang direvival sebagai masyarakat agamis,
dinamis dan berlandaskan kesejatian sikap moral yang tinggi, dan
"istiqamah" dalam kebaikan, kokoh kuat tidak mudah goyah, dengan
memiliki program yang riil bukan hanya sekedar 'kata-kata yang muluk' namun
tidak ada realisasinya. Sekarang ini adalah zaman realistis (perlu bukti
dan karya nyata) namun perenialis (menjaga nilai tradisi keabadian sikap
mulia), jadi jika kedua falsafah moral kepemimpinan tadi dipersatukan bisa
menjadi 'kekuatan yang tak ternilai' untuk membangun Kabupaten Ciamis sebagai
Kabupaten terdepan dalam Pembangunan baik pembangunan infrastruktur
maupun suprastruktur; pembangunan sumber daya insani, yang berlandaskan nilai
moral sejati, yaitu keimanan dan kecerdasan yang tinggi, Insya Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar